Jumat, 03 Maret 2017

Aspek Ekonomi Kunjungan Raja

Aspek Ekonomi Kunjungan Raja
A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
                                                        KOMPAS, 03 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud ke Indonesia telah menimbulkan ”kehebohan”. Jumlah rombongan yang amat besar (1.500 orang) sungguh spektakuler. Wajar jika muncul berbagai ekspektasi yang besar terhadap rombongan yang tidak lazim sebanyak ini, dengan durasi yang juga panjang. Selain kunjungan tiga hari di Jakarta (1-3 Maret), Raja Salman juga melanjutkan berlibur di Bali hingga 9 Maret 2017. Ini luar biasa.

Nama Bali akan mendapat promosi yang besar di kalangan turis Timur Tengah. Ini momentum yang tepat. Sebab, saat ini tiga maskapai terbesar Timur Tengah (Emirates, Etihad, dan Qatar) juga berencana membuka penerbangan langsung dari Timur Tengah ke Yogyakarta. Diperkirakan, hal ini baru terealisasi saat bandara baru Yogyakarta selesai dibangun pada 2019.

Ke depannya, Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah bakal menjadi salah satu sumber turis asing yang potensial bagi industri pariwisata kita, yang kini dilaporkan sudah berhasil mencapai 12 juta wisman pada 2016. Bali, yang selama ini destinasi favorit turis Australia, Jepang, China, dan Rusia, sebentar lagi juga akan didatangi turis Timur Tengah. Hal paling menarik dari perekonomian terkini Arab Saudi adalah mereka sedang terpukul oleh runtuhnya harga minyak, lalu ”banting setir” menjalankan reformasi yang struktural. Pelajaran apa yang bisa kita petik? Apa persamaan dan perbedaannya dengan Indonesia?

Sindrom ”penyakit Belanda”

Arab Saudi adalah negara yang mengidap sindrom ”penyakit Belanda” (Dutch disease), yakni negara yang terpukul karena perekonomiannya terlalu bergantung pada suatu komoditas primer, dalam hal ini minyak. Tak tanggung-tanggung, harga minyak dunia pernah mencapai puncaknya 147 dollar AS per barrel (2007), lalu terkoreksi menjadi 115 dollar AS per barrel (Juni 2014), kemudian terus anjlok hingga titik terendah 27 dollar AS per barrel (Februari 2016). Merosotnya harga minyak hingga 70 persen menyebabkan perekonomian Saudi terpukul. Betapa tidak. Anggaran pemerintahnya selama ini terlalu bergantung pada minyak, mencapai 90 persen. Dependensi ini jauh lebih besar daripada ketergantungan pada minyak oleh anggaran pemerintah negara-negara produsen minyak besar lain, seperti Rusia dan Venezuela (50 persen atau lebih).

Akibatnya, Saudi terpaksa harus melakukan reformasi ekonomi—suatu hal yang sebelumnya tak kita pikirkan. Selama periode gonjang-ganjing perekonomian global, terutama sejak pertengahan 2013, cadangan devisa Saudi merosot dari 800 miliar dollar AS menjadi saat ini sekitar 535 miliar dollar AS. Penyebabnya, kombinasi antara upaya menutup anggaran pemerintah yang defisit besar (asumsi harga minyak 100 dollar AS per barrel hanya terealisasi 40 persennya); dengan terjadinya arus keluar dana valuta asing.

Pada periode ini, sebenarnya hampir seluruh dunia mengalami pergerakan modal menuju ke AS. Namun, Saudi (kehilangan 265 miliar dollar AS) dan China (kehilangan 800 miliar dollar AS) yang terbesar. Larinya modal global menuju New York merupakan penjelasan kenapa indeks harga saham New York terus melonjak hingga rekor baru 20.821.

Privatisasi Aramco dan reformasi

Kehilangan devisa dalam jumlah besar memaksa Saudi untuk melakukan berbagai inisiatif yang signifikan. Keputusan besar dan berani pun diambil: Aramco, perusahaan minyaknya yang merupakan terbesar di dunia, akan melakukan penjualan saham perdana (initial public offering/IPO) sebesar 5 persen. Ini akan menjadi rekor IPO terbesar sepanjang sejarah dengan perkiraan penerimaan 100 miliar dollar AS. Pencapaian ini empat kali lipat daripada rekor sebelumnya yang dipegang Alibaba milik Jack Ma (China), senilai 25 miliar dollar AS (2014).

Valuasi perusahaan Aramco ditaksir 2,1 triliun dollar AS. Sebagai perbandingan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia saja ”hanya” 850 miliar dollar AS, sedangkan PDB Arab Saudi 689 miliar dollar AS. Dengan kata lain, nilai Aramco setara dengan lebih dari dua tahun PDB Indonesia dan tiga tahun PDB Arab Saudi.

Privatisasi Aramco pada 2018 nanti sebenarnya tidak hanya bermakna tunggal karena Saudi sedang memerlukan dana besar untuk menyelamatkan APBN dan menghindari tergerusnya cadangan devisa lebih lanjut. Penjualan saham ini, meski hanya 5 persen senilai 100 miliar dollar AS, menjadi semacam pertanda bahwa Saudi mulai masuk ke era reformasi. Saudi harus berubah. Meski rezeki minyak masih terus mengalir, masa depan harga minyak sulit diharapkan tinggi.

Ditemukannya shale oil atau minyak nonkonvensional oleh AS telah membuat dunia mengalami kelebihan pasokan (oversupply). Pada saat yang sama, permintaan justru menurun seiring perlambatan ekonomi global. Masih ”agak beruntung” bahwa produsen-produsen besar, seperti Saudi dan Rusia, akhirnya mau memangkas produksinya sehingga harga minyak kini stabil di sekitar 54 dollar AS per barrel.

Tak pernah terbayangkan bahwa Saudi yang kaya pun pada suatu saat harus ”banting setir” melakukan reformasi ekonomi melalui jalur privatisasi. Ketika Indonesia dulu melakukan privatisasi untuk menyelamatkan APBN yang diterjang krisis 1998, timbul kritik keras bahwa privatisasi dipersepsikan sebagai ”menjual negara”. Pada hampir semua kasus privatisasi BUMN, biasanya didorong oleh dua motif. Pertama, untuk menolong APBN yang defisit. Kedua, untuk meningkatkan kinerja melalui jalur transparansi dan akuntabilitas.

Perusahaan minyak sebesar Aramco sekalipun perlu bantuan untuk mendorong tata kelolanya. Sesuai teori X-efficiency oleh ekonom Harvard, Harvey Leibenstein (1966 dan 1976), kinerja sebuah perusahaan bisa ditingkatkan efisiensinya jika dioperasikan dengan disiplin tinggi. Masuknya sebuah perusahaan ke bursa efek (go public) bakal banyak membantu pencapaian ini. Karena itu, kasus Aramco mau masuk bursa seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Pertamina yang tahun lalu kinerjanya luar biasa (laba hampir 3 miliar dollar AS) agar menempuh jejak yang sama. Pertamina yang sebelum ini terjerat perilaku perburuan rente ekonomi (rent-seeking behavior) akut—sebelum kemudian dihentikan melalui pembubaran Petral pada 2016—seharusnya didorong segera masuk ke bursa efek.

Jadi, kunjungan Raja Salman ke beberapa negara Asia, selain kemungkinan menghadirkan investasi dari Saudi ke sini, sebenarnya juga bisa dimaknai sebagai upaya roadshow mereka dalam rangka penjualan 5 persen saham Aramco yang nilainya sangat besar. China dan Jepang sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua dan ketiga di dunia jelas merupakan target pasar yang potensial. Indonesia dan Malaysia, dengan skala yang berbeda, tentunya juga tidak boleh diabaikan.

Karena itu, kunjungan Raja Salman ke Indonesia bisa diibaratkan sebagai ”sambil menyelam minum air”. Bagi kita, Saudi memang diharapkan menanamkan modalnya di Indonesia. Namun, sebaliknya, mereka pun juga berpeluang mencari investor dari Indonesia untuk membeli saham perdana Aramco. Nilai IPO Aramco yang sangat besar—ekuivalen dengan Rp 1.330 triliun—memang harus dijajakan ke banyak negara, tidak cuma di China dan Jepang. Jumlah itu setara dengan APBN Indonesia 2017 untuk delapan bulan!

Selain privatisasi parsial Aramco, Saudi tentunya juga masih akan menempuh jalan reformasi yang panjang. Mereka harus mengubah ketergantungan ekonomi yang terlalu tinggi terhadap sumber daya alam (minyak) menuju ke perekonomian yang lebih beragam basisnya, yang terutama diarahkan ke manufaktur (industrialisasi). Untuk menuju ke sana, Saudi akan lebih banyak membelanjakan APBN-nya untuk memperkuat kualitas manusia.

Saudi juga menghadapi pekerjaan rumah besar terkait kualitas sumber daya manusia. Dengan jumlah penduduk cepat bertambah hingga kini 30 juta orang, pengangguran mencapai 11 persen, banyak disumbang oleh kategori pengangguran sukarela. Pada industri migasnya, dominasi asing sangat kuat, tergambar dari 80 persen tenaga kerja merupakan orang asing. Arab Saudi juga mulai memangkas subsidi energi dan berbagai fasilitas bagi rakyatnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan (social security). Ketika harga minyak 100 dollar AS atau lebih per barrel, rakyatnya boleh saja menikmati zona nyaman. Namun, periode itu kini sudah usai. Lebih baik Saudi bersikap konservatif dalam memproyeksikan harga minyak, misalnya 50 dollar AS per barrel. Berarti, APBN mereka harus dipangkas 50 persen. Rakyatnya pun harus rela menurunkan level zona nyamannya.

Kapan Pertamina?

Reformasi yang kini ditempuh Saudi pada dasarnya juga dijalani Indonesia. Ketika harga komoditas primer terjun bebas sejak paruh kedua 2014, kita terperanjat dan lantas tergopoh-gopoh. Kita lalu menyadari dengan sejumlah koreksi mendorong percepatan industrialisasi, bukan membiarkan tren deindustrialisasi, yakni degradasi kontribusi sektor industri dalam pembentukan PDB.

Sedikitnya ada tiga inisiatif fundamental. Pertama, pembangunan infrastruktur besar-besaran untuk mendorong efisiensi dan daya saing. Kedua, meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan untuk mendukung percepatan industrialisasi. Anggaran pendidikan 20 persen terhadap APBN dijalankan. Ketiga, struktur APBN diperbaiki. Fiskal yang sehat perlu dukungan partisipasi masyarakat melalui pembayaran pajak yang benar. Banyak negara berkembang suka terlena dalam hal perpajakan sehingga struktur fiskalnya sering mengandalkan utang yang kian lama kian menumpuk. Kemandirian fiskal menjadi prioritas, amnesti pajak pun dijalankan dengan relatif sukses.

Akhirnya, ada beberapa catatan penting tentang kunjungan Raja Salman ke Indonesia. Pertama, hubungan ekonomi kedua negara bisa saling menguntungkan. Kita butuh investasi dan turis dari Saudi, sedangkan mereka pun menginginkan investor (termasuk dari Indonesia) bagi keberhasilan privatisasi Aramco. Kedua, negara produsen minyak terbesar di dunia ini pun ternyata harus ikhlas mendorong BUMN terbesarnya untuk ”melantai” di bursa saham. Privatisasi BUMN merupakan sebuah keniscayaan bagi negara yang fiskalnya sedang tertekan.

Belajar dari kasus Aramco, kenapa Pemerintah Indonesia hingga saat ini belum punya cukup nyali untuk mendorong Pertamina masuk ke bursa efek? Padahal, dampaknya pasti sangat positif. Privatisasi Pertamina bakal berdampak positif terhadap kenaikan kapitalisasi bursa; meningkatkan antusiasme investor karena kehadiran saham emiten yang terkemuka; serta yang terpenting adalah menetapkan standar tinggi bagi tata kelola Pertamina di kemudian hari. Jadi, kapan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar