Keadaban
Profesor
Sudjito ;
Guru
Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN
SINDO, 09
Maret 2017
Merinding. Perasaan itu menghinggapiku ketika membaca
pesan melalui WhatsApp bahwa Permenristek- Dikti No 20 Tahun 2017 tentang
Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan, dikritisi serius oleh
sebelas Forum Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri terkemuka di negeri ini.
Berbagai alasan ilmiah dikemukakan. Dinyatakan bahwa
muatan Permenristek- Dikti bertentangan dengan UU No 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen; PP No 37 Tahun 2009 tentang Dosen; PP 41 Tahun 2009 tentang
Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta
Tunjangan Kehormatan Profesor; Permendikbud No 78 Tahun 2015 tentang
Pemberian Tunjangan Profesi dan Tunjangan Kehormatan bagi Dosen yang
Menduduki Jabatan Akademik Profesor. Sehubungan dengan itu, Permenristek-Dikti
No 20 Tahun 2017 perlu direvisi secara menyeluruh.
Pendapat dan rekomendasi Forum Senat Akademik tersebut
diminta ditindaklanjuti. Terbayangkan, betapa runyamnya kohesivitas antara
Menristek-Dikti dengan para profesor bila keduanya saling ngotot, bersikukuh
pada pendapatnya. Kalau saja, sedari awal Permenristek-Dikti tersebut
dirancang secara bottom up, hati-hati, ada konsultasi ke profesor secara
intensif, dipastikan polemik atau “penolakan” dapat dihindarkan. Namun, “nasi
sudah menjadi bubur”.
Agar implikasi negatifnya tidak melebar ke mana-mana,
sebaiknya segera ada pertemuan, duduk satu meja, bermusyawarah untuk mencapai
titik temu. Hindarkan saling menyalahkan satu terhadap lainnya. Setahu saya,
Permenristek- Dikti sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan,
dapat dikategorikan sebagai sah, apabila berbasis moralitas hukum, antara
lain: tidak hadir sebagai ancaman, dan tidak memberikan kewajiban yang
berlebihan kepada sasaran.
Bukankah Permendikbud No78 Tahun 2013 perlu dievaluasi
dulu, dan mestinya evaluasi pertama kali tahun 2018?! Evaluasi itu penting.
Konsistensi dan harmonisasi antar peraturan perundang-undangan perlu
diperhatikan. Dari evaluasi, akan diketahui, faktor-faktor kendalanya
sehingga publikasi profesor di jurnal internasional rendah. Kendala-kendala
itulah yang mesti dibenahi. Rasanya kurang bijak, bila tiba-tiba profesor
langsung dipojokkan, diancam, dan disalahkan. Dibandingkan dengan
profesi-profesi lain, profesor bagaimanapun masih unggul moralitasnya.
Tunjangan profesi lain, semisal: hakim, jaksa, polisi,
atau pegawai pajak, tidak dipersoalkan, sementara tunjangan profesor diancam
dihentikan bila tidak memiliki karya ilmiah internasional. Adilkah, etiskah,
“orang-orang tua” diperlakukan diskriminatif demikian? Sudah tentu semua
pihak setuju bahwa kinerja profesor perlu ditingkatkan, utamanya perihal
publikasi di jurnal internasional. Kita awali upaya itu dari hal paling
mendasar, yakni keadaban profesor.
Keadaban, berasal dari kata adab artinya budi pekerti luhur.
Bicara tentang keadaban profesor mencakup segala hal tentang keluhuran
pemikiran, sikap dan perilaku, maupun budi pekerti dalam pengembangan ilmu,
pengamalan ilmu dan teknologi bagi kemaslahatan kehidupan bersama. Substansi
ini sepantasnya mendapatkan perhatian. Pertama, secara sosiologis, profesor
dipandang sebagai jabatan prestisius, keren, dan membanggakan.
Seorang dosen mestinya berupaya meraih jabatan terhormat
ini. Patut disyukuri bahwa kesempatan, persyaratan, prosedur, dan kewenangan
penobatannya telah diatur dalam perundang-undangan. Segala sesuatunya, agar
jabatan profesor maupun konsekuensi-konsekuensinya, dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Kedua, dalam perspektif negara hukum,
persoalan keadaban profesor harus dikelola dalam bingkai hukum yang berlaku.
Pada zaman klasik, hukum itu dikonsepkan sebagai norma moral sosial.
Kandungan nilainilai moral sedemikian padat, sehingga
tanpa ada teks hukum tertulis pun, perilaku manusia sudah terkendalikan,
senantiasa berada di jalan lurus, jalan kebenaran dan keadilan. Ketaatan
hukum identik dengan ketaatan pada moral, dan identik pula dengan keadaban.
Manakala keadaban profesor ditempatkan pada bingkai hukum klasik, maka apa
yang disebut jalan lurus, jalan kebenaran dan keadilan, harus sudah melekat,
terpatri dalam jiwa profesor. Tak boleh ada, setitik noda pun, merusak jati
diri profesor berkeadaban.
Ketiga, persoalan menjadi rumit, kompleks, ketika
kehidupan berubah di zaman modern. Kehidupan modern berwatak:
legal-positivistik, mekanis-linier, dan materialistik. Keadaban profesor di
era modernitas adalah keterpenuhannya atas materi-substansial. Aktualisasi
diri sering tertunda manakala kebutuhan materi-substansial belum tercukupi.
Perlu diingat, gaji profesor Indonesia masih tergolong rendah.
Oleh karenanya, penilaian kinerja profesor, perlu
dilakukan secara cermat dan seksama, dengan tetap menghormati keadabannya.
Fakultas, universitas, koordinator perguruan tinggi swasta, dan kementerian
merupakan lembagalembaga yang bertanggung jawab mengondisikan profesor agar
dapat secara maksimal melaksanakan tridarma perguruan tinggi, termasuk
publikasi di jurnal internasional. Keadaban profesor dapat dianalogikan
sebagai benihbenih kehidupan akademik.
Profesor mengemban amanah bagi terwujudnya budaya
akademik- holistik berdasarkan nilai- nilai luhur kebangsaan. Merujuk ajaran
Ki Hadjar Dewantara (1936), buah keadaban profesor adalah karya-karya
intelektual— baik materiil maupun imateriil—sebagai hasil pendayagunaan
cipta, rasa dan karsa di bidang akademik, yang senantiasa merengkuh aspek
logika, etika dan estetika. Publikasi di jurnal internasional, hanyalah salah
satu wujud budaya akademik-holistik itu. Jauh lebih bermakna bila karya-karya
profesor-apa pun bentuknya-mampu mendorong kehidupan bersama lebih aman,
damai, sejahtera, dan produktif.
Profesor itu analog pohon besar, kuat, rindang, berumur
panjang. Angin semilir bernyanyi di dahannya, sinar matahari menari di
daundaunnya, burung-burung pun riang bersiul merdu, penuh semangat melewati
segala musim. Semuanya berkhidmat kepada profesor. Perwujudan budaya
akademik- holistik perlu dikawal secara sistemik.
Keadaban profesor tidak boleh dipermainkan sebab sekali
keadaban profesor tergusur oleh kepentingan dan terdegradasi oleh kekuasaan,
maka tumbanglah pohon akademik, disusul maraknya kejahatan akademik dan
kemunafikan akademisi. Pada kondisi demikian, hancurlah fundamen peradaban kehidupan
bernegara. Naudzubillah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar