Nalar
Hukum LHKPN
Mardiana ; Dosen FH Universitas Sriwijaya;
Pengurus Bidang Kajian Strategis
DPP Ikatan Alumni FH UNDIP
|
DETIKNEWS, 08 Maret 2017
Febri Diansyah, juru bicara KPK menyampaikan bahwa dari 9
Hakim Konstitusi, selain Patrialis Akbar, baru 3 orang Hakim Konstitusi yang
menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Menurutnya,
penyampaian LHKPN menjadi bagian awal dari delik illicil enrichment atau
pemerkayaan tidak wajar (Kompas, 3 Maret 2017).
Delik illicil enrichment memang memidana peningkatan
kekayaan pejabat publik yang tidak wajar. Namun, ada konstruksi hukum yang
harus diluruskan mengenai LHKPN agar legislasi dan regulasi terkait LHKPN
didudukkan secara jernih dan tidak secara tendesius.
Konstruksi Hukum
Dasar hukum LHKPN terdapat dalam UU No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 30 Tahun
2002 tentang KPK, dan Peraturan KPK No. 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara
Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
LHKPN merupakan mekanisme pengawasan yang lahir sejak
lama, bahkan sebelum KPK berdiri, yaitu sejak terbentuknya Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang menangani pelaporan kewajiban
LHKPN. Seiring bubarnya KPKPN dan menjadi bagian dari Bidang Pencegahan KPK,
LHKPN ditangani oleh KPK.
Kewajiban LHKPN ini tertuang dalam Pasal 5 angka 2 dan
Pasal 17 UU No. 28 Tahun 1999. Pasal 5 angka 2 mengatur bahwa setiap
Penyelenggara Negara berkewajiban untuk bersedia diperiksa kekayaannya
sebelum, selama, dan setelah menjabat. Selanjutnya Pasal 17 mengatur, antara
lain; (a) Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan
pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara; (b) Pemeriksaan kekayaan
Penyelenggara Negara dilakukan sebelum, selama, dan setelah yang bersangkutan
menjabat; (c) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan kekayaan Penyelenggara
Negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bila membaca pasal-pasal dalam UU No. 28 Tahun 1999, maka
dapat dianalisis sebagai berikut:
Pertama, dalam Pasal 5 angka 2 terdapat frasa
"berkewajiban untuk bersedia diperiksa". Frasa "berkewajiban
bersedia untuk diperiksa" merupakan frase yang unik dalam sebuah bahasan
peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana isi sebuah norma hukum yang dituliskan dalam
peraturan perundang-undangan, norma hukum terdiri atas norma perintah
(gebood), norma larangan (verbod), dan norma pembolehan/izin (toestemming),
serta norma pembebasan dari suatu perintah (vrijstelling).
Frasa "bekewajiban bersedia untuk diperiksa"
dapat merupakan norma perintah termasuk juga norma pembebasan. Norma
pembebasan biasanya digunakan kata "kecuali" (apabila dirumuskan
dalam Pasal tanpa ayat) atau "dalam hal" (apabila dirumuskan dalam
Pasal yang memiliki ayat).
Namun, apabila melihat secara sistematika konstruksi Pasal
5 maka dapat dipastikan bahwa frasa "bekewajiban bersedia untuk
diperiksa" merupakan frasa pembebasan. Lihat saja pengaturan dalam Pasal
5 angka 3 yang menyatakan bahwa "Setiap Penyelenggara Negara
berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah
menjabat".
Jelas Pasal tersebut berisi perintah, tanpa digandeng
dengan kata "bersedia" sebagaimana Pasal 5 angka 2. Artinya,
penyelenggara negara dapat melaporkan harta kekayaannya selam menjabat
menjadi penyelenggara negara, namun harus melaporkan harta kekayaannya
sebelum dan sesudah menjabat.
Kedua, dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 28 Tahun 1999
dinyatakan bahwa Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk
melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara. Secara
normatif, kewajiban memeriksa berada di KPK.
KPK berperan aktif melakukan pemeriksaan harta kekayaan
penyelenggara negara. Bahkan dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a KPK bertugas dan
berwenang melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan
penyelenggara negara.
Tugas dan kewenangan tersebut mengikat KPK untuk tidak
hanya memeriksa sebelum dan setelah menjabat, namun juga pada saat menjabat.
Hal ini berbeda dengan konstruksi Pasal 5 yang mengatur bahwa penyelenggara
negaralah yang aktif melaporkan sebelum dan sesudah menjabat, dan bila
bersedia juga pada saat menjabat.
Artinya, KPK tidak bisa menyalahkan sepenuhnya
penyelenggara negara yang pada saat menjabat belum melaporkan harta
kekayaannya kepada KPK karena sesungguhnya KPK-lah yang berperan aktif
melakukan pemeriksaan.
Ketiga, dalam Pasal 17 ayat (4) dinyatakan bahwa ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Saat ini, sepengetahuan penulis dan riset
kecil-kecilan penulis, belum ada Peraturan Pemerintah mengenai ini.
Peraturan di bawah undang-undang yang mengatur mengenai
ini yaitu Peraturan KPK No. 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran,
Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, sebelumnya
diatur dalam Keputusan KPK Nomor: Kep.07/IKPK/02/2005.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan KPK
merupakan perraturan perundang-undangan. Namun, sesuai Pasal 8 ayat (2) UU
No. 12 Tahun 2011, untuk memiliki kekuatan hukum mengikat, maka Peraturan KPK
harus memenuhi syarat yaitu sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999, maka Peraturan KPK
bukanlah delegasi dari undang-undang tersebut, sehingga menjadikan peraturan
KPK memiliki kekuatan hukum mengikat karena diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi, tidaklah terpenuhi.
Lalu, untuk kualifikasi kedua yaitu peraturan dibentuk
berdasarkan kewenangan. Apakah KPK berwenang mengatur materi muatan tata cara
pendaftaran, pengumuman dan pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara?
Sejatinya, KPK tidak berwenang karena kewenangan tersebut
merupakan kewenangan Presiden melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan
Presiden. Mengapa? Pertama, yang diatur merupakan eksternal KPK, dan kedua,
yang diatur merupakan lembaga-lembaga negara yang secara hirarki lebih tinggi
daripada KPK.
Akhirnya, KPK mesti secara profesional mengartikan
kewajiban LHKPN. Bahwa LHKPN merupakan sesuatu yang penting dalam rangka
keterbukaan harta kekayaan pejabat publik, serta sebagai early warning system
dalam pencegahan dan pemberantakan korupsi, merupakan hal yang tidak
terbantahkan. Namun, tendesiusme dalam kewenangan yang maha kuat, perlu pula
diimbangi oleh profesionalitas dan netralitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar