Membangun
Etika Penyelenggara Negara
Saiful Anam ;
Ketua
Komite Hukum Mata Garuda Institute; Praktisi dan Akademisi Hukum Tata Negara;
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Maret 2017
SEJAK digulirkannya RUU tentang Etika Penyelenggara Negara
oleh DPR pada tahun 2014 silam, nasib RUU tersebut mengalami pasang surut
antara kebutuhan dan kebuntuan tegaknya semangat reformasi birokrasi
penyelenggara negara di berbagai bidang. Tuntutan terhadap perwujudan penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, etis, amanah, berakhlak mulia, serta mencegah niat
dan praktik perbuatan yang menyimpang dari nilai, norma, dan aturan dalam
menjalankan tugas pemerintahan menjadi salah satu tujuan dalam upaya
mewujudkan etika penyelenggaraan negara yang sesuai dengan prinsip dan
cita-cita bangsa.
Dalam rapat kerja Komite I DPD dengan Kementerian PAN dan
Rebiro, ditegaskan pentingnya pengaturan dan penyusunan materi RUU Etika
Penyelenggara Negara untuk segera dibahas kembali antara DPR bersama
pemerintah, guna memberikan rambu-rambu yang tegas dan jelas dalam
berperilaku bagi para aparatur penyelenggara negara.
Perdebatan
Menurut pengamatan penulis, setidaknya ada tiga
problematika kebuntuan yang berakibat molornya pembahasan RUU Etika
Penyelenggara Negara. Pertama, ambiguitas ruang lingkup dan batasan
pengertian penyelenggara negara. Apabila mengacu kepada definisi Penyelenggara
Negara menurut UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari KKN, cakupan dan batasan makna penyelenggara pemerintahan sangat
luas sekali karena mencakup tiga cabang kekuasaan eksekutif, legislatif,
yudikatif, serta lembaga negara lainnya termasuk BUMN dan pejabat profesi.
Kedua, perdebatan berkaitan dengan lembaga yang berwenang
menegakkan kode etik dan perilaku penyelenggara negara. Apakah kewenangan
penegakan kode etik akan diserahkan kepada internal masing-masing penyelenggara
negara, atau akan dibentuk satu lembaga penegak kode etik, yang dapat
menerima laporan atau pengaduan atas seluruh pelanggaran kode etik, baik bagi
pejabat negara, pejabat negeri, maupun pejabat profesi.
Dua di antara pilihan tersebut tentu akan mengandung
konsekuensi hukum yang berbeda-beda terhadap pilihan pembentukan lembaga etik
pada setiap penyelenggara negara. Itu akan cenderung menimbulkan standar dan
kriteria berbeda-beda pula antarlembaga yang satu dengan lainnya. Selain itu,
tingkat independensi lembaga tersebut dapat diragukan objektivitasnya.
Sebaliknya, apabila dibentuk satu lembaga penegak kode
etik yang dapat menerima laporan atau pengaduan atas seluruh pelanggaran kode
etik, menjadi keharusan bagi penyelengara negara yang telah membentuk dan
memiliki lembaga penegak kode etik untuk membubarkan diri sehingga tidak
menimbulkan dualisme kewenangan berkaitan dengan lembaga yang bertugas
menjaga dan menegakkan kode etik penyelenggara negara.
Ketiga, hampir seluruh lembaga, baik pejabat negara,
pejabat negeri, maupun pejabat profesi telah memiliki aturan yang termuat
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban menjaga etika
dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hanya saja dalam tingkatan
implementasinya kurang dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam beberapa
peraturan perundang-undangan seperti TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, UU No
28/1999, UU No31/1999 jo UU No 20/2001, UU No 5/2014, UU No30/2014, dan UU
berkaitan dengan bidang profesi tertentu telah mengatur kode etik masing-masing
sehingga terdapat sebagian kelompok yang kurang sependapat dengan adanya
pengaturan etika penyelenggara negara yang menaungi seluruh penyelenggara
negara.
Mewujudkannya
Pengawasan terhadap etika penyelenggara negara menjadi
sangat penting mengingat kondisi bangsa saat ini. Lemahnya etika
penyelenggara negara menjadi pintu masuk terhadap penyelenggaraan
pemerintahan koruptif yang jauh dari prinsip good governance dan clean
governance. Guna membendung perilaku yang demikian, diperlukan pola pikir dan
cara pandang yang profesional serta kesadaran untuk berubah menuju
pengembangan praktik governance yang baik yang dilandasi oleh kesadaran akan
nilai-nilai moral dan etika birokrasi yang berorientasi pada kepentingan
publik.
Untuk mewujudkan etika penyelenggara yang berintegritas
selain melalui pembangunan mental manusianya juga dapat dibangun melalui
sistem penegakan etika penyelenggara negara. Untuk itu diperlukan penajaman
kembali terhadap beberapa perdebatan, baik yang berkenaan dengan makna dan ruang
lingkup cakupan pengertian penyelenggara negara, lembaga yang memiliki
otoritas menegakkan kode etik, serta harmonisasi peraturan perundang-undangan
yang mengatur etika penyelenggara negara lintas sektoral.
Selain itu, perlu memberikan pemahaman terhadap segenap
penyelenggara negara bahwa dalam penyelenggaran pemerintahan selain harus
berdasar pada the rule of law, tidak kalah pentingnya juga memperhatikan the
rule of ethics. Dalam konsepsi the rule of law tercakup pengertian tentang
kode hukum (code of law) atau kitab UU (book of law) yang menjadi landasan
dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan. Dalam konsepsi the rule of
ethics tercakup pengertian kode etik (code of ethics) atau kode perilaku
(code of conduct) yang juga harus sejalan dengan pemahaman the rule of law.
Dalam perspektif negara hukum Pancasila, harus dipahami
pula bahwa Pancasila bukan hanya sumber hukum (source of law), melainkan juga
sebagai sumber etika (source of ethics). Kedua perspektif hukum dan etika ini
harus dijadikan sumber referensi normatif dan operasional dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pancasila mengandung nilai-nilai universal dalam
inklusif yang dapat mempersatukan kita semua sebagai bangsa dalam satu
kesatuan sistem ideologi dan falsafah dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Untuk itu dalam usaha membangun birokrasi yang melayani
harus ditopang oleh the rule of law and rule of ethics secara bersamaan.
Dengan adanya kesadaran akan norma hukum dan norma etika penyelenggara negara
yang tecermin melalui sikap, perilaku, tindakan dan ucapan yang etis, maka
akan menghasilkan penyelenggara negara yang amanah, disiplin, teladan, dan
berakhlak mulia sesuai dengan cita-cita bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar