Status
Terdakwa dalam Jabatan Tertentu
M Fatahillah Akbar ;
Dosen
Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
|
JAWA
POS, 06
Maret 2017
’’A RULE becomes law only if it
has fulfilled some moral criterion, and not merely because it complies with
formal requirement.”
Pendapat itu dikemukakan oleh Fuller dalam buku
Jurisprudence: an Outline. Dalam pandangan tersebut, harus dimaknai bahwa
moral adalah komponen penting untuk membentuk hukum.
Permasalahan mengenai pilkada kemudian sempat menyorot
aktif kembalinya Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang saat ini
masih berstatus terdakwa kasus penodaan agama. Hal ini kemudian menciptakan
diskursus berkepanjangan yang tidak hanya melibatkan masyarakat yang
mengidolakan gubernur DKI petahana dengan masyarakat pembela cagub lain,
melainkan juga melibatkan para pakar hukum. Untuk menjawab permasalahan
tersebut, tulisan ini akan membedah bagaimana pemidanaan berpengaruh terhadap
jabatan publik dari perspektif hukum pidana.
Dalam perkembangannya, politik hukum di Indonesia sudah
menunjukkan bahwa status seseorang dalam suatu sistem peradilan pidana, baik
sebagai tersangka, terdakwa, terpidana, maupun mantan terpidana, memiliki
dampak terhadap jabatan publik tertentu. Proses itu dapat berpengaruh dalam
pencalonan atau sebagai dasar pemberhentian. Dalam permasalahan gubernur DKI,
kita akan berbicara bentuk pemberhentian. Pada praktiknya dalam perkara
gubernur Sumatera Utara, Banten, dan beberapa kepala daerah lain yang menjadi
tersangka korupsi, dalam hitungan hari setelah menjadi tersangka surat
pemberhentian sementara mereka aktif. Hal ini kembali menjadi permasalahan
karena bahkan status terdakwa saja belum mereka alami sewaktu memperoleh
pemberhentian sementara tersebut.
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan itu, mari kita
melihat bagaimana status dalam proses pidana memengaruhi jabatan
administratif melalui beberapa putusan MK. Pada 2009, Bibit Samad Rianto dan
Chandra Hamzah yang saat itu menjabat pimpinan KPK mengajukan pengujian pasal
32 ayat (1) huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan,
’’Pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan karena: menjadi terdakwa karena
melakukan tindak pidana kejahatan’’.
Saat itu putusan MK Nomor 133/PUU-VII/2009 mengabulkan permohonan
mantan pimpinan KPK tersebut dengan membentuk putusan konstitusional
bersyarat yang menyatakan bahwa pimpinan KPK diberhentikan setelah
mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau secara
sederhana jika sudah dikatakan sebagai terpidana.
Dalam putusan ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa
sebelumnya pimpinan KPK yang berstatus terdakwa harus berhenti secara tetap,
tetapi dengan perubahan itu cukup menunggu hingga statusnya beralih menjadi
terpidana. Salah satu landasan filosofis dari putusan tersebut adalah asas
presumption of innocence atau praduga tak bersalah. Namun, hal ini adalah
mengenai pemberhentian tetap.
Dalam perkembangan diskursus gubernur DKI adalah mengenai
pemberhentian sementara. Dalam hal ini, dapat merujuk kembali pada putusan MK
Nomor 25/PUU-XIII/2015 tentang pasal 32 ayat (2) UU KPK yang memberhentikan
sementara pimpinan KPK yang statusnya menjadi seorang tersangka. Saat itu
Bambang Widjojanto, mantan pimpinan KPK, menggugat pasal itu, tetapi MK
menolak permohonan pengajuan tersebut.
Salah satu pertimbangan MK dalam putusan itu, KPK adalah
lembaga yang dibangun berdasar prinsip reparatoir-condemnatoir, yakni
menghukum sekaligus memperbaiki. Di mana, dalam pemberhentian sementara
terkandung sifat penghukuman tetapi juga terkandung bentuk perbaikan, yakni
salah satunya memulihkan hak-haknya sebagai tersangka dan bilamana tidak
terbukti dan status tersangkanya dicabut, pemberhentian sementaranya bisa
dicabut. Dengan demikian, dalam hal ini dapat diartikan bahwa status
tersangka di lembaga tertentu saja bahkan dapat menghentikan sementara
jabatannya.
Menjadi pertanyaan kemudian, apakah pimpinan KPK bisa
dipersamakan dengan kepala daerah. Untuk menjawab hal itu, kita dapat
mengambil nilai dalam putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007 mengenai persyaratan
sebagai calon kepala daerah. MK dalam putusannya menyatakan, sebagai elected
officials, status terpidana walaupun sudah menjalani pidananya tidak dapat
mencalonkan diri sampai 5 tahun setelah yang bersangkutan menjalani
pidananya. Namun, dalam perkembangannya, UU mengenai pilkada berubah-ubah dan
salah satunya adalah mengenai hal ini. Salah satu pertimbangan dalam putusan
itu adalah, ’’Pilkada tersebut tidaklah sepenuhnya diserahkan kepada rakyat
tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa
rakyatlah yang akan memikul segala risiko pilihannya.”
Hal ini terkandung makna bahwa elected officials merupakan
jabatan yang langsung bertanggung jawab terhadap rakyat yang memilih sehingga
proses pencalonannya saja statusnya dalam proses pidana harus diperlihatkan
secara tegas dan ada larangan dalam kondisi tertentu. Hal ini kemudian
diperkuat pada pasal 83 ayat (1) undang-undang tentang pemda yang menyatakan
kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden jika menjadi terdakwa
pada surat dakwaan dengan ancaman pidana paling singkat 5 tahun atau lebih.
Pelaksanaan pasal 83 ayat (1) tersebut kemudian
menimbulkan berbagai permasalahan. Dalam definisi terdakwa sudah jelas adalah
ketika surat dakwaan dibacakan di persidangan. Sementara itu, ancaman pidana
dapat merujuk pada pasal yang dicantumkan dalam surat dakwaan. Pertanyaan
kemudian apakah yang dimaksud dengan ’’paling singkat”. Dalam hukum pidana,
kita mengenal tiga bentuk ancaman pidana, yakni indeterminate sentence
(menggunakan ancaman maksimum khusus), indefinite sentence (menggunakan
ancaman minimum khusus dan maksimum khusus), dan definite sentence (bentuk
pidana yang pasti).
Harus dapat dipahami maksud dari paling singkat 5 tahun
adalah perbuatan yang diancam pidana dengan ancaman maksimal 5 tahun atau
lebih, bukan sebaliknya, yakni yang menggunakan minimum khusus 5 tahun
penjara. Ancaman minimum 5 tahun penjara hanya ada pada UU Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM.
Karena itu, jika gubernur diancam dengan pidana 5 tahun
atau lebih, dapat memenuhi pasal 83 ayat (1) untuk kemudian diberhentikan
sementara. Pada UU KPK saja, untuk menjaga wibawa pimpinan KPK dan menjaga
jabatannya, status tersangka sudah cukup untuk memberhentikan sementara.
Dalam hal ini, status terdakwa pada gubernur tidak lagi
menjadi perdebatan jika masih ingin menjaga wibawa dan jabatan gubernur itu
sendiri untuk mencapai tujuan pidana dari konsep pemberhentian tersebut. Hal
ini tidak menyalahi asas praduga tak bersalah sebagaimana sudah diungkapkan
sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar