(Bukan)
Mahkamah Kalkulator
Bayu Dwi Anggono ;
Direktur
Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi)
Fakultas Hukum Universitas Jember
|
DETIKNEWS, 03 Maret 2017
Seperti pernah terjadi saat penyelesaian perkara sengketa
penetapan perolehan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pilkada) serentak Tahun 2015, perdebatan di publik perihal penerapan secara
ketat syarat selisih perolehan suara dengan prosentase tertentu antar
pasangan calon (ambang batas selisih perolehan suara tertentu) dalam Pilkada
serentak 2017 untuk dapat diajukannya suatu perkara ke Mahkamah Konstitusi
(MK) kembali mengemuka.
Perdebatan bahkan menjurus kepada tudingan bahwa MK saat
ini tidak lebih daripada sekedar sebagai mahkamah kalkulator dibandingkan
sebagai the guardian of the constitution (penjaga konstitusi) dan the
guardian of the democracy (penjaga demokrasi).
Refly Harun dalam salah satu kesempatan saat diwawancarai
oleh detik.com (27/02/17) secara tegas menyampaikan MK sebagai penjaga
konstitusi seharusnya tidak berpedoman pada ambang batas selisih perolehan
suara. MK bisa melampaui itu jika ditemukan fakta suatu Pilkada tidak
berlangsung jujur dan adil.
Lebih lanjut menurut Refly jika MK membatasi diri (self
restrain) terhadap adanya ketentuan 0,5 sampai 2 persen dalam menerima
gugatan, MK akan kehilangan hakikatnya sebagai penjaga konstitusi. Atas
desakan agar MK mengesampingkan ambang batas atau prosentase selisih perolehan
suara tertentu sebagai syarat dapat diadilinya perkara sengketa hasil
Pilkada, Ketua MK Arief Hidayat dalam konferensi persnya menegaskan tidak
sembarang selisih hasil suara bisa digugat ke MK.
Ada syarat signifikan mulai dari prosentase setengah
persen sampai dua persen. Kalau tidak memenuhi syarat ini percuma kalau mau
adukan ke MK kata Arief. (Detik.Com, 27/02/2017).
Politik Hukum Ambang Batas dan
Dampaknya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) mengatur peserta
Pilkada dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan
suara sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur Pasal 158.
Pasal 158 ayat (1) mengatur syarat jumlah perbedaan suara
untuk Pilkada Provinsi yaitu:
(i) provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2 juta,
paling banyak selisih suara 2%;
(ii) provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta
sampai dengan 6 Juta, paling banyak selisih suara 1,5%;
(iii) provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6 juta
sampai dengan 12 juta, paling banyak selisih suara 1%;
(iv) provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta,
paling banyak selisih suara 0,5%.
Sementara Pasal 158 ayat (2) mengatur syarat jumlah
perbedaan suara untuk Pilkada kabupaten/kota yaitu:
(i) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan
250 ribu paling banyak selisih suara 2%;
(ii) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250
ribu sampai dengan 500 ribu paling banyak selisih suara 1,5%;
(iii) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500
ribu sampai dengan 1 juta paling banyak selisih suara 1%;
(iv) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1
juta paling banyak selisih suara 0,5%.
Munculnya ketentuan Pasal 158 UU Pilkada ini setidaknya
didasari pada 2 (dua) pertimbangan utama yaitu:
Pertama, sebagai suatu bentuk kompromi atau konsensus
pembentuk UU akibat saling 'lempar' kewenangan penanganan sengketa hasil
Pilkada antara MA dan MK, serta untuk memangkas jumlah kasus sengketa hasil
pilkada yang ditangani MK.
Kedua, bagian dari upaya pembentuk UU mendorong
terbangunnya etika dan sekaligus budaya politik yang makin dewasa yaitu
seseorang yang turut serta dalam kontestasi Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota tidak serta-merta menggugat suatu hasil pemilihan ke MK dengan
perhitungan yang sulit diterima oleh penalaran yang wajar.
Mengingat sebelum adanya ketentuan Pasal 158 UU Pilkada
harus diakui etika dan sekaligus budaya politik dalam proses Pilkada selama
ini memang belum terlalu tinggi, terbukti kurang lebih 85 persen lebih
Pilkada berujung sengketa di MK.
Terhadap ketentuan Pasal 158 UU Pilkada pernah 2 (dua)
kali dilakukan pengujian ke MK. Batu Uji permohonan ini adalah Pasal 158 UU
Pilkada dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24
ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
MK dalam putusannya (Putusan MK Nomor 51/PUU-XIII/2015)
menolak permohonan dengan pertimbangan pembatasan bagi peserta Pilkada untuk
mengajukan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dalam Pasal 158 UU
Pilkada merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk UU untuk menentukannya
sebab pembatasan demikian logis dan dapat diterima secara hukum.
Keberadaan ambang batas selisih perolehan suara pada
dasarnya masuk kategori sebagai sebuah politik hukum pembentuk UU yang
menurut begawan hukum Satjipto Raharjo (2000) merupakan aktivitas memilih dan
cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum
tertentu dalam masyarakat. Politik hukum ambang batas selisih perolehan suara
ini di satu sisi bisa dikatakan berhasil membangun etika sekaligus budaya
politik baru yaitu dalam Pilkada tahun 2015, dari sebanyak 264 daerah yang
menyelenggarakan Pilkada, 132 daerah yang mengajukan permohonan ke MK.
Menurut MK, pasangan calon gubernur, bupati, atau walikota
di 132 daerah yang tidak mengajukan permohonan ke MK besar kemungkinan
dipengaruhi oleh kesadaran dan pemahaman atas adanya ketentuan Pasal 158 UU
Pilkada. Hal demikian berarti, fungsi rekayasa sosial UU Pilkada bekerja
dengan baik (Putusan MK Nomor 123/PHP.BUP-XIV/2016).
Dalam perkembangannya kemudian keberadaan ambang batas
selisih perolehan suara ternyata tidak hanya menjadi "Law as a tool of
social engineering" dalam arti positif, melainkan ternyata juga membuka
peluang dan mengarah kepada perilaku menyimpang sehingga menuju dark
engineering. Hal ini dikarenakan hukum bukan suatu institusi yang absolut dan
final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan
menggunakannya, manusialah yang merupakan penentu (Satjipto Raharjo, 2009).
Perilaku menyimpang yang dimaksudkan atas keberadaan Pasal
158 UU Pilkada adalah, mengingat sikap MK yang ketat dan kaku menerapkan
Pasal 158 UU Pilkada maka diduga kuat dalam Pilkada serentak 2017 terdapat
sejumlah "penumpang gelap" yang mencoba menyalahgunakan ketentuan
ambang batas selisih perolehan suara ini, untuk melakukan pelanggaran yang
terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) melalui kolaborasi dengan oknum
penyelenggara dan pengawas Pilkada.
Para penumpang gelap ini melakukan upaya rekayasa selisih
perolehan suara antar pasangan calon yang jika memungkinkan selisihnya dibuat
besar, namun jika sulit dibuat selisihnya sedikit (tipis) agar melebihi/di
atas ketentuan ambang batas yang dipersyaratkan oleh Pasal 158 UU Pilkada.
Tujuan kecurangan untuk membuat adanya selisih di atas
ambang batas yang dipersyaratkan (meskipun tipis) adalah agar andaikata
pasangan calon yang kalah mengajukan sengketa ke MK maka permohonan sengketa
tersebut tidak akan mungkin diperiksa oleh MK karena perkara tersebut setelah
didaftarkan ke MK dan melalui pemeriksaan pendahuluan pada akhirnya akan
digugurkan/tidak diterima oleh MK atas dasar tidak memenuhi syarat formil
Pasal 158 UU Pilkada.
Jalan Tengah Menyelamatkan Pilkada
Demokratis
Atas adanya dugaan "penumpang gelap" yang
mencoba menyalahgunakan maksud awal lahirnya ketentuan ambang batas selisih
perolehan suara tertentu, tidak boleh terus dibiarkan karena hal tersebut
sangat bertentangan dengan prinsip pelaksanaan Pilkada demokratis. Untuk itu
MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sesuai dengan Pasal 24 ayat
(1) UUD 1945 yang mengatur kekuasaan kehakiman menyelenggarakan peradilan
tidak hanya untuk menegakkan hukum melainkan juga menegakkan keadilan perlu
mengambil sejumlah langkah dalam mengatasi perilaku menyimpang tersebut.
Benar bahwa dalam mengadili perkara sengketa hasil
Pilkada, hakim-hakim MK tidak boleh mempertanyakan, memiliki keragu-raguan
atau malah menyimpangi ketentuan UU Pilkada mengingat hakim MK tidak sedang
menguji konstitusionalitas UU tersebut melainkan sekedar pelaksana UU. Namun
yang harus diingat, Hakim MK dalam menegakkan Undang-Undang Pilkada tidak
boleh hanya sebatas menegakkan ketentuan Pasal 158 UU Pilkada semata
melainkan secara sistematis juga harus menegakkan ketentuan Pasal 2 UU
Pilkada yang secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa Pilkada dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil.
Untuk itu terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh MK
dalam rangka mengantisipasi perilaku menyimpang yang terjadi sebagai akibat
berlakunya Pasal 158 UU Pilkada.
Pertama, MK dalam rangka menegakkan keadilan substansial
dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan dalam rangka
menegakkan Pasal 2 UU Pilkada maka sebenarnya dimungkinkan dalam
perkara-perkara sengketa Pilkada tertentu, yang meskipun pemohon tidak
memenuhi persyaratan ambang batas selisih perolehan suara tertentu, namun
sepanjang secara pembuktian menunjukkan adanya pelanggaran TSM (terstruktur,
sistematis dan masif-red) yang sangat mencederai asas Pilkada maka MK bisa
mengesampingkan berlakunya Pasal 158 UU Pilkada.
Dengan kata lain Pasal 158 UU Pilkada haruslah dimaknai
dapat diberlakukan sepanjang dalam kondisi normal yaitu tidak terpenuhinya
ambang batas pengajuan sengketa bukan karena faktor kecurangan yang TSM,
namun karena pilihan murni pemilih. Sebaliknya Pasal 158 UU Pilkada tidak
dapat diberlakukan secara mutlak dalam hal nyata-nyata tidak terpenuhinya
ambang batas karena perilaku kecurangan TSM.
Kelebihan dari opsi pertama ini adalah dikedepankannya
keadilan substansial dibandingkan hukum acara prosedural. Sementara
kekurangannya adalah aspek kepastian hukum yaitu Pasal 158 UU Pilkada sampai
saat ini masih sah atau konstitusional berlaku karena tidak pernah dinyatakan
inskonstitusonal oleh MK dalam perkara pengujian UU.
Kedua, untuk memadukan ketentuan dalam Pasal 158 UU
Pilkada dengan Pasal 2 UU Pilkada tanpa harus saling meniadakan satu dengan
yang lain. MK yang diberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut pedoman
beracara sengketa Pilkada dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi sebenarnya
dapat menformulasikan unsur kepastian hukum dengan keadilan dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi yang dibentuk.
Formulasi yang dimaksud adalah hakim-hakim MK dapat
membuat pentahapan pemeriksaan persidangan khusus untuk perkara sengketa yang
meskipun selisih perolehan suara pemohon dengan pihak terkait (pasangan calon
yang memperoleh suara terbanyak) melebihi ambang batas yang dipersyaratkan
oleh Pasal 158 UU Pilkada, namun kelebihan ambang batas tersebut berada dalam
prosentase yang tipis (kelebihannya bisa ditetapkan di kisaran paling banyak
1 % atau 2 %).
Pentahapan pemeriksaan persidangan dimaksud dapat dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu Tahap I dan Tahap II. Pemeriksaan persidangan tahap I
(pertama) dilakukan untuk memeriksa apakah kelebihan ambang batas yang tipis
tersebut (tidak lebih 1 % atau 2%) disebabkan oleh perilaku curang yang
bersifat TSM oleh pihak terkait atau termohon (penyelenggara Pilkada).
Sebagai contoh, misal untuk Provinsi A yang memiliki
jumlah penduduk 10 juta dimana sesuai Pasal 158 dipersyaratkan ambang batas
paling banyak 1 %, maka jika pemohon yang mengajukan sengketa ternyata
selisih perolehan suara dengan pihak terkait di atas 1% yaitu 2%. Maka
seharusnya hakim MK dalam pemeriksaan persidangan tahap I membuka kesempatan
untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran TSM. Melalui pemeriksaan
persidangan tahap I yang memeriksa mengenai penyebab kelebihan ambang batas
tersebut. Selanjutnya akan dibuat keputusan (seperti putusan pendahuluan)
khusus mengenai kelebihan ambang batas tersebut yaitu apakah kelebihan ambang
batas betul disebabkan oleh pelanggaran TSM ataukah memang karena pilihan
pemilih murni.
Jika nantinya putusan persidangan tahap I menyatakan
kelebihan ambang batas tersebut karena perilaku kecurangan TSM, maka atas
dasar keputusan tersebut perkara dilanjutkan kepada pemeriksaan persidangan
tahap II yang di dalamnya mulai memeriksa perkara sengketa atas dasar ambang
batas yang telah ditetapkan oleh Pasal 158 UU Pilkada. Dikecualikan dari
pemeriksaan persidangan tahap I ini adalah perkara sengketa yang ambang
batasnya masih memenuhi ketentuan Pasal 158 UU Pilkada.
Akhirnya atas berbagai opsi ini, MK lah yang memutuskan
apakah akan melaksanakan ketentuan Pasal 158 UU Pilkada secara ketat yang
berarti menjadi mahkamah kalkulator, atau MK akan kembali ke jati dirinya
sebagai lembaga peradilan yang dipercaya menegakkan keadilan substantif yang
tidak terkekang oleh kekakuan undang-undang yang terkadang tertinggal oleh
perkembangan perubahan sosial di masyarakat baik positif maupun negatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar