Beda
Sadiq Khan dengan Ahok
Ma’mun Murod Albarbasy ;
Direktur
Pusat Studi Islam dan Pancasila
(PSIP) FISIP UMJ
|
KORAN
SINDO, 06
Maret 2017
Publik tentu masih ingat dengan nama Sadiq Khan. Imigran
muslim keturunan Pakistan ini pada Mei 2016 berhasil mengukir sejarah politik
baru di London dengan terpilih menjadi wali Kota London, Inggris.
Tak hanya muslim pertama yang menjadi wali kota di Inggris,
Khan juga menjadi muslim pertama yang pernah memimpin ibu kota negara besar
di Barat. Untuk diketahui, komposisi muslim di London hanya 12,4%. Sementara
Kristen berjumlah 48,4%, 1,8% Yahudi, dan sisanya 20,7% atheis. Khan resmi
terpilih setelah mengalahkan pesaingnya dari kubu konservatif Zac Goldsmith
dengan 57% suara. Sementara Goldsmith hanya meraih 43% suara.
Kemenangan Khan ini oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan
pendukungnya sering dijadikan sebagai pembenar bagi pencalonannya sebagai
gubernur DKI Jakarta. Kalau Khan yang muslim saja bisa menjadi wali Kota
London yang dihuni oleh mayoritas Kristen, kenapa Ahok yang Kristen tidak
bisa menjadi gubernur di DKI Jakarta yang dihuni oleh mayoritas muslim?
Kira-kira begitu pertanyaan pembenarannya.
Ahok dan Khan: Sama, tapi Berbeda
Sepintas kalau sekadar melihat dari sisi komposisi jumlah
penduduk berdasarkan agama, antara Khan dan Ahok memang terdapat kesamaan.
Khan terpilih menjadi wali Kota London yang dihuni mayoritas Kristen,
sementara Ahok menjadi calon gubernur DKI Jakarta yang dihuni mayoritas
muslim. Namun, kalau ditelisik lebih jauh, jelas terdapat perbedaan mendasar
antara Khan dan Ahok.
Seperti diketahui, Khan berasal dari keluarga muslim
imigran keturunan Pakistan. Orang tuanya meninggalkan Pakistan pada dasawarsa
1960-an. Ayahnya seorang sopir bus dan mereka tinggal di sebuah rumah subsidi
pemerintah di Tooting. Khan mengambil jurusan hukum di sebuah universitas di
London dan kemudian hari menjadi pengacara urusan hak asasi manusia. Khan
yang acapkali berkubang dalam pelbagai kasus diskriminasi kemudian masuk ke
gelanggang politik. Pada 2008 Khan diberi kepercayaan menjabat sebagai
menteri komunitas.
Selang setahun ditunjuk menjadi menteri transportasi saat
perdana menteri Inggris dijabat oleh Gordon Brown. Jabatan yang dipandang
belum seberapa itu membawanya sebagai menteri muslim pertama yang rutin
menghadiri rapat kabinet. Khan kemudian menjadi anggota Privy Council,
semacam Dewan Penasihat Kerajaan. Ketika resmi dinobatkan sebagai anggota,
sumpah jabatan lazim dilontarkan di hadapan sang ratu. Khan sangat sadar
bahwa dirinya tinggal di London (Eropa). Sementara Eropa sangat lekat dengan
nilai-nilai sekuler, liberal, egaliter, dan mengedepankan kebebasan individu.
Karena kesadarannya, Khan mencoba secara serius beradaptasi
dengan nilai-nilai Eropa. Sebagai bukti, Khan misalnya mendukung LGBT, yang
sudah tentu juga mendukung perkawinan kaum gay. Akibat itu, Khan sempat
mendapat ancaman pembunuhan bertubi-tubi. Pemenang Politician of The Year
dalam ajang penghargaan British Muslim Awards 2016 ini mengaku pernah
mendapat kiriman ancaman pembunuhan selepas memberikan persetujuan terhadap
undang-undang pernikahan sejenis pada 2013.
Akibat sikapnya ini, tidak tanggungtanggung, imam masjid
di Kota Bradford sempat memberikan fatwa agar Khan berikrar keluar dari Islam
( murtad). Sementara apa yang dilakukan Ahok sangat kontradiktif dengan Khan.
Kalau Khan sangat menyadari tinggal di Eropa dengan segala nilai-nilai
mainstream -nya dan muslim juga dalam posisi minoritas. Sebaliknya, Ahok
justru menjadi cerminan orang yang tidak mampu memahami nilai-nilai
mainstream yang berlaku di Indonesia.
Ahok gagal memahami Indonesia sebagai negara Pancasila
yang menempatkan agama pada posisi sangat penting, yang tergambar dari Sila
Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 29 Ayat 1 dan 2 yang tegas menyebut
bahwa negara Indonesia adalah ”negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”,
juga ”negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Indonesia memang bukan negara agama, tapi negara yang menempatkan agama pada
posisi sangat penting. Inilah yang disebut ”negara agamais” (religious country), bukan
negara agama (religion state).
Dalam konteks ini, Ahok telah gagal memahami Indonesia.
Akibat kegagalannya ini, Ahok tidak bisa beradaptasi dengan nilai-nilai
keindonesiaan. Tidak bisa beradaptasi dengan nilai-nilai keindonesiaan
ditandai dengan ulahnya yang selalu menantang atau melawan nilai-nilai
mainstream yang ada di Indonesia. Terlalu sering Ahok mengolok- olok dan
menista Islam, agama yang nilai-nilainya dianut oleh mainstream masyarakat
Indonesia. Padahal, Ahok sendiri bukan seorang muslim.
Sekarang bahkan beredar video singkat terkait ”jaringan
WiFi ”, di mana Ahok menyampaikan gagasan untuk membuat jaringan Wi-Fi dengan
nama ”al-Maidah 51” dan dengan nama password ”kafir”. Isi video ini sangat
sarkasme. Meskipun konon ini video lama, isinya menambah deretan panjang
pencerminan seorang Ahok yang tidak saja gagal dalam memahami nilai-nilai
keindonesiaan, tapi juga gagal memahami dirinya sendiri. Orang yang paham
tentang dirinya sendiri tentu tidak mungkin membuat beberapa kali kesalahan
untuk hal yang sama, yaitu melecehkan Islam.
Pembelajaran untuk Semua
Sikap yang dipertontonkan Ahok sangat buruk bagi
masyarakat Indonesia yang dikenal sangat toleran. Bagi siapa pun yang melihat
Indonesia dengan jernih, tentu melihat dengan segala sisi heterogenitasnya,
sulit untuk menyebut sebagai negara intoleran. Namun, negara yang toleran ini
tiba-tiba dibikin gaduh oleh seorang Ahok. Umat Islam yang juga dikenal
sangat toleran juga dibikin terusik oleh cacian dan nistaan yang dilakukan
Ahok. Elite politik pendukung Ahok juga dibikin repot, repot karena harus
mencari pembenaran dan pembelaan atas setiap sikap Ahok yang mengangkangi
nilai-nilai keindonesiaan.
Dalam konteks sikap keagamaan, banyak orang yang sudah
berada pada posisi ”pertengahan” (wasathiyah) juga menjadi tergoda untuk mengecam
sikap yang dipertontonkan oleh Ahok. Saya meyakini, kecaman orang-orang
wasathiyah ini bukan karena melihat identitas keagamaan seorang Ahok, tapi
lebih karena melihat bahwa Ahok adalah sosok yang sangat berbahaya dan bisa
mengancam nilai-nilai keindonesiaan yang toleran dan menjunjung tinggi
kemajemukan.
Sosok Ahok ini harus menjadi pembelajaran bagi kita semua,
terutama elite politik. Bersikap seperti yang dipertontonkan Ahok tidaklah
patut untuk ditiru. Siapa pun yang hendak terlibat dalam kancah politik
praktis hendaknya belajar untuk mampu menghormati nilai-nilai mainstream yang
berkembang dan berlaku di masyarakat. Jangan mencoba mengganggu dan apalagi
menista nilai-nilai agama yang dianut oleh kelompok mayoritas maupun
minoritas. Selain bertentangan dengan Pancasila, sejatinya juga mengangkangi
nilai-nilai demokrasi yang sangat menghargai prinsip-prinsip egalitarianisme.
Andai mampu bersikap seperti Khan, yakinlah, meskipun
mungkin akan tetap mendapat tentangan dari sebagian umat Islam yang karena
berangkat dari keyakinannya, kalau menyikapinya dengan tetap menjunjung
tinggi nilai-nilai keindonesiaan, menghargai kemajemukan, termasuk
kemajemukan pandangan keagamaan, toleran, dan irit bicara, apalagi untuk
berbicara yang tak bermutu, yakinlah Ahok akan dengan mudah menggapai kembali
kursi gubernur. Semua kembali kepada Ahok. Ahok yang menanam dan Ahok pula
yang akan menuai hasilnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar