Ombudsman,
Menuju Birokrasi yang Melayani
Dominikus Dalu Sogen ; Asisten Senior Ombudsman pada
Ombudsman RI
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Maret 2017
DENGAN pakaian yang lusuh karena seharian bepergian dari
desanya nun jauh di pelosok Jawa Timur menggunakan kendaraan umum, sebutlah
Wakiran, nama petani tua renta, datang ke Kantor Ombudsman. Tujuan dan
tekadnya hanya satu, ingin mengadukan perilaku pejabat di daerahnya yang tak
kunjung menyelesaikan perkara tanah miliknya. Ia sudah melapor ke mana-mana
tetapi tidak ada yang memedulikannya. Sementara itu, tanah berupa sawah
tersebut hanya merupakan satu-satunya tempat mencari nafkah sebagai petani.
Jangankan membaca dan menulis, berbahasa Indonesia pun ia tidak mampu. Dengan
bantuan staf Ombudsman, Wakiran tua akhirnya dapat dibuatkan laporan. Rupanya
perkara tanah hak milik satu-satunya berawal dari utang piutang yang tanpa
diketahuinya diperdaya pihak lain. Oknum perangkat desa mengatasnamakan
namanya meminjam uang kepada rentenir, sayangnya tanah yang menjadi jaminan
harus jatuh ke tangan rentenir. Merasa tertipu, akhirnya Wakiran menuntut
haknya.
Singkat cerita, dengan proses yang cukup memakan waktu
Ombudsman memfasilitasi penyelesaian masalah tersebut dengan pihak terkait.
Pelaku penipuan mengakui kesalahan dan berjanji memenuhi kewajibannya
sehingga tercapai kesepakatan penyelesaian. Dalam kesempatan yang lain,
Ombudsman menerima surat dari pensiunan pegawai bank milik pemerintah yang
mempertanyakan mengapa dia diberikan sanksi atau hukuman kepegawaian berupa
pemberhentian dari jabatan tanpa ia ketahui apa kesalahannya. Padahal, ia
merasa sudah bekerja dengan sebaik-baiknya sebagai pegawai dan hanya ingin
mengetahui apa kesalahannya sehingga dihukum. Ia berharap sebelum meninggal
dunia sudah merasa tenang karena sudah mengetahui apa masalahnya.
Setelah difasilitasi Ombudsman dengan pihak kantor tempat
ia pernah bekerja, ternyata beliau difitnah. Cerita dengan korban yang
berlatar belakang berbeda masih banyak dijumpai dari laporan atau pengaduan masyarakat
yang disampaikan kepada Ombudsman. Sejak dibentuk 10 Maret 2000 oleh Presiden
Gus Dur dengan Keppres 44/2000, selanjutnya saat ini sudah dibentuk dengan UU
dan bukan sebagai komisi negara, tetapi sudah menjadi lembaga negara.
Walaupun harus pula diakui, tidak semua laporan masyarakat dapat
terselesaikan dengan baik karena berbagai alasan. Mulai kompleksitas
permasalahan yang rumit karena melibatkan sekian banyak instansi hingga
keengganan para pihak yang tidak menyelesaikan masalah dengan berbagai
alasan. Luasnya jangkauan kewenang-an Ombudsman karena menyangkut pelayanan
publik pada berbagai sektor penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk
BUMN/BUMD dan swasta atau perseorangan yang dibiayai negara. Belum lagi
keterbatasan sumber daya pada Ombudsman sendiri sehingga belum dapat
menjangkau dan melayani laporan masyarakat secara baik.
Belum banyak berubah
Pengalaman Ombudsman dalam mengawasi pelayanan publik
selama 17 tahun terakhir menunjukkan birokrasi penyelenggara pelayanan belum
banyak berubah. Padahal, tugas dan fungsi birokrasi negara pada strata mana
pun, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, ialah menyelenggarakan
administrasi dan memberikan pelayanan kepada publik. Birokrasi yang belum
banyak berubah itu dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain, pertama, IPK
korupsi Indonesia masih tergolong sangat rendah untuk sebuah negara
demokrasi, konon salah satu yang terbesar di dunia. Dalam lima tahun terakhir
sejak 2011, yakni dari skor 3,0 bergerak lambat sampai pada 2016 menjadi 3,7
yakni peringkat 90 dari 179 negara. Salah satu penyumbang terbesar skor IPK
korupsi tersebut karena justru pada birokrasi pelayanan publik yang masih
buruk, selain faktor korupsi yang masih merajalela tentunya.
Kedua, laporan/pengaduan masyarakat terkait dengan
keberatan atas pelayanan publik yang buruk terus meningkat setiap tahunnya.
Jika pada awal berdirinya Ombudsman pada 2000 hanya berkisar 1.200 laporan
masyarakat yang disampaikan kepada Ombudsman, saat ini terus meningkat setiap
tahunnya. Pada 2016, sudah mendekati 15 ribu laporan masyarakat. Ini
menandakan permasalahan pelayanan publik dan birokrasi penyelenggara
pelayanan masih banyak yang bermasalah. Belum lagi laporan dari masyarakat
kepada lembaga pengawasan yang lain seperti kepada KY, KPK, Komnas HAM, LPSK,
dan KIP, walaupun perlu juga dilihat aspek lain seperti tentang kesadaran
masyarakat yang meningkat akan haknya sehingga sudah berani melapor kalau
tidak diperlakukan secara baik oleh birokrasi selaku penyelenggara pelayanan.
Ketiga, setiap tahun sekian banyak instansi pemerintahan
memberikan hukuman disiplin berupa sanksi administrasi dari yang ringan
sampai berat berupa pemecatan kepada oknum birokrasi yang bermasalah dengan
disiplin. Belum lagi, oknum birokasi yang terbukti terlibat pidana sehingga
dihukum. Padahal, semua birokrasi pemerintahan ketika diangkat menjadi ASN
atau pejabat penyelenggara negara telah mengikrarkan janji dan sumpah di
hadapan atasannya dan atas nama Tuhan sesuai dengan agamanya untuk tidak
melakukan pelanggaran disiplin dan pelanggaran hukum.
Budaya melayani
Dalam praktik bernegara dan pelayanan publik yang baik di
negara modern, prinsip bahwa rakyat harus dilayani birokrasi negara merupakan
prasyarat utama. Untuk itu, sejalan dengan program pemerintah saat ini yang
tertuang dalam Nawa Cita yang antara lain bahwa negara harus hadir, artinya
negara ada untuk rakyatnya. Dengan demikian, birokrasi harus mengubah sikap
mental dan perilakunya untuk hadir dan melayani. Pengalaman Ombudsman selama
17 tahun menunjukkan mengapa melayani publik belum menjadi budaya di negara
ini karena beberapa hal. Pertama, belum adanya kesadaran bahwa jabatan yang
diemban selaku birokrat hanya sementara dan harus-nya dikembalikan kepada
tujuan jabatan tersebut, yakni melayani, karena birokrasi hakikatnya juga
selaku masyarakat biasa di luar tugasnya. Kedua, terjebak dalam sistem
birokrasi yang korup. Semua dilakukan dengan pamrih untuk kepentingan sendiri
bila perlu menghalalkan segala cara karena lingkungan sekitarnya berperilaku demikian
termasuk tuntutan hidup. Ketiga, tidak kompeten karena jabatan yang diemban
karena hadiah atau faktor KKN sehingga tidak profesional.
Keempat, kesadaran dan kepatuhan yang rendah terhadap
hukum dan norma yang berlaku universal sehingga aturan dilanggar tanpa merasa
bersalah. Kelima, mekanisme hukuman dan penghargaan belum diterapkan secara
konsisten. Menurut Farling (1999), birokrasi atau kepemimpinan yang memiliki
karakter melayani paling tidak memenuhi lima kriteria, yaitu visioner,
memberikan pengaruh yang baik, memiliki kredibilitas dan integritas yang
teruji, serta memiliki jiwa melayani. Semoga ke depan birokrasi kita semakin
berubah dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Penulis masih
terngiang pesan almarhum Gus Dur selaku pendiri Ombudsman, ketika mendampingi
pimpinan Ombudsman periode pertama pada akhir Oktober 2008, menemui beliau
pascaterbitnya UU 37/2008 tentang Ombudsman RI, bahwa kakek beliau adalah
pendiri DI/TII. Namun sayang, dalam perjalanannya organisasi ini disalahgunakan
para pemimpinnya. Semoga tidak demikian dengan Ombudsman sehingga tetap hadir
dan membawa kemaslahatan bagi rakyat, bangsa, dan negara tercinta. Selamat
ulang tahun ke-17 untuk Ombudsman, menjadi mitra birokrasi membantu
mewujudkan pelayanan publik yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar