Bahaya
Laten Pelemahan KPK
Kurnia Ramadhana ; Pegiat antikorupsi Indonesia
Corruption Watch (ICW)
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Maret 2017
KPK kembali dalam ancaman. Isu pembahasan Revisi UU KPK
kembali digaungkan DPR seiring dengan proses penanganan dugaan korupsi KTP-E
oleh KPK. Berdasarkan surat dakwaan, setidaknya 25 politikus disebut-sebut
menerima aliran dana dari proyek pengadaan KTP-E tersebut. Jika dikaitkan
dengan banyaknya politikus yang diduga terlibat dalam perkara korupsi KTP-E,
tidak salah jika publik berpikir ada semacam serangan balik dari DPR untuk
menggemboskan kewenangan besar yang selama ini dimiliki KPK.
Alasan yang dipakai selalu sama, yaitu memperkuat KPK.
Namun, jika dilihat poin per poin, isi dari draf Revisi UU KPK tersebut
justru bertolak belakang. Bukannya memperkuat, melainkan malah semakin
mengerdilkan lembaga antirasywah tersebut. DPR RI melalui Badan Keahlian
secara tiba-tiba melakukan kunjungan ke berbagai universitas, di antaranya
Universitas Andalas (9/2), Universitas Nasional (28/2), dan pada pertengahan
bulan ini direncanakan akan mengunjungi Universitas Sumatra Utara untuk
menyosialisasikan kembali tentang rencana Revisi UU KPK.
Terjadi inkonsistensi dalam langkah DPR kali ini. Jika
melihat daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017 sama sekali tidak
ditemukan rencana untuk mengubah UU KPK. Tentu ini menjadi pertanyaan bagi
publik, apa urgensinya DPR melakukan seminar di berbagai universitas,
sedangkan Revisi UU KPK tidak masuk Prolegnas 2017? Sebenarnya ini bukan kali
pertama DPR berusaha menggaungkan perubahan UU KPK. Data Indonesia Corruption
Watch (ICW) menunjukkan, sejak 2010, setidaknya sudah ada 20 kali upaya
percobaan pelemahan KPK yang diinisiasi DPR. Ini dapat berdampak negatif bagi
citra lembaga legislatif di mata masyarakat.
Jika ini terjadi terus-menerus, publik akan menilai DPR
adalah lembaga yang tidak berpihak pada upaya pemberantasan korupsi. Langkah
penting yang harus dilakukan DPR saat ini seharusnya ialah mengembalikan
kepercayaan publik yang telah hilang di tengah maraknya korupsi di tubuh
legislatif. Berdasarkan data KPK, selama kurun waktu 2014-2016 sudah ada
delapan anggota DPR RI yang telah menjadi tersangka kasus korupsi. Ini
menunjukkan budaya dan perilaku koruptif masih sangat dekat dengan lembaga
perwakilan rakyat itu. Belum lagi jika dikaitkan dengan kader partai politik,
selama kurun waktu 2005-2015 saja menurut pantauan ICW sudah ada 82 orang
yang menjadi tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK.
Poin revisi
Setidaknya ada empat poin penting yang ingin direvisi DPR.
Pertama, mekanisme penyadapan harus melalui izin dari Dewan Pengawas. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa penyadapan telah menjadi salah satu senjata ampuh
KPK untuk menjerat koruptor. Hal itu bisa terbukti dari 17 operasi tangkap
tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 2016. Hampir keseluruhan OTT itu diawali
dengan penyadapan. Bisa dibayangkan jika mekanisme penyadapan diusik DPR,
pemberantasan korupsi akan semakin terhambat. Kedua, menghilangkan kewenangan
penuntutan dari KPK. Hal yang sering kali terjadi dalam penanganan perkara di
kejaksaan atau kepolisian ialah lambatnya proses pelimpahan perkara ke
penuntutan.
Lain halnya di KPK, berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU KPK,
paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas
perkara, penuntut umum wajib melimpahkannya ke pengadilan negeri. Tentu jika
wewenang penuntutan dikembalikan ke kejaksaan bisa diindikasikan, proses
penanganan perkara korupsi akan semakin berlarut-larut. Ketiga, wacana pembentukan
Dewan Pengawas. Keberadaan Dewan Pengawas ini nantinya akan mengakibatkan
degradasi independensi KPK. Pasal 3 UU KPK menegaskan KPK adalah lembaga
negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Praktis kewenangan yang dimiliki
Dewan Pengawas ini akan mengintervensi KPK secara kelembagaan.
Hal itu disebabkan anggota Dewan Pengawas dipilih Presiden
dan nantinya operasi penindakan KPK seperti penyadapan dan penyitaan juga
harus melalui izin Dewan Pengawas terlebih dahulu. Keempat, KPK berwenang
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Dengan berlakunya
Pasal 40 UU KPK yang menyatakan KPK tidak berhak mengeluarkan SP3 mempunyai
implikasi yang positif karena dengan begitu KPK menjadi sangat hati-hati
untuk menaikkan status perkara ke tahap penyidikan. Terbukti sampai saat ini
100% perkara yang ditangani KPK terbukti di pengadilan, baik di tingkat
pertama maupun di tingkat Mahkamah Agung.
Menghentikan laju pembahasan
Presiden dan DPR mempunyai peranan penting dalam
pembahasan Revisi UU KPK ini. Langkah yang paling tepat saat ini ialah
Presiden harus segera menarik diri jika pembahasan Revisi UU KPK ini berjalan
terus di DPR. Pasal 49 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan, 'Terhadap inisiatif DPR maka
presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam
jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak surat pimpinan DPR
diterima'. Berdasarkan ketentuan di atas, jika dalam jangka waktu tersebut
presiden tidak menugasi menteri terkait untuk mewakili pemerintah dalam
pembahasan RUU KPK, pembahasan tidak dapat dilanjutkan DPR.
Dengan demikian, proses pembahasan RUU KPK yang tidak
dihadiri pemerintah dapat dikatakan sebagai cacat hukum. DPR juga seharusnya
beralih untuk menyelesaikan tunggakan legislasi yang masih menumpuk daripada
sibuk mengurusi Revisi UU KPK yang sejauh ini belum diperlukan. Data per
November 2016 menunjukkan DPR hanya mengesahkan tujuh rancangan undang-undang
dari 50 target RUU yang terdapat di Prolegnas. Sementara itu, untuk 2017, DPR
telah menyepakati 49 RUU masuk daftar pekerjaan yang harus segera
diselesaikan. Ada baiknya jika DPR saat ini membahas isu soal Revisi UU
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Isu besar yang sampai sekarang belum diterapkan dalam
aturan pidana korupsi ialah implementasi dari United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC). Ada beberapa jenis tindak pidana korupsi dalam
UNCAC yang belum dimasukkan UU Tipikor. Sebut saja trading in influence atau
memperdagangkan pengaruh. Selain itu, ada illicit enrichment atau kekayaan
yang diperoleh secara tidak sah. Pemberantasan korupsi harus selalu menjadi
agenda prioritas dari presiden ataupun DPR. Menguatkan peran KPK sudah
menjadi harga mati yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Jika upaya untuk
melemahkan KPK ini terus dibiarkan, sudah pasti kejahatan korupsi akan
semakin subur di Indonesia dan semakin membuat perekonomian masyarakat
terpuruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar