2045
Bambang Kesowo ;
Ketua
Dewan Penasihat Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas
|
KOMPAS, 10 Maret 2017
Ketika tiga atau empat tahun lalu ada buaian tentang
Indonesia 2030, muncul gagasan tentang batu penjuru (milestone) lain: mengapa
tidak wajah Indonesia di 2045 nanti? Bagai terbangunkan, semua menangkap kita
diajak membayangkan dan menorehkan harapan, bagaimana kehidupan bangsa dan
negara ini di usia 100 tahun tersebut.
Sudah pasti bukanlah kejahatan untuk membangun impian: di
tahun 2045, pendapatan per kapita tiap warga telah dapat mencapai setidaknya
setara 10.000 dollar AS per tahun; rakyat dapat hidup dalam perumahan dengan
lingkungan yang tertata baik, dengan dua mobil di garasinya. Pokoknya seperti
orang Amerika Serikat dengan American dream-nya.
Tidak pula salah bermimpi di 2045 negara kita telah kuat
secara ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan militer
(ipoleksosbudmil), berdasar Pancasila yang terejawantah dalam semua sendi dan
napas kehidupan. Juga mimpi tentang kehidupan politik nasional berkeadaban
dan tanpa ada lagi korupsi. Mimpi betapa rakyat hidup tenteram dengan
disiplin sosial yang tinggi, sedangkan kekuatan militernya
"nggegirisi". Indonesia tumbuh sebagai penjuru geopolitik dunia.
Namun, bukan pula tidak mungkin apabila impian tadi
terusik oleh interupsi jahil. Karena 2045 baru hadir 28 tahun mendatang,
jangan-jangan generasi di lintasan kurun waktu itu mempunyai gambaran yang
lain tentang wajah kehidupan tadi. Dengan persepsi tentang masalah dan
tantangan di masanya, bukankah mereka juga berhak punya jawab dan impian
sendiri? Kalau keusilan tadi tak terlalu salah, lantas apa relevansinya
dengan angan generasi saat ini, yang juga menggantang wujud negara dan bangsa
Indonesia di tahun 2045, tetapi menurut persepsi tentang cita yang mereka
pahami?
Tujuan nasional dan kelembagaan
negara
Layaknya generasi pengait antara masa lalu dan sekarang,
memang wajar saja apabila kita mengenalkan dan menanamkan pemahaman tentang
cita-cita kemerdekaan, berbangsa dan bernegara yang dahulu diuntai para
pendahulu, para pendiri negara. Memberikan landasan dan sekaligus bingkai
agar apa pun corak dan wujud kehidupan nasional di tahun 2045, tetaplah semua
itu bersumbu pada cita-cita yang dalam bahasa UUD 1945 dikenal sebagai Tujuan
Nasional: ".membentuk pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial...."
Mengingatkan cita-cita, jelas baik dan perlu. Namun, lebih
bertanggung jawab lagi apabila kita juga dengan jelas menunjukkan arah dan
mewariskan sarana dan pranata yang memudahkan mereka bekerja dengan baik.
Karena itu, memadaikah apa yang kita miliki saat ini?
Menyangkut elemen pertama dalam tujuan nasional tadi,
yaitu membentuk pemerintah negara Indonesia, memadaikah bangun dan tatanan
kelembagaan negara setelah empat kali perubahan UUD sekarang ini? Banyak yang
melihat tujuan nasional sekadar rincian empat tujuan, tetapi justru abai
terhadap instrumen yang mesti mewujudkannya. Lantas bagaimana dapat sampai ke
tujuan tersebut? Bagaimana mungkin cita akan digapai kalau tidak ada alat
yang bernama pemerintah negara Indonesia sebagai alatnya. Awal uraian tentang
tujuan nasional bermula dengan soal kelembagaan tadi. Pertanyaannya, dengan
bangun dan tatanan kelembagaan pemerintahan negara sekarang ini, sudahkah
kebutuhan untuk menghadirkan stabilitas pemerintahan dan kebijakan terpenuhi
dengan baik?
Sistem presidensial dalam pemerintahan yang semula ingin
diteguhkan saat ini malah bagai terbelenggu oleh pengaturan sistem kepartaian
dan pemilihan presiden, dan pada gilirannya hanya menyisakan kesibukan yang
menghabiskan energi sekadar untuk menghadirkan stabilitas yang dirasa semu.
Demikian pula hadirnya ragam dan tatanan tentang badan permusyawaratan dan
perwakilan yang bukan saja remang secara konseptual, tetapi senyatanya tidak
efektif. Di tengah kian maraknya radikalisme, serta bayang-bayang sekitar
hantu komunisme, upaya untuk memperteguh dan membumikan Pancasila sebagai
ideologi, sebagai dasar negara, sebagai pandangan hidup bangsa justru tidak
tampak (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali). Yang namanya dinamika
juga tinggi. Ya politik, ya ideologi. Tetapi, siapa yang mesti mengelola?
Persoalan juga masih menggelayut di sekitar elemen kedua
dalam tujuan nasional, yaitu empat tujuan yang menjadi tugas pemerintah
negara Indonesia tadi. Ketika proses besar untuk mewujudkan empat tujuan
tersebut berkaitan dengan aspek komprehensivitas dan kesinambungan dalam
perencanaan, satu pertanyaan telah lama menggantung.
Tanpa adanya instrumen yang dulu bernama GBHN, bagaimana
kini mesti menjamin bahwa yang namanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang lazim menyertai
tak akan selalu berubah UU-nya setiap lima tahun? Di tengah mekanisme
pemilihan presiden yang bertumpu pada janji program selama pilpres, yang namanya
perubahan (penyesuaian, penyempurnaan, atau dengan kata lain apa pun) RPJP,
dan dengan begitu juga RPJM, bukanlah tidak mungkin.
Waktu memang berjalan. Tantangan juga selalu berbeda.
Karena itu, apabila ada perbedaan cara pandang tentang prioritas dan
penahapan dalam gerak pembangunan, jelas bukanlah masalah. Tetapi, yang
namanya alur besar dalam sebuah peta jalan (roadmap), yang diperlukan agar
apa yang perlu dilakukan atau dikerjakan dapat dengan jelas dilihat dan
diketahui, kapan capaian sesuatu dapat diwujudkan di tiap tahapan, akan
sangat membantu terjaganya kesinambungan arah dan gerak pembangunan. Lebih
dari sekadar jaminan, transparansi soal tersebut juga memudahkan mobilisasi
dan meningkatkan partisipasi kekuatan nasional.
Ataukah mungkin pola pikir lain yang ingin dikembangkan?
Faktor kesinambungan dianggap tidak penting. Yang lebih utama adalah wujud
dan taraf kehidupan yang lebih maju dan lebih tinggi. Setiap dari empat dalam
tujuan nasional tetap dijadikan penjuru, tetapi soal perwujudan, sekali lagi,
mesti dianggap sebagai sekadar persepsi dan tafsir. Bukankah setiap waktu
membawa nilai dan tantangan yang berbeda? Mungkinkah ini yang sekarang
merasuk sebagai pola pikir baru?
Perlu perubahan UUD?
Telah banyak wacana soal ini. Mengapa seolah tiada gereget
untuk menanggapi, mungkin soal lain. Bukan mustahil hal itu antara lain
terkait dengan semacam sangkaan yang berkembang dalam masyarakat, tentang
adanya kelompok yang masih enggan menerima perubahan. Sangkaan serupa itu
mungkin benar juga adanya. Namun, pengabaian terhadap keberanian untuk
melihat dan memperbaiki kekurangan pastilah lebih tidak menguntungkan.
Terlebih lagi kalau sikap pengabaian timbul karena orientasi lain, bahwa
kepemimpinan pemerintahan hanya berkisar pada pemenuhan janji selama pilpres,
dan terpasung dalam siklus lima tahunan.
Jika demikian, soal 2045 benar-benar sekadar angka penanda
100 tahun kemerdekaan. Tidak lebih, dan tidak kurang. Impian dan harapan akan
adanya kehidupan yang maju dan modern pasti tetap ada, tetapi tidak terlalu
relevan dikaitkan dengan cita-cita awal.
Ujung dari pertanyaan tentang memadai atau belum memadai
sekitar dua elemen tadi sudah sering terdengar walau hal itu dirasa tidak
nyaman di sementara kalangan. Pemikiran sekitar kesiapan sarana dan pranata
tadi akhirnya berujung pada pertanyaan: perlu perubahan UUD 1945 lagikah?
Sudah jadi pengetahuan umum adanya silang pandang tentang dampak empat kali
perubahan UUD 1945. Ada yang menolak, ada pula yang hanya menginginkan
perubahan yang sekadar untuk mengakomodasi kepentingannya. Ada yang ingin
perombakan total, tetapi ada pula yang menginginkan agar dikembalikan saja
pada UUD 1945 sebelum perubahan. Semuanya dengan alasan masing-masing. Sudah
barang tentu, bukan saja kerja besar yang akan muncul, melainkan juga risiko
kehebohan baru.
Namun, sekiranya kebutuhan untuk menata kembali bentuk dan
tatanan kelembagaan negara sebagai penyelenggara pemerintah negara (dalam
arti luas) memang dinilai perlu, bagaimana sebaiknya harus dicari
penyelesaiannya? Bilamana menyentuh kembali UUD 1945 karena berbagai
pertimbangan tidak diambil sebagai opsi, mungkinkah presiden mengambil
pendekatan instrumental, dengan mengambil inisiatif perbaikan UU yang antara
lain dan utamanya menyangkut soal kepartaian, pemilu dan pilkada, badan
permusyawaratan dan perwakilan, pemerintahan daerah, hubungan pemerintah
pusat dan daerah?
Tabir "negatif" yang seakan menyelimuti hubungan
presiden dengan partai-partai politik yang mendukungnya bisa sejenak
dikesampingkan. Ditimbang saja sisi positifnya, bahwa dengan dukungan yang
besar dari banyak partai politik, mestinya presiden tidak mengalami kesulitan
dalam perjuangan politik untuk melakukan penataan ulang kelembagaan negara
melalui perubahan UU yang selama ini mengaturnya. Adanya kesamaan pandang
antara presiden dan partai politik pendukung tentang perlunya kesiapan dan
penataan kembali kelembagaan negara (terutama yang berkaitan dengan fungsi
dan kewenangannya), dan tentang tanggung jawab bersama terhadap masa depan,
semestinya memungkinkan hal tersebut dapat berlangsung.
Namun, sebaliknya juga bukan tidak mungkin hal tersebut
tidak mudah terwujud apabila dukungan partai politik sekadar karena orientasi
kekuasaan, dan bukan pada kerja presiden dan masa depan. Kalau bagi partai-partai
politik pendukung tadi berlaku "hukum Ligna: kalau sudah duduk, enggan
berdiri", akan sempurnalah kesulitan tersebut. Repotnya, apabila yang
terakhir ini yang terjadi, yang ada tinggallah benarnya penilaian bahwa
tatanan sekitar kelembagaan negara memang tidak menguntungkan dan perlu
ditata ulang.
Lantas bagaimana prospek penyelesaian persoalan tadi?
Wallahualam. Apa pun, bagi generasi yang hidup dan berperan saat ini, 2045
mungkin dirasa masih lama. Tetapi, untuk pergulatan hidup sebuah bangsa, jangka
28 tahun pasti akan sangat cepat berjalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar