Kalkulasi
Politik Pilkada DKI Jakarta Putaran Kedua
Stanislaus Riyanta ; Pengamat Intelijen; Alumnus Pascasarjana
Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia; Tinggal di Jakarta
|
DETIKNEWS, 09 Maret 2017
KPU DKI Jakarta telah memutuskan pada Pilkada DKI Jakarta
putaran kedua nanti Ahok-Djarot akan berhadapan dengan Anies-Sandi. Pada
tanggal 7 Maret – 15 April 2017 kedua pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur
DKI Jakarta memasuki kampanye. Pemilihan suara akan dilakukan pada tanggal 19
April 2017.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kalkulasi politik
pilkada DKI Jakarta pada putaran kedua ini?
Hasil pada putaran pertama (sumber: pilkada2017.kpu.go.id)
menunjukkan pasangan calon Ahok-Djarot memperoleh suara terbanyak dengan
2.357.785 suara (42,96%), disusul kemudian oleh pasangan calon Anies-Sandi
dengan perolehan suara 2.193.530 suara (39,97%). Agus-Sylvi yang harus
tersingkir pada putaran pertama hanya memperoleh 936.461 suara (17,06%).
Suara dari Agus-Sylvi sebanyak 17,06% tentu sangat
menggiurkan bagi pasangan calon yang akan berkompetisi pada putaran kedua.
Ahok-Djarot di atas kertas masih memerlukan 8% lagi untuk menang dengan
asumsi pemilih pada putaran pertama tetap memilih pada putaran kedua. Anies-Sandi
masih memerlukan 11% untuk memenangkan Pilkada DKI Jakarta ini. Kebutuhan
akan suara tersebut tentu saja membuat kantung suara Agus-Sylvi menjadi
sangat menarik dan mempunyai nilai tawar yang tinggi.
Peluang
Ahok-Djarot masih bisa memperbesar suara dari kalangan
pemilih rasional Jakarta. Pemilih rasional Jakarta cukup besar, sesuai data
Indikator Politik Indonesia, jumlah publik yang puas terhadap kinerja Ahok
mencapai 73,4%. Di sisi lain pemilih Ahok-Djarot hanya sekitar 43%.
Data tersebut menunjukkan ada sekitar 30% pemilih Jakarta
yang puas dengan kinerja Ahok-Djarot namun tidak memilih Ahok-Djarot. Angka
ini menjadi peluang bagi Ahok-Djarot untuk menambah perolehan suara.
Di atas kertas 30% warga DKI Jakarta yang puas dengan
kinerja Ahok namun tidak memilihnya pada putaran pertama sebagian justru
memilih Anies-Sandi, mengingat jumlah pemilih Agus-Sylvi hanya 17%.
Kemungkinan besar mereka tidak mau memilih Ahok-Djarot karena kasus penistaan
agama.
Ahok-Djarot bisa merebut suara tersebut salah satunya
dengan memanfaatkan sidang kasus penistaan agama yang didakwakan kepada Ahok.
Pemilihan saksi-saksi yang meringankan dan berpengaruh kepada masyarakat
diprediksi bisa (walaupun sedikit mengembalikan) kepercayaan masyarakat
kepada Ahok.
Selain hal tersebut, Ahok-Djarot harus tetap melakukan
kampanye dengan basis unjuk kinerja dengan menunjukkan data dan fakta yang
sudah dicapai. Angka kepuasan kinerja yang cukup tinggi dari masyarakat harus
diolah secara serius sebagai tambahan suara.
Bagi Anies-Sandi banyak cara bisa dilakukan untuk
memenangkan Pilkada DKI pada putaran kedua ini. Sebanyak 17% suara yang
dimiliki Agus-Sylvi bisa direbut oleh Anies-Sandi. Selain itu Anies-Sandi
juga bisa merebut suara dari kelompok masyarakat rasional yang dari 73,4%
hanya 43% yang memilih Ahok-Djarot.
Cara merebut pemilih rasional ini adalah dengan
memperbaiki program kerja yang mempunyai nilai jual dan rasional bagi
masyarakat. Anies-Sandie sebaiknya tidak perlu lagi menggunakan isu primodial
untuk merebut suara tambahan. Hal ini bisa menjadi bumerang di saat
masyarakat bisa jengah dengan politik yang kurang sehat.
Konsilidasi politik bisa dilakukan oleh Anies-Sandi
terutama untuk merangkul Partai Demokrat dan tiga partai lain, PPP, PAN dan
PKB. Seharusnya kalkulasi partai politik berdasarkan platform bepihak pada
Anies-Sandi untuk menambah jumlah koalisi partai pendukung. Namun koalisi
partai di tingkat pusat yang diikuti oleh PPP, PAN dan PKB pada pihak
pemerintah Joko Widodo akan menjadi tantangan tersendiri.
Dampak dan Risiko
Siapapun pemenang pilkada putaran kedua akan menjadi modal
besar bagi Pilpres 2019. Hingga saat ini masih belum ada tokoh selain Joko
Widodo dan Prabowo Subianto yang diperkirakan akan maju pada Pilpres 2019.
Pilkada DKI tidak salah jika dianggap sebagai Pilkada Pra
Pilpres. Pasangan Ahok-Djarot menjadi representasi kekuatan politik Joko
Widodo dan pasangan Anies-Sandi menjadi representasi kekuatan politik Prabowo
Subianto.
Jika Ahok-Djarot yang menang maka kekuatan politik Joko
Widodo akan lebih solid. Koalisasi parpol jika bisa linear antara tingkat
pusat dan provinsi DKI akan lebih mudah untuk membangun chemistry politik.
Hal tersebut merupakan langkah signifikan untuk menuju
2019. Kekuatan koalisi parpol sangat penting terutama untuk memperlancar
kebijakan-kebijakan yang memerlukan dukungan legislatif.
Risiko jika Ahok-Djarot yang menang pada Pilkada DKI tentu
tidak kecil. Ahok-Djarot akan banyak menerima serangan terutama dari basis
koalisi massa yang disatukan oleh kasus penistaan agama. Isu ini bisa terus
dilakukan terutama untuk melemahkan basis kekuatan Jokowi menghadapi Pilpres
2019 nanti.
Risiko jika Anies-Sandi yang menang pada Pilkada DKI tentu
saja juga ada. Bagi dunia bisnis dan industri, janji-janji kampanye Anies-Sandi
seperti DP 0% bagi perumahan, program-program yang diklaim pro rakyat
terutama pada sektor UKM bisa menjadi suatu ketidakpastian bagi sektor
bisnis.
Selain itu jika Anies-Sandi yang memenangkan pilkada maka
akan terjadi gaya pengelolaan baru di DKI Jakarta. Hal-hal baru ini belum
tentu menguntungkan bagi sektor ekonomi dan bisnis karena penyesuaian dengan
gaya dan kebijakan seringkali menimbulkan biaya.
Situasi politik pada pilkada DKI Jakarta bisa membuat
sektor ekonomi dan bisnis mengambil sikap wait and see. Sektor ekonomi dan
bisnis lebih diuntungkan jika pilkada dilakukan pada satu putaran. Aktivitas
politik cukup menguras perhatian.
Ketidakpastian
Siapapun masih bisa menang dalam Pilkada DKI putaran
kedua. Selisih suara kedua pasangan lebih kecil dari jumlah suara Agus-Sylvi
yang harus berhenti pada putaran pertama. Dengan perkiraan selisih angka yang
tipis pada putaran pertama, dan kantung suara yang direbut juga sedikit.
Dengan kondisi di atas maka diperkirakan pada putaran
kedua nanti siapapun yang menang selisihnya akan tetap tipis. Selisih suara
yang tipis ini akan memicu pihak yang kalah melakukan gugatan ke Mahkamah
Konsitusi (MK), sebagai salah satu usaha untuk memenangkan pilkada.
Untuk menghindari terjadinya gugatan ke MK oleh pihak yang
tidak puas dengan hasil pilkada maka harapan besar kepada KPU DKI Jakarta dan
Bawaslu DKI Jakarta untuk bersikap adil dan melakukan deteksi dini serta
pencegahan dini atas pelanggaran pelaksanaan pilkada. Celah-celah untuk
terjadinya pelanggaran akan membuat ketidakpastian politik semakin panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar