Pembangunan
Tanpa Arah
Saratri Wilonoyudho ;
Ketua
Koalisi Kependudukan dan Anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 07 Maret 2017
”Birokrasi sering melalaikan
kewajiban memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat miskin.”
DOKUMEN pembangunan hasil jiplakan, ternyata tak hanya
terjadi manakala Gubernur Bibit Waluyo dipermalukan di depan DPRD Jateng di
masa lalu, namun juga terjadi lagi di Kabupaten Semarang (Tajuk Rencana SM
2/3), dan mungkin di tempat lain yang belum terbongkar.
Fakta ini menunjukkan kegagapan atau setidaknya kemalasan
berfikir para birokrat untuk menjalankan tugas merumuskan kebijakan
pembangunan yang menjadi kewajibannya.
Para birokrat diamanahi rakyat untuk membangun daerahnya
seperti janji ketika dilantik menjadi pegawai, atau kalau pimpinan yang
dilantik ketika memenangkan pilkada.
Faktanya banyak dokumen pembangunan tak berarti kecuali
sebatas memenuhi persyaratan administratif atau macan kertas sehingga dibuat
asalasalan, tanpa data. Boleh jadi saat ini pembangunan yang berjalan,
sesungguhnya auto pilot, berjalan linier secara rutin seperti terjadi
sebelumnya.
Padahal zaman berubah tantangannya. Nampaknya budaya
ngeguhke jadi ciri khas birokrasi kita. Dokumen pembangunan hanya berisi
deretan angka bisu, kecuali angka-angka anggaran belanja daerah.
Karenanya ahli-ahli ilmu sosial pada umumnya mengamati
perilaku administrasi atau manejemen pemerintahan kota dalam memberikan
pelayanan masyarakat, dari empat sudut pandangan seperti yang dikemukakan
Robert L Lineberry sebagaimana dikutip Wirosardjono (1977), yakni :(1)
penataan perangkat pemerintah dan dinas-dinas pelayanan (institutional
arrangements); (2) pengaturan luasnya lingkup pelayanan (jurisdictional
size); (3) kepekaan dan daya tanggap dari birokrasi pemerintahnya
(responsiveness); serta (4) pemerataan pemberian pelayanan kepada berbagai
lapisan dan golongan masyarakat tanpa pandang bulu (equity).
Lewat desentralisasi, pemerintah kabupaten/kota ujung
tombak paling paham permasalahan dan aspirasi warga masyarakat dipimpinnya.
Namun nampaknya perubahan alamiah perilaku birokrasi secara umum tak dapat
berlangsung mulus karena:
1). Kokohnya kekuasaan politik, dan kepentingan politik
selalu harus dilayani oleh birokrasi. Akibatnya birokrasi tidak melakukan
perubahan mendasar dalam melayani rakyat dan dalam melaksanakan pembangunan;
2). Lemahnya kapasitas birokrasi untuk membaca tanda-tanda
zaman bahwa saat ini rakyat harus mendapatkan tempat utama sebagai subyek
pembangunan. Dari titik itulah reformasi birokrasi menjadi tuntutan lain
(Fahmi, 1996).
Konsep Birokrasi
Sejak Max Weber memperkenalkan konsep birokrasi, para ahli
lain setuju bahwa birokrasi bagian tak terpisahkan dari modernisasi. Studi
Gouldner, Blau, Etzioni, Riggs, Montgomery, dst, menunjukkan bahwa birokrasi
rasional dan efektif merupakan sarana sangat dibutuhkan dalam administrasi
masyarakat moderen.
Namun studi Sjoberg, Brymer, Taube, Hunt, dst, menunjukkan
organisasi birokrasi sering melalaikan kewajiban memecahkan masalah yang dihadapi
masyarakat miskin (Effendi,1986).
Bahkan studi tersebut menemukan birokrasi justru
mempertahankan ketimpangan, cenderung menghindari masyarakat miskin, dan
memilih kelompok elit dan kaya untuk menunjang ”keberhasilan’ organisasinya.
Nampak selama ini pembangunan boleh dikata hampir lepas
dari kebudayaan, karena penetrasi kapitalisme global yang sangat kuat
mencengkeram. Dalam dokumen perencanaan pembangunan jarang masyarakat
disodori fantasi masa depan, dan dengan strategi kebudayaan macam apa untuk
mencapainya.
Road map di bidang teknologi, pertanian, ekonomi, politik,
sosial, pendidikan, dan bidang-bidang strategis lainnya. Dalam kacamata van
Peursen, tuntutan tersebut adalah memahami kebudayaan sebagai strategi
fungsional.
Dalam menjalankan tahap fungsional, diperlukan strategi
agar kebudayaan yang sedang dijalankan atau kebudayaan ke depan bisa berjalan
matang. Dengan demikian, strategi kebudayaan merupakan pintu masuk setiap
program pembangunan. Jika kita bicara kebudayaan dalam arti aktif, kata
kuncinya kreativitas.
Pertanyaannya, darimana kita dapat mengembangkan
kreativitas sebagai modal budaya jika, misalnya, agen-agen kebudayaan semacam
birokrasi tak paham apa yang harus dilakukannya ke depan? Copy paste dokumen
pembangunan wujud absennya kreativitas.
Nah kalau dari sisi perangkat materi (yakni dokumen
perencanaan / pembangunan saja) birokrasi sudah tidak punya konsepnya, atau
malas membuatnya, bagaimana dengan daya tanggapnya terhadap perubahan zaman?
Pembangunan hanyalah alam materi.
Alam materi ini menurut Antonio Gramsci hanyalah
memberikan kemungkinan (dalam hal ini : kemungkinan mensejahterakan dan
kemungkinan lain lagi menghancurkan).
Karena itu kalau kemungkinan ini tidak ditangkap kesadaran
manusia, kemungkinan ini hanyalah berhenti pada tataran potensi saja. Di
sinilah strategi kebudayaan fungsional sangat diperlukan untuk mengendalikan
alam materi tersebut. Pembangunan bukan hanya urusan rasionalitas otak saja,
namun juga perasaan dan hati nurani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar