Kasus
E-KTP dan Keberanian KPK
Fajar Kurnianto ;
Peneliti
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta
|
JAWA
POS, 09
Maret 2017
KASUS korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik
(e-KTP) akan memasuki babak baru. Menurut KPK, ada sejumlah nama besar yang
bakal muncul dalam sidang kasus e-KTP pada Kamis hari ini (9/3). Nama-nama
itu, antara lain, anggota legislatif yang masih aktif, selain namanama dari
pejabat pemerintah dan swasta. Ada kekhawatiran, jika namanama tersebut
diungkap, muncul guncangan politik. Meski begitu, KPK siap menghadapi segala
risiko.
Risiko itu bisa jadi, antara lain, adanya serangan balik
dari pihak-pihak terkait dalam bentuk pelemahan terhadap KPK seperti yang
sebelum-sebelumnya. Bisa jadi juga, sebagaimana yang dikhawatirkan KPK, ada
guncangan politik besar.
Berdasar temuan KPK, ada tiga kluster atau kelompok di
pusaran uang haram proyek e-KTP. Tiga sektor itu adalah politikus, birokrat,
dan pihak swasta. Proyek itu memang menyentuh tiga sektor tersebut sejak
awal. Mulanya, proyek itu berada di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Proses lelang dilakukan dan melibatkan perusahaan-perusahaan yang akan
menggarap proyek. Anggarannya dibahas di Komisi II DPR selaku mitra kerja Kemendagri.
Pusaran itu menjadi perhatian KPK untuk merunut peristiwa-peristiwa terkait
dengan korupsi megaproyek yang menelan hampir Rp 6 triliun uang negara
tersebut.
KPK memang sangat rentan men- dapat serangan balik dalam
bentuk upaya-upaya pelemahan dari pihak-pihak yang terancam oleh sepak
terjang KPK. Namun, sejauh ini serangan-serangan balik itu masih belum mampu
merobohkan KPK.
Kali ini serangan balik itu diprediksi muncul lagi, bahkan
mungkin lebih besar. Sebab, nama-nama yang akan muncul adalah tokoh-tokoh
besar anggota legislatif. Tokoh-tokoh tersebut bisa jadi berasal dari
partai-partai besar yang menopang dan mendukung pemerintahan saat ini. Jika
itu benar, pemerintah juga akan dibuat repot dengan berusaha meredamnya.
Sejauh ini, KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus
dugaan korupsi proyek e-KTP pada 2011– 2012 di Kemendagri yang diduga
merugikan negara Rp 2,3 triliun. Keduanya adalah mantan Dirjen Dukcapil
Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi
Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto. Irman dan Sugiharto
dijerat pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor)
juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.
KPK telah melimpahkan berkas perkara e-KTP itu ke
Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta pada Rabu (1/3).
Berkas setebal 24 ribu halaman itulah yang nanti disarikan dalam surat
dakwaan. Berkas tersebut terdiri atas 13 ribu lembar berkas untuk Sugiharto
yang berasal dari 294 saksi dan 5 ahli serta 11 ribu lembar untuk Irman yang
berasal dari 173 saksi dan 5 ahli.
KPK memang mesti pantang takut. Selain memiliki pegangan
undangundang, mereka punya kekuatan rakyat yang selalu berdiri di
belakangnya. Sebagaimana yang dikatakan Jubir KPK Febri Diansyah, KPK punya
kewajiban menurut undang-undang untuk menyampaikan perkembangan kinerja KPK.
Karena itulah, perkembangan –misalnya, proses penyidikan atau tuntutan atau
informasi-informasi lain terkait dengan substansi sepanjang tidak terlalu
detail– akan disampaikan kepada publik. KPK tidak perlu khawatir karena ini
menyangkut kepentingan publik dan penegakan hukum, terutama dalam konteks
pemberantasan korupsi.
E-KTP merupakan hak rakyat yang perlu dipenuhi. Namun,
seperti halnya di banyak proyek besar pemerintah lainnya, ibarat pepatah ada
gula ada semut, selalu ada yang mengambil keuntungan di balik kesempatan
secara tidak halal, baik itu pribadi, kelompok, maupun korporasi.
Apalagi, ini proyek yang sangat besar karena terkait
dengan setiap kepala warga yang telah ber-KTP atau telah berusia minimal
berKTP yang jumlahnya cukup banyak. Lamanya proses penerbitan e-KTP, bahkan
beberapa daerah kehabisan stok blangko e-KTP sehingga harus menunggu
berbulan-bulan, bisa jadi merupakan imbas adanya korupsi dalam proyek itu.
Selain menjadi ujian bagi KPK sebagai lembaga antirasuah,
kasus tersebut menjadi ujian penegakan hukum secara adil tanpa pandang bulu.
Sudah jamak diketahui, hukum di negeri ini seperti pisau: tajam ke bawah,
tumpul ke atas. Hukum ditegakkan kepada rakyat kecil, tetapi sering ciut
ketika menyangkut pejabat kelas berat atau tokoh politik besar.
KPK sesungguhnya telah menunjukkan tajinya. Sudah cukup
banyak tokoh yang dijebloskan ke dalam penjara karena kasus korupsi. Mulai
kepala daerah, pimpinan partai politik (parpol), penegak hukum, hingga
menteri aktif.
Pada 29 Desember 2014, misalnya, ICW pernah merilis
prestasi KPK. Di antaranya, berhasil menjerat tiga menteri aktif, yakni Andi
Mallarangeng, Suryadharma Ali, dan Jero Wacik. Kemudian, KPK mampu menjerat
petinggi di lembaga penegak hukum, yakni Irjen Pol Djoko Susilo, Brigjen Pol
Didik Purnomo, dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Yang terbaru adalah operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK
terhadap Ketua MK Patrialis Akbar, 25 Januari 2017, terkait dengan kasus
dugaan suap dalam uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Lalu, keberhasilan menjerat ketua umum parpol seperti Suryadharma Ali, Anas
Urbaningrum, dan Luthfi Hasan Ishaaq.
Catatan apik ini menjadi modal besar yang meningkatkan
kepercayaan diri dan keberanian KPK untuk tidak risau serta khawatir akan
guncangan besar politik yang mungkin muncul akibat disebutnya nama-nama besar
dalam kasus korupsi e-KTP. Selain itu, ada kekuatan rakyat di belakang KPK
yang selalu mendukung kerja mereka. Rakyat yang selalu berharap KPK mampu
mengungkap kasuskasus korupsi besar di negeri ini tanpa gentar dan takut
terhadap ancaman, serangan balik, dan upaya-upaya pelemahan terhadap KPK.
Jika kasus e-KTP ini berhasil diungkap hingga tuntas, KPK akan semakin
dipercaya rakyat dan ditakuti para koruptor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar