IORA
Dinna Wisnu ;
Political
Economist; Senior Advisor for Atma Jaya University’s Public Policy Institute
Chair, Atma Jaya’s Graduate School of Business
|
KORAN
SINDO, 08
Maret 2017
Konferensi Tingkat Tinggi Asosiasi Negara Lingkar Samudra
Hindia (Indian Ocean Rim Association/ IORA) telah menghasilkan Jakarta
Concorde yang akan menjadi kerangka kerja di masa depan bagi negara-negara di
Lingkar Samudra Hindia.
Beberapa pokok yang disepakati dalam Jakarta Concorde
antara lain blue economy, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,
penguatan demokrasi, tata pemerintahan yang baik, pemberantasan korupsi serta
perlindungan HAM. Pokokpokok kesepakatan itu menjadi penting dan bermakna strategis
bagi Indonesia apabila kita mampu mengembangkan gagasan dan inisiatif yang
menguntungkan semua pihak khususnya para anggota. KTT IORA menjadi istimewa
pada tahun ini karena beberapa hal.
Pertama karena KTT berhasil menyepakati terjadinya pertemuan
setingkat kepala negara. Selama 20 tahun sejak dibentuk, konferensi IORA
hanya terjadi di tingkat menteri. Kehadiran kepala negara negaranegara di
Lingkar Samudra Hindia akan mengikat komitmen dan memperkuat makna serta
bobot dari perhimpunan ini ke masa depan. Keduaadalah situasi yang telah
berubah. Pada saat IORA berdiri 20 tahun yang lalu, jarak kemajuan antara
negara maju dan berkembang di dalam IORA masih sangat kontras.
Saat ini perekonomian negara-negara tersebut telah
berkembang dan memiliki peran masingmasing. Apabila kita mengategorikan
negara-negara tersebut berdasarkan perkembangan pasarnya, anggota dari
negaranegara IORA cukup beragam. Ada negara-negara yang masuk dalam developed
market, antara lain Australia dan Singapora. Lalu negara berkategori emerging
market, antara lain Indonesia, Malaysia, India, Afrika Selatan, Thailand, dan
Uni Emirat Arab. Terakhir kategori frontier-market, yaitu Bangladesh,
Komoros, Iran, Kenya, Madagaskar, Mauritius, Mozambik, Oman, Seychelles, Sri
Lanka, Somalia, Tanzania, dan Yaman.
Total pasar negara-negara IORA membentuk seperempat dari
potensi pasar dunia. Ketiga, perekonomian dunia saat ini mengalami stagnasi
dan diliputi masalah-masalah politik yang sangat rumit dan kompleks,
khususnya di Eropa dan Amerika Serikat yang selama ini menjadi pusat konsumsi
dan tujuan produksi dunia. Melambatnya perbaikan pertumbuhan ekonomi di
kawasan tersebut dan semakin kompleksnya konflik politik mendorong setiap
negara, termasuk negara-negara IORA, untuk merumuskan strategi yang
melepaskan ketergantungan dari pusat pasar tradisional tersebut.
Hal itu sesuai dengan yang ditekankan Menteri Luar Negeri
Bangladesh Abul Hassan Mahmood Ali dalam pidatonya bahwa tumpuan kegiatan
ekonomi global secara bertahap berpindah ke arah timur, khususnya di Lingkar
Samudra Hindia. Dalam proses itu Samudra Hindia menjadi jalur yang makin
vital bagi perdagangan internasional dan ekonomi. Perkembangan ekonomi dunia
terutama negara-negara berkembang menempatkan Samudra Hindia menjadi penting.
Angka statistik mencatat bahwa perdagangan antarnegara IORA pada 2015
mencapai USD777 miliar.
Angka itu mengalami peningkatan sebesar 300% bila
dibandingkan dengan tahun 1994 yang hanya mencatat USD233 miliar. World
Investment Report juga mencatat bahwa investasi asing ke negara-negara IORA
mencapai USD229,7 juta. Angka-angka itu menggambarkan betapa sibuknya jalur
perairan Samudra Hindia. Semakin hari jalur ini menjadi semakin sibuk seiring
dengan semakin mendalamnya globalisasi yang mengintegrasikan pasar
negara-negara. Perairan ini menjadi jalur lalu lintas bagi 30% perdagangan
dunia. Pertumbuhan ekonomi juga membutuhkan energi untuk mendorong produksi.
Kebutuhan ini terutama sangat terasa bagi negara-negara
emerging-market. Perdagangan energi mulai dari batu bara hingga minyak bumi
menjadi penting dan meletakkan Samudra Hindia menjadi istimewa karena menjadi
pusat dari 2/3 cadangan minyak dunia dan 70% dari perdagangan minyak dunia
diperdagangkan melalui jalur perairan ini. Selain sisi positif dari IORA, ada
beberapa potensi sosial politik yang juga mengancam kestabilan kawasan.
Direktur Jenderal Asia, Pasifik dan Afrika Kementerian
Luar Negeri RI Desra Percaya membagi kawasan ini menjadi dua. Bagian timur
samudra adalah wilayah yang memiliki potensi besar terjadinya kebencanaan
semisal tsunami dan gempa seperti yang terjadi pada 2004. Wilayah ini juga
penuh dengan para pencari suaka yang menjadi tantangan bagi negara-negara
IORA untuk menyusun kebijakan terkait hal tersebut. Sementara itu bagian barat
perairan memiliki risiko ancaman pembajakan dan konflik politik seperti yang
terjadi di Yaman.
Faktor-faktor itu dapat menjadi sumber dari
ketidakstabilan dan mengganggu lalu lintas perdagangan dan pertumbuhan. Oleh
sebab itu penting bagi negara-negara di Lingkar Samudra Hindia untuk
merumuskan diplomasi maritim atau diplomasi kelautan yang dapat menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang menguntungkan semua pihak. Kebijakan itu tidak hanya
untuk mengantisipasi kerentanan seperti yang telah disebutkan di atas, tetapi
juga merawat jalur perairan ini menjadi lebih stabil dan berkelanjutan.
Indonesia sebagai salah satu dari tiga pendorong utama IORA memiliki tanggung
jawab yang lebih besar untuk menghasilkan inisiatif dan gagasan yang lebih
progresif.
Tanggung jawab itu tidak ringan karena untuk memaksimalkan
kawasan Samudra Hindia untuk mengakselerasi pembangunan IORA juga terdapat
sejumlah keterbatasan. David Brewster (2017) misalnya berpendapat bahwa IORA
belum sepenuhnya merepresentasikan kawasan Samudra Hindia. IORA memang
terdiri atas 21 negara, tetapi negara-negara besar lain seperti Pakistan,
Myanmar, dan Arab Saudi atau negara-negara kecil seperti Timor Leste dan
Maldives belum menjadi anggota.
Pakistan sebagai salah satu negara yang dapat menyumbangkan
kestabilan juga belum masuk menjadi anggota. IORA masih membutuhkan
konsolidasi antarnegara anggota. Dorongan Indonesia untuk menjadikan Pakistan
sebagai anggota, misalnya, masih ditolak India. Lambannya gerak IORA selama
20 tahun juga mencerminkan tantangan serius dalam menyepakati bentuk kerja
sama dan kontribusi sebagai anggota perhimpunan IORA.
Meskipun pertemuan di tingkat akademisi IORA cukup
intensif, bahkan telah terjadi rangkaian diplomasi one-and-ahalf- track,
yakni diplomasi yang melibatkan pejabat dan tokoh akademik, masih sulit
dicapai kesepakatan kerja sama. Itulah sebabnya Indonesia kemudian gigih
mengusulkan adanya KTT agar di tataran politik tertinggi dibangun komitmen.
Pertanyaan besar yang harus dijawab IORA adalah apakah model membangun kerja
sama regional melalui tahapan-tahapan sidang dan pembentukan norma bersama
akan efektif mendorong efektivitas IORA?
Menurut hemat saya, IORA sebaiknya tidak diperlakukan
seperti kerja sama regional tahun 1960-an atau bahkan seperti pengembangan
ASEAN. IORA sejak awal sudah dianggap strategis oleh tujuh negara mitra IORA
yang secara ekonomi dan geografis sangat berpengaruh di dalam negeri
negara-negara anggota IORA, yakni China, Amerika Serikat, Mesir, Prancis,
Jerman, Jepang, dan Inggris. Pendanaan kegiatan-kegiatan IORA pun banyak
dibantu negara-negara mitra tersebut.
Artinya bahwa IORA lebih sulit mengisolasi pengambilan
keputusannya hanya menurut pendapat dan kebutuhan negara anggota. Selain itu,
kerangka perluasan kerja sama demokrasi dan HAM membutuhkan perhatian serta
dana yang tidak kecil, tetapi belum jelas efek langsungnya pada alasan utama
IORA terbentuk, yakni untuk memperkuat kerja sama ekonomi dan penanganan
kejahatan lintas batas serta pengembangan industri yang padat modal dan padat
teknologi.
Bila IORA diolah seperti regionalisme masa lalu, padahal
tuntutan zaman mensyaratkan diplomasi yang mengutamakan kecepatan pengambilan
keputusan dengan keluwesan kerangka kerja sama regional, IORA justru menjadi
costcenter yang menyedot dana saja, padahal hasilnya belum tentu bisa
dirasakan langsung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar