Jumat, 10 Maret 2017

Membangun Etika Penyelenggara Negara

Membangun Etika Penyelenggara Negara
Saiful Anam  ;    Ketua Komite Hukum Mata Garuda Institute; Praktisi dan Akademisi Hukum Tata Negara; Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia  
                                             MEDIA INDONESIA, 10 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEJAK digulirkannya RUU tentang Etika Penyelenggara Negara oleh DPR pada tahun 2014 silam, nasib RUU tersebut mengalami pasang surut antara kebutuhan dan kebuntuan tegaknya semangat reformasi birokrasi penyelenggara negara di berbagai bidang. Tuntutan terhadap perwujudan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, etis, amanah, berakhlak mulia, serta mencegah niat dan praktik perbuatan yang menyimpang dari nilai, norma, dan aturan dalam menjalankan tugas pemerintahan menjadi salah satu tujuan dalam upaya mewujudkan etika penyelenggaraan negara yang sesuai dengan prinsip dan cita-cita bangsa.

Dalam rapat kerja Komite I DPD dengan Kementerian PAN dan Rebiro, ditegaskan pentingnya pengaturan dan penyusunan materi RUU Etika Penyelenggara Negara untuk segera dibahas kembali antara DPR bersama pemerintah, guna memberikan rambu-rambu yang tegas dan jelas dalam berperilaku bagi para aparatur penyelenggara negara.

Perdebatan

Menurut pengamatan penulis, setidaknya ada tiga problematika kebuntuan yang berakibat molornya pembahasan RUU Etika Penyelenggara Negara. Pertama, ambiguitas ruang lingkup dan batasan pengertian penyelenggara negara. Apabila mengacu kepada definisi Penyelenggara Negara menurut UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, cakupan dan batasan makna penyelenggara pemerintahan sangat luas sekali karena mencakup tiga cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, serta lembaga negara lainnya termasuk BUMN dan pejabat profesi.

Kedua, perdebatan berkaitan dengan lembaga yang berwenang menegakkan kode etik dan perilaku penyelenggara negara. Apakah kewenangan penegakan kode etik akan diserahkan kepada internal masing-masing penyelenggara negara, atau akan dibentuk satu lembaga penegak kode etik, yang dapat menerima laporan atau pengaduan atas seluruh pelanggaran kode etik, baik bagi pejabat negara, pejabat negeri, maupun pejabat profesi.

Dua di antara pilihan tersebut tentu akan mengandung konsekuensi hukum yang berbeda-beda terhadap pilihan pembentukan lembaga etik pada setiap penyelenggara negara. Itu akan cenderung menimbulkan standar dan kriteria berbeda-beda pula antarlembaga yang satu dengan lainnya. Selain itu, tingkat independensi lembaga tersebut dapat diragukan objektivitasnya.

Sebaliknya, apabila dibentuk satu lembaga penegak kode etik yang dapat menerima laporan atau pengaduan atas seluruh pelanggaran kode etik, menjadi keharusan bagi penyelengara negara yang telah membentuk dan memiliki lembaga penegak kode etik untuk membubarkan diri sehingga tidak menimbulkan dualisme kewenangan berkaitan dengan lembaga yang bertugas menjaga dan menegakkan kode etik penyelenggara negara.

Ketiga, hampir seluruh lembaga, baik pejabat negara, pejabat negeri, maupun pejabat profesi telah memiliki aturan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban menjaga etika dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hanya saja dalam tingkatan implementasinya kurang dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, UU No 28/1999, UU No31/1999 jo UU No 20/2001, UU No 5/2014, UU No30/2014, dan UU berkaitan dengan bidang profesi tertentu telah mengatur kode etik masing-masing sehingga terdapat sebagian kelompok yang kurang sependapat dengan adanya pengaturan etika penyelenggara negara yang menaungi seluruh penyelenggara negara.

Mewujudkannya

Pengawasan terhadap etika penyelenggara negara menjadi sangat penting mengingat kondisi bangsa saat ini. Lemahnya etika penyelenggara negara menjadi pintu masuk terhadap penyelenggaraan pemerintahan koruptif yang jauh dari prinsip good governance dan clean governance. Guna membendung perilaku yang demikian, diperlukan pola pikir dan cara pandang yang profesional serta kesadaran untuk berubah menuju pengembangan praktik governance yang baik yang dilandasi oleh kesadaran akan nilai-nilai moral dan etika birokrasi yang berorientasi pada kepentingan publik.

Untuk mewujudkan etika penyelenggara yang berintegritas selain melalui pembangunan mental manusianya juga dapat dibangun melalui sistem penegakan etika penyelenggara negara. Untuk itu diperlukan penajaman kembali terhadap beberapa perdebatan, baik yang berkenaan dengan makna dan ruang lingkup cakupan pengertian penyelenggara negara, lembaga yang memiliki otoritas menegakkan kode etik, serta harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur etika penyelenggara negara lintas sektoral.

Selain itu, perlu memberikan pemahaman terhadap segenap penyelenggara negara bahwa dalam penyelenggaran pemerintahan selain harus berdasar pada the rule of law, tidak kalah pentingnya juga memperhatikan the rule of ethics. Dalam konsepsi the rule of law tercakup pengertian tentang kode hukum (code of law) atau kitab UU (book of law) yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Dalam konsepsi the rule of ethics tercakup pengertian kode etik (code of ethics) atau kode perilaku (code of conduct) yang juga harus sejalan dengan pemahaman the rule of law.

Dalam perspektif negara hukum Pancasila, harus dipahami pula bahwa Pancasila bukan hanya sumber hukum (source of law), melainkan juga sebagai sumber etika (source of ethics). Kedua perspektif hukum dan etika ini harus dijadikan sumber referensi normatif dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila mengandung nilai-nilai universal dalam inklusif yang dapat mempersatukan kita semua sebagai bangsa dalam satu kesatuan sistem ideologi dan falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk itu dalam usaha membangun birokrasi yang melayani harus ditopang oleh the rule of law and rule of ethics secara bersamaan. Dengan adanya kesadaran akan norma hukum dan norma etika penyelenggara negara yang tecermin melalui sikap, perilaku, tindakan dan ucapan yang etis, maka akan menghasilkan penyelenggara negara yang amanah, disiplin, teladan, dan berakhlak mulia sesuai dengan cita-cita bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar