Dualisme
dalam Pilkada Jakarta
Rizal Mallarangeng ; Pendiri Freedom
Institute, Jakarta
|
KOMPAS, 03 Maret 2017
Pemilu selalu mengandung elemen rasional dan emosional.
Namun, dalam Pilkada Jakarta putaran pertama bulan lalu, polarisasi dua elemen
ini tampaknya agak ekstrem. Hal inilah yang merupakan variabel penting di
balik dinamika yang ada.
Itulah yang ditulis dengan menarik oleh Burhanuddin
Muhtadi ("Rasionalitas Pemilih Jakarta", Kompas, 21/2). Fakta-fakta
yang dikemukakannya cukup jelas. Dalam survei terakhir seminggu sebelum
pilkada, hampir dua pertiga warga Jakarta merasa puas dan sangat puas
terhadap kinerja Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur. Dengan tingkat
kepuasan setinggi ini, seharusnya kandidat petahana menang dengan cukup
mudah.
Ternyata tidak. Pasangan Basuki-Djarot Saiful Hidayat
memang "menang", tetapi hanya di kisaran 42 persen hingga 43
persen. Walaupun pasangan ini dianggap sebagai pejabat yang baik dan
berhasil, sebagian pemilih Ibu Kota ragu dan karenanya memberikan suara
mereka bagi kandidat lain.
Faktor apa yang menjelaskan keraguan ini? Kenapa sebagian
warga tidak memilih berdasarkan kepentingan "obyektif" untuk
dipimpin seorang gubernur yang dianggap telah terbukti dan mampu memperbaiki
kinerja pemerintahan di Ibu Kota kita?
Jawabannya adalah kasus Al Maidah. Fakta yang ditemukan
Burhanuddin Muhtadi, lewat lembaga Indikator Politik Indonesia, penting untuk
dipahami: 57 persen pemilih menganggap bahwa Basuki telah menodai agama; 27
persen berpendapat sebaliknya; dan 15 persen tidak tahu atau netral.
Kita bisa berdebat panjang apakah Basuki memang telah
menodai agama dalam hal ini Islam. Akan tetapi, suka atau tidak, benar atau
salah, itulah fakta yang ada dalam distribusi sikap masyarakat terhadap suatu
kejadian yang dianggap penting.
Distribusi sikap inilah yang mewarnai hasil akhir pilkada
putaran pertama kemarin: lebih dari setengah pemilih yang menilai isu Al
Maidah adalah kasus penodaan agama memutuskan memilih Anies Baswedan-Sandiaga
Uno, sementara sepertiga lainnya memilih Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana
Murni.
Bagi Burhanuddin Muhtadi, dan saya kira dia benar, semua
itu menggambarkan sebuah dualisme yang unik: jarak yang melebar antara aspek
rasionalitas dan aspek emosional karena adanya sebuah isu kontroversial. Otak
dan pikiran berpendapat satu hal, tetapi karena hati masih tersinggung atau
terluka, pilihan akhirnya jadi berbeda.
Pertanyaannya kemudian, dalam putaran kedua 19 April
nanti, akankah dualisme ini kembali menjadi faktor penentu? Apakah distribusi
sikap itu bersifat statis atau justru dinamis dan berubah? Jika berubah,
arahnya ke mana, menajam atau melembut?
Barangkali jawaban bagi pertanyaan inilah yang akan
menentukan siapa yang menang dan menjadi Gubernur Jakarta untuk periode lima
tahun berikutnya.
Etnis dan jender
Catatan lain yang juga menarik dan perlu ditambahkan di
sini adalah faktor etnis dan jender serta bagaimana keduanya bersinggungan
dengan dualisme tadi. Dari segi etnis, mayoritas penduduk Jakarta berlatar
belakang suku Jawa (35 persen) dan Betawi (28 persen).
Pendukung Anies dari suku Betawi sangat kuat, hampir
mencapai setengahnya, sementara untuk suku Jawa kekuatan Anies dan Basuki
berimbang di angka 30-an persen.
Perbedaan mencolok ini membuat kita bertanya: apakah orang
Betawi mudah tersinggung dan orang Jawa lebih pemaaf dalam menyikapi isu Al
Maidah? Mungkin saja. Namun, yang jelas jawabannya harus kita cari pada
penjelasan sosiokultural, bukan lagi pada faktor agama dan sentimen
keagamaan.
Dari segi jender secara umum, Basuki memiliki dukungan
yang sangat kuat di kalangan perempuan, cukup jauh meninggalkan Anies. Namun,
jika kita masuk pada kategori "ibu rumah tangga" yang jumlahnya
setengah dari pemilih kaum perempuan, posisi Basuki merosot, sementara Anies
tetap. Siapa yang menguat dalam kategori penting ini? Agus Harimurti
Yudhoyono.
Mengapa bukan Anies yang mendominasi pilihan di kalangan
ibu-ibu rumah tangga? Jika hati mereka banyak yang terluka pada ucapan
Basuki, kenapa pilihannya jatuh pada Agus? Dalam hal ini, pengaruh yang kuat
mungkin berhubungan dengan gaya dan karakter fisik, teknik kampanye, dan
latar belakang keluarga (ibunda Agus
mantan Ibu Negara dan istri Agus seorang artis).
Demokrasi
Selain etnis dan jender, sebenarnya masih banyak variabel lain
yang juga menarik, seperti kelas sosial, demografi, pendidikan, dan jaringan
partai politik. Namun, dua variabel ini sudah cukup untuk menggambarkan suatu
hal penting: sebenarnya, Pilkada Jakarta adalah pilkada yang normal, biasa
saja, dengan tingkat kompleksitas yang mencerminkan potret masyarakat
Indonesia secara umum.
Perilaku pemilih dalam memberikan suara tetap mengikuti
pola baku yang telah berkembang dalam demokrasi Indonesia sejauh ini. Agama
dan isu keagamaan selalu berperan penting, tetapi demikian pula berbagai
variabel sosial lainnya. Kombinasi semua itulah yang sejauh ini menjadi ciri
khas demokrasi kita. Complexity is a
friend of our freedom.
Sebagai penutup, perlu juga kita catat satu hal lagi.
Seperti yang tersirat di balik penjelasan Burhanuddin Muhtadi, sejauh ini
ketersinggungan dalam kasus Al Maidah adalah sebuah fenomena psikologis.
Implikasinya politis, tetapi hal ini bukanlah sebentuk radikalisasi politik
agama.
Namun, kita tetap perlu berhati-hati. Ketersinggungan,
kekecewaan, serta kemarahan bisa menjadi lebih pekat dan membatu. Kita harus
mencegah agar hal ini tidak terjadi. Karena itu, dalam menyongsong putaran
kedua Pilkada Jakarta, kita mengimbau para kandidat dan tim kampanye
masing-masing untuk menahan diri. Kompetisi yang tajam dan sehat memang
perlu. Namun, jangan bermain api. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar