Tragedi
Minamata Mengancam Indonesia
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan
Perlindungan Konsumen
|
DETIKNEWS, 07 Maret 2017
Pernah dengarkah ada tragedi pencemaran merkuri (Hg) atau
air raksa di kota Minamata, Prefektur Kumamoto di Jepang yang membuat
sebagian besar warganya menderita seumur hidup sekitar tahun 1958? Mereka
terdampak limbah PT Chisso yang membuang limbah kimianya ke Teluk Minamata
dalam jumlah yang sangat besar (200 – 600 ton Hg dari tahun 1932).
Sebagai pengkonsumsi ikan yang cukup tinggi (286 – 410
gr/hari), masyarakat sekitar Prefektur Kumamoto terdampak sangat dahsyat.
Sampai saat inipun masih ada warga Minamata yang hidup tetapi dengan kondisi
cacat fisik. Kondisi tersebut dikenal dengan Penyakit Minamata atau Sindrom
Minamata.
Dampak buruk mulai terlihat sekitar tahun 1949. Saat itu
terjadi wabah penyakit aneh di Minamata. Ratusan orang mati karena kelumpuhan
syaraf dan menurut para ahli kesehatan saat itu, penyakit itu disebabkan
karena orang Jepang suka makan ikan yang ternyata sudah tercemar logam berat
Hg yang berasal dari industri batu baterai milik Chisso yang membuang merkuri
ke laut. Pabrik itu akhirnya ditutup dan pemiliknya harus memberikan ganti
rugi sekitar US$ 26,6 juta kepada masyarakat dan Pemerintah Kerajaan Jepang.
Puluhan tahun kemudian, ternyata bencana itu kembali
terulang di perairan Indonesia dalam kadar yang lebih dahsyat sebagai akibat
menjamurnya tambang emas rakyat ilegal di sekitar 800 daerah di seluruh
Indonesia. Studi yang dilakukan oleh tim dari Medicus Foundation, patut
diduga telah menguak tragedi serupa Minamata di Indonesia. Bahkan konon lebih
dahsyat. Seberapa parahkan pencemaran tersebut dan apakah sudah ada tindakan
langsung dari Pemerintah? Mari kita bahas singkat dari sisi kebijakan.
Pencemaran Merkuri di Perairan
Indonesia Lebih Dahsyat dari Minamata
Merkuri pada prinsipnya ada di udara dan beberapa bahan
yang ada disekitar kita, akan tetapi sumber terbesar (37%) berasal dari
pertambangan emas skala kecil dan illegal. Banyak dari merkuri yang
dilepaskan ke alam dihasilkan oleh Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK)
ilegal, misalnya di Poboya Sulawesi Tengah, Gunung Botak di Pulau Buru,
Cisitu, Cibeber di Lebak Banten, Bombana di Sulawesi Tenggara dsb.
Hal ini menyebabkan kita perlu mewaspadai aktifitas yang
ada pada PESK serta dampaknya bagi penambang maupun masyarakat yang ada di
sekitarnya. Hg yang dibuang ke alam membawa konsekuensi serius kepada
kehidupan masyarakat dan lingkungan. Ironisnya hasil tambang mineral yang
berlimpah ini tidak dinikmati oleh bangsa Indonesia secara optimal, bahkan
negara harus menanggung semua kerusakan manusia dan lingkungan yang diakibatkan
oleh proses penambangan ilegal tersebut. Sebagian besar emas dari PESK ilegal
dinikmati oleh "tauke" atau investor yang ujudnya hampir tidak
tampak di Indonesia, hanya kaki tangannya saja yang patut diduga dilindungi
oknum aparat Pemerintah Daerah maupun keamanan dan Kepolisian setempat.
Pada kasus di Minamata dan 4 daerah di sekitarnya
(Kumamoto, Tottori, Wakayama dan Chiba), kadar konsentrasi merkuri rata-rata
sebesar 2,55 mikrogram/gram pada laki-laki dan 1,43 mikrogram/gram pada
perempuan (sumber https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12703660). Sedangkan
pencemaran merkuri alibat penambangan illegal, contoh di P. Buru (Desa Gunung
Botak, Namlea Maluku), kandungan Hg di air seni rakyat di seputar area
penambangan (Desa Debowae) kadar Hg penduduk berkisar antara 10,5
mikrogram/liter – 127 mikrogram/liter (hasil pemeriksaan darah penduduk di
Debowae oleh Tim Kesehatan Kodam Pattimura). Artinya di satu lokasi tambang
emas ilegal saja kadar pencemaran Hg nya sangat tinggi karena acuan
standarnya hanya 9 mikrogram/liter.
Produksi emas yang ada pada pertambangan emas rakyat di
Indonesia sebenarnya cukup besar. Berikut ilustrasi berapa besar emas yang
dapat hasilkan di pertambangan emas rakyat di Indonesia. Perkiraan produksi
emas per lokasi per minggu adalah 5 – 10 kg emas. Berdasarkan laporan beberpa
LSM yang melakukan studi lapangan, diperkirakan ada sekitar 800 lokasi PESK
ilegal yang belum dikelola dengan baik oleh Negara dan Negara juga tidak
mendapatkan manfaatnya.
Selain sisi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup,
dari sisi finansial Indonesia juga mengalami kerugian besar. Mari kita
perhatikan ilustrasi berikut:
Emas yang dihasilkan oleh sekitar 800 PESK di Indonesia
per minggu sekitar 4.000 kg – 8.000 kg emas. Artinya per bulan sekitar 16.000
kg – 32.000 kg atau per tahun sekitar 192.000 kg – 384.000 kg emas.
Jika harga emas di Aneka Tambang saat ini sekitar Rp.
500.000 per gram, maka hasil PESK mencapai sekitar Rp. 500.000 x 192.000 x
1.000 = Rp. 96.000.000.000.000 sampai Rp. 500.000 x 384.000 x 1.000 = Rp.
192.000.000.000.000.
Ironisnya potensi pendapatan Pemerintah per tahun dari
sektor PESK ilegal tersebut di atas menguap entah kemana (sumber: Laporan dan
Rekomendasi Survey Masalah Merkuri di P. Buru : Medicuss Foundation
bejerjasama dengan Kodam Pattimura, Kementerian Linkungan Hidup &
Kehutanan serta Pemerintah Daerah Maluku). Sayang negara tidak mendapatkannya
karena penambang atau investor tidak membayar pajak, uang mengalir ke pribadi
investor asing yang membawa devisa keluar maupun pribumi yang merupakan
pencari rente. Namun negara harus menanggung biaya kerusakan kesehatan
masyarakat dan kerusakan lingkungan akibat pencemaran logam berat seperti
merkuri sangat sangat sangat besar.
Langkah yang Harus Dilakukan oleh
Pemerintah
Kalaupun semua data di atas benar, seharusnya Pemerintah
menyikapi hal tersebut dengan cerdas melalui pembuatan peraturan
perundang-undangan yang memadai khusus dalam membina para PESK ilegal supaya
tidak menggunakan logam berat (Hg) yang dibuang begitu saja ke sungai dan
laut, namun harus dicarikan pengganti yang harganya tidak berbeda jauh dengan
Hg.
Kedua, harus dibuatkan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan insentif yang akan di dapat oleh Pemerintah Daerah dan aparat
penegak hukum jika mereka dapat melakukan pengawasan yang sangat ketat
terkait dengan perambahan lahan, pencemaran lingkungan, kesehatan masyarakat
dan pembagian hasil yang jelas. Namun jika gagal (termasuk ikut melindungi
dan mengelola PESK ilegal), maka sanksi berat harus dijatuhkan ke mereka.
Ketiga, PESK illegal harus ditata dengan baik dan ketat.
Selain itu perlu dicarikan lapangan pekerjan baru untuk masyarakat penambang
di sektor lain, misalnya melalui program kehutanan sosial yang ada di
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Pemerintah sudah mengalokasikan
12,7 juta Ha untuk hutan sosial).
Jika tidak dilakukan pengaturan dan pengawasan yang ketat
terkait dengan PESK ilegal, maka Indonesia akan mengalami kerugian yang
besarnya tak terhingga di sektor sumber daya manusia, lingkungan hidup dan
ekonomi. Misalnya, Program pariwisata yang mengandalkan keindahan bahari akan
hancur karena tidak ada lagi turis mancanegara yang mau menyelam dan
berkegiatan di laut jika laut kita tercemar merkuri dan logam berat lainnya.
Industri perikanan kita juga akan hancur karena tidak ada lagi yang akan
membeli ikan kita karena mengandung Hg dan sebagainya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar