Lampu
Merah
Ketimpangan
Ekonomi di Negara Pancasila
Ahmad Syafii Maarif ;
Mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
REPUBLIKA, 28 Februari 2017
Mengapa Negara Pancasila harus ditancapkan pada judul
“Resonansi” ini? Mengapa tidak hanya cukup menyebut Negara Indonesia saja?
Alasannya terang benderang, karena sila kelima Pancasila yang berbunyi
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” telah lama diabaikan dalam
strategi pembangunan nasional, kecuali dalam kata dan wacana. Drama ini sudah
berlangsung sejak proklamasi kemerdekaan lebih 71 tahun yang lalu.
Akibatnya juga terang benderang dalam makna yang sangat
fatal: ketimpangan sosio-ekonomi di Negara Pancasila ini sudah berada di
lampu merah, pada tikungan tanda bahaya bagi kelangsungan masa depan bangsa
ini. Presiden, wakil presiden, menteri keuangan, dan banyak pengamat sudah
sering menyebut masalah ketimpangan ini. Sekadar membincangkan, manfaatnya
nol, manakala tidak diterjemahkan dalam kebijakan pembangunan sosial-ekonomi nasional
yang berkeadilan berdasarkan Pancasila.
Tetapi tuan dan puan jangan lupa mengamati ini: jika ada
lembaga tinggi negara yang masih membisu dan gagap menyebut isu ketimpangan
ini, maka lembaga itu adalah yang berkantor di Senayan yang bangga menyebut
dirinya sebagai wakil rakyat. Entah rakyat mana yang diwakili, kita tidak
tahu. Mungkin penyebutan sebagai lembaga wakil partai politik lebih tepat.
Sudah cukup banyak wakil partai yang berkantor di Senayan ini menjadi pasien
KPK. Dalam berbagai survei, ternyata lembaga ini adalah yang paling korup di
negeri ini.
Pada hari-hari terakhir ini, masalah ketimpangan ekonomi
ramai lagi dikomentari gara-gara informasi dalam TSCMP (the South China
Morning Post), tertanggal 23 Februari 2017, enam hari yang lalu. Di bawah
judul, “Wealth gap: four richest Indonesians worth more than poorest 100
million” (Jurang kekayaan: empat orang terkaya Indonesia melebihi harta 100
juta orang termiskin). Angka ini berdasarkan survei yang dilakukan oleh
Oxfam, sebuah konfederasi internasional dari organisasi-organisasi amal
dengan titik perhatian utama untuk melawan kemiskinan global, didirikan tahun
1942, berpusat di Inggris.
Sebagai LSM tingkat dunia yang telah berpengalaman selama
70 tahun, Oxfam yang bekerja sama dengan lebih 90 negara, maka temuan
teranyarnya tentang ketimpangan ekonomi di Indonesia memang sudah berada di
ambang batas toleransi. Kalimat pertama yang terbaca dalam laporan itu yaitu:
“Empat orang Indonesia terkaya, hartanya melebihi milik 100 juta rakyat termiskin
di negeri itu, sebuah kajian menemukan, sambil menyoroti betapa besarnya
jumlah rakyat yang terpinggirkan saat ekonomi membengkak.”
Presiden Joko Widodo dinilai masih gagal memenuhi
janji-janjinya untuk memerangi ketidakadilan sambil menekankan agar pemerintah
menaikkan pengeluaran bagi kepentingan pelayanan publik, dan agar korporasi
dan orang kaya membayar pajak lebih besar. TSCMP mengutip lebih lanjut:
“Indonesia telah menikmati sebuah pembengkakan ekonomi yang telah mengurangi
jumlah rakyat yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, tetapi jurang antara kaya
miskin semakin melebar dibandingkan dengan negara Asia Tenggara mana pun
selama 20 tahun terakhir, temuan kajian Oxfam.”
Kajian itu juga membeberkan pada tahun 2016, kekayaan
kolektif empat taikun itu berada pada angka 225 miliar dolar Amerika. Menurut
daftar orang kaya dari Forbes, mereka yang terkaya itu termasuk dua
bersaudara Michael Hartono dan Budi Hartono, dan Susilo Wonowidjojo, semuanya
adalah penguasaha rokok.
Sebagaimana kita ketahui, para taikun ini menjadi demikian
kaya raya adalah juga karena sumbangan rakyat miskin perokok yang jumlahnya
puluhan juta, tersebar dari kawasan perkotaan menembus sampai ke daerah
pelosok yang jauh terpencil di seluruh nusantara. Di warung-warung, di atas kendaraan,
bahkan di ruang ber-AC (bagi yang sedikit kaya), asap rokok itu terus saja
mengepul. Iklan rokok terpampang di mana-mana, sekalipun di bawahnya
tertulis: merokok membunuhmu!
Inilah suasana terkini dari Negara Pancasila kita,
ketimpangan ekonomi semakin tajam yang diragakan dalam perbandingan angka di
atas. Pemerintah sudah punya tekad bulat untuk melawan ketimpangan itu,
tetapi alangkah sulitnya. Banyak faktor penghambatnya, termasuk sikap mental
bangsa ini yang sulit berubah ke arah proses perbaikan radikal dan
menyeluruh.
Para taikun dan pendukungnya di Senayan tentu akan
berupaya keras agar UU Pertembakauan tidak sampai mematikan perusahaan mereka
yang menggiurkan itu. Dan ironisnya, rakyat jelata yang ketagihan tembakau
adalah sasaran empuk yang turut serta melestarikan ketimpangan ekonomi itu.
Sebuah lingkaran setan yang belum ditemui jalan keluarnya. Quo vadis Negara
Pancasila? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar