Raja
Salman dan Islam Indonesia
Husein Ja'far Al Hadar ; Pendiri Cultural Islamic Academy
Jakarta
|
TEMPO.CO, 07 Maret 2017
Dalam pidatonya di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, yang
kemudian ditegaskan kembali kepada para ulama dan tokoh Islam dalam pertemuan
khususnya di Istana Negara serta kepada tokoh lintas agama di Hotel Raffles,
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud menegaskan pentingnya semangat
menanggulangi radikalisme-terorisme dan krisis politik di dunia Islam. Secara
umum, "Islam modern" menjadi salah satu tema dalam kunjungan Raja
Salman.
Kunjungan Raja Salman ke Indonesia memang tidak hanya
signifikan dalam konteks politik dan ekonomi, tapi juga agama, khususnya
Islam. Daya tawar Islam Indonesia menguat dalam tujuh tahun (sejak pecahnya
Arab Spring) atau bahkan 16 tahun terakhir ini (sejak tragedi teror 11
September). Karena itu, Raja Salman terus mengulang apresiasi dan
kekagumannya kepada Islam Indonesia.
Islam Indonesia terbukti bertahan dan bisa menjadi solusi
bagi dua krisis terbesar dalam dunia Islam selama dua dekade ini. Pertama,
krisis akibat maraknya aksi terorisme global yang mengatasnamakan Islam.
Kedua, krisis akibat otoritarianisme kepemimpinan di dunia Islam yang memicu
Arab Spring dengan visi demokratisasi.
Di tingkat praktis, tak ditabuhnya beduk Masjid Istiqlal
dalam kunjungan Raja Salman ke sana merupakan salah satu perwujudan simbolik
Islam Indonesia yang toleran terhadap Wahabisme, yang diimani Raja Salman
yang menilai menabuh beduk sebagai bidah (tak berdasar pada sunah Nabi
Muhammad). Dalam konteks ini, kita berharap penghormatan dan keleluasaan yang
sama diberikan Saudi kepada jemaah haji dan umrah Indonesia setelah ini untuk
melakukan ritual-ritual yang diimani umat Islam Indonesia, yang mungkin dianggap
bidah dalam perspektif Wahabisme: ziarah makam Nabi dan lainnya.
Wahabisme Saudi cenderung statis dengan slogan
"kembali" kepada Al-Quran
dan sunah. Wahabisme sebagai mazhab resmi Kerajaan Saudi menjadi mazhab yang
berorientasi pada hukum syariat yang kaku. Sedangkan Islam Indonesia
"berangkat" dari Al-Quran dan sunah untuk kemudian berdialog dengan
siapa dan apa saja.
Indonesia kini kian dilirik sebagai "kiblat"
peradaban Islam dengan (minimal) dua kekuatan organisasi kemasyarakatan
besarnya: Nahdlatul Ulama (NU) dengan "Islam Nusantara" yang
berakulturasi dengan budaya dan Muhammadiyah dengan "Islam
Berkemajuan" yang modern. Di sini, Islam sebagai hukum dipegang teguh
oleh umatnya, tapi juga sebagai tata nilai menjadi semangat dan mempengaruhi
secara substansial, bukan formal, terhadap seluruh ranah kehidupan dan
kebangsaan. Keislaman Indonesia terus didialogkan dan perbedaan dirayakan.
Wajah Islam Indonesia itulah yang kemudian menjadi
prototipe atas apa yang diimpikan Saudi untuk keluar dari dua krisis di atas.
Ia moderat sebagai benteng bagi radikalisme dan terorisme serta nasionalis
sehingga mampu mensintesiskan Islam dan demokrasi.
Dalam konteks politik, sebenarnya Salman merupakan seorang
raja dengan corak primordial (Islam). Ia bahkan konservatif, bertolak
belakang dengan pendahulunya yang reformis: Abdullah dan Faisal. Opsi
menyerang Yaman merupakan gambaran terbaru dan paling gamblang atas corak
itu.
Secara normatif, corak primordialisme Islam tersebut
seharusnya mengarahkan Saudi untuk mengekor pada gerakan sekutunya, yakni
Amerika Serikat dan Eropa: "populisme kanan". Namun Salman
tampaknya pesimistis melihat masa depan populisme kanan. Maka, Indonesia
adalah alternatif yang menarik, tempat nilai-nilai primordial Islam (sebagai
moral etik) dipegang kuat dalam kenegaraan kita sebagai darus salam (negara
damai), tapi tetap up-to-date dan sinergis dengan nilai-nilai demokrasi. Di
sini, sejak awal, ornamen-ornamen kebangsaan telah didudukkan secara
proporsional: Islam sebagai agama, Pancasila sebagai ideologi, dan Nusantara
sebagai budaya.
Dalam konteks ini, diharapkan kunjungan Raja Salman
dihayati sebagai dialog keislamannya dengan Indonesia untuk menggeser
paradigma primordial keislamannya menjadi moderat dan maju. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar