Membatasi
Gugatan Pilkada
Agus Riewanto ;
Pengajar
Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
|
KORAN
JAKARTA, 03 Maret 2017
Pilkada serentak tahun 2017 di 101 daerah (provinsi,
kabupaten, dan kota) telah usai. Kini sejumlah pihak tengah mempersiapkan
gugatan sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejauh ini, MK
telah menerima 33 permohonan perkara sengketa. Setelah melalui proses
pendaftaran, MK akan memeriksa kelengkapan pada tanggal 2-3 Maret.
Sidang pendahuluan baru dimulai pada 16-22 Maret. MK
memiliki waktu 45 hari kerja menyelesaikan sengketa pilkada. MK memperkirakan
perkara selesai awal Mei 2017 mendatang. Sejumlah kalangan minta agar gugatan
perselisihan hasil pilkada ke MK tak dibatasi. Sebaliknya tulisan ini hendak
coba memberikan pemahaman, sengketa Pilkada harus dibatasi dengan argumentasi
yuridis dan sosiologis.
Mengacu pada Pasal 158 Ayat (1) dan (2) UU No 10/2016
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta Pasal 6 Peraturan MK
No 3/2016 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilu
Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Isinya, mengajukan permohonan pembatalan
penetapan hasil penghitungan suara hasil pilkada harus memenuhi syarat formal
ambang batas perselisihan paling tinggi 1-2 persen untuk pilgub.
Ini didapat dari total suara sah hasil penghitungan suara
tahap akhir yang ditetapkan KPU Provinsi. Sedangkan untuk pilbub/pilwakot
harus memenuhi syarat formal ambang batas perselisihan paling tinggi 0,5-2
persen total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU
Kabupaten/Kota.
MK terikat dua ketentuan perundangan ini. Jika tak
mematuhi ketentuan gugatan sengketa hasil pilkada tidak dapat diterima. Bagi
MK ketentuan Pasal 158 UU No 3/2016 merupakan pembatasan bernilai positif
sebagai sebuah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembuat UU
agar tercipta kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.
Karena itu, MK tidak menafsirkan lebih jauh ketentuan UU
ini. Bahkan dijadikan MK sebagai tameng menolak permohoan sengketa pilkada jika
tak memenuhi ambang batas selisih kemenangan sesuai UU.
Walaupun demikian, ada kemajuan dalam mengambil keputusan
menolak permohonan MK melakukan terobosan hukum acara dengan menciptakan
model sidang pendahuluan (dismissal). Agendanya mendengarkan para pihak yang
beperkara (Pemohon yang kalah pilkada, termohon KPU, panwaslu, calon yang
menang pilkada) untuk menyampaikan argumentasi hukum dan bukti-bukti awal
atas perselisihan hasil pilkada.
Pembatasan sengketa pilkada oleh MK tahun ini berbeda dengan
tahun-tahun sebelumnya (2005-2013). Saat itu, MK berani memutuskan aneka
kasus pilkada yang berpotensi adanya kecurangan selama proses pilkada. Ini
harus terdapat unsur pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM).
Pada pilkada 2008, misalnya, MK membuat Keputusan No 41/-PHPU.D-VI/2008 yang
mengadili pilkada Jawa Timur dengan memperkenalkan istilah pelanggaran
bersifat TSM.
Sejak itu hampir semua putusan MK selalu menempatkan
argumentasi hukum, MK tidak hanya terpaku hasil rekapitulasi KPU, tapi akan
mencari dan menciptakan keadilan hukum dalam pilkada berdasarkan tafsir hukum
yang luas. Yakni mengadili semua proses dan tahapan pilkada baik yang
mengandung pelanggaran pidana maupun administrasi.
Bagi MK kala itu, secara substantif sangat dimungkinkan
bahwa tindak pidana dan pelanggaran administrasi selama proses pilkada
merupakan faktor diterminan kemenangan atau kekalahan.
Urgensi
Perlu memahami beberapa unsur atas pilihan pembatasan
gugatan sengketa untuk membedakan putusan MK pilkada serentak 2015 dengan
sengketa 2005-2013 lalu. Dengan memahami putusan MK ini kelak akan dapat
diambil hikmah guna memperbaiki secara sistemik model penyelesaian sengketa
pilkada mendatang melalui revisi UU No 10/2016 tentang Pilkada.
MK sejak semula memang menolak mengadili sengketa pilkada
pascaterkuaknya kejahatan suap ratusan miliar rupiah terhadap mantan Ketua MK
Akil Muchtar tahun 2010-2013. Karena itu, MK telah mengeluarkan putusan No
97/PUU-XI/2013. Isinya MK tidak berwenang lagi mengadili sengketa pilkada dan
mengembalikan ke Mahkamah Agung (MA).
Namun Mendagri atas nama pemerintah belum dapat
menerbitkan mekanisme dan prosedur beracara di MA. Ketua MA Hatta Ali dalam
banyak kesempatan menyatakan, belum siap menangani sengketa pilkada karena
belum memiliki hakim andal. MA juga belum punya fasilitas pengadilan memadai.
Akhirnya sengketa pilkada serentak diadili MK sampai MA siap.
Karena itu, secara psikologis MK tak mau kesulitan dalam
memutus dan mencari keadilan dalam sengketa pilkada serentak ini cukup dengan
berpedoman pada ketentuan Pasal 158 ayat (1) dan (2) UU No.10/2016.
MK hendak menempatkan diri mengadili sengketa selisih
suara hasil perhitungan dari rapat pleno KPUD dan tidak akan masuk ke dalam
jenis perkara lainnya. MK berasumsi bahwa semua pelanggaran dalam proses
tahapan pilkada telah dapat ditangani lembaga-lembaga lain. Misalnya, politik
uang (money politic) dalam proses pencalonan, kampanye dan pemungutan suara
dianggap telah diselesaikan oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu).
Ini terdiri dari polisi, panwaslu dan kejaksaan negeri.
Begitu pula sengketa administrasi selama pilkada telah
diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan MA. Dengan begitu,
sesungguhnya MK hendak memulihkan kepercayaan pada instutusi lain. Sehingga
tidak semua masalah dan konflik pilkada dibawa ke MK karena akan kesulitan
membuktikan secara materil.
MK hendak memberi pesan moral pada pemerintah dan DPR
segera merevisi UU No 10/2016 tentang Pilkada guna membentuk peradilan khusus
pemilu agar MK tidak menjadi “keranjang” untuk menampung semua pelanggaran
tahapan dan proses pemilu. Setiap pelanggaran tahapan dan proses pilkada
harus diselesaikan pada setiap waktu yang disediakan UU.
Jadi bukan menyimpannya untuk dijadikan senjata pamungkas
dalam mengajukan gugatan ke MK jika kalah dalam pilkada. Ini menunjukkan MK
hendak ditempatkan para calon yang kalah sebagai institusi yang mengubah
suara menjadi menang. Dengan menolak permohonan yang tak memenuhi ambang
batas 0,5-2 persen, sesungguhya MK juga tengah berpesan agar tak ada lagi
kepala daerah pilihan hakim MK. Semua harus pilihan rakyat.
Melalui pembatasan sengketa pilkada ini, sesungguhnya MK
hendak menyampaikan pesan hukum agar DPR dan Presiden segera merevisi UU No
10/2016 tentang Pilkada untuk mereformasi kewenangan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dia tidak hanya menangani dugaan pelanggaran
etika yang dilakukan penyelenggara pemilu (KPU), partai politik, peserta
pemilu, media, pemilih dan pejabat negara.
Selama ini penanganan pelanggaran pemilu hanya diserahkan
kepada tiap-tiap institusi asal pelanggar. Untuk pelanggaran parpol, bahkan
tak ada dewan etik yang dapat menindaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar