Jumat, 21 Agustus 2015

Warga Negara Istimewa

Warga Negara Istimewa

Saifur Rohman  ;   Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta
                                                       KOMPAS, 21 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Warga negara Daerah Istimewa Yogyakarta, Elanto Wijoyono, menghadang konvoi pengguna motor gede alias moge dengan sepeda kayuh ketika melintas di perempatan jalan raya Yogyakarta, Minggu, 16 Agustus.

Saat itu, lampu lalu lintas berwarna merah. Dia menilai bahwa pengawalan rombongan itu telah menyusahkan pengguna lain di jalan raya karena macet di sejumlah ruas jalan lain.

Akibat dari aksi itu, Kepolisian menyatakan pengawalan itu sudah sesuai dengan Pasal 134 UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 18 UU No 2/2002 tentang Kepolisian, dan Pasal 1 angka 10 Peraturan Kapolri No 10/2012. Dengan dasar alasan itu pula, sesuai dengan rilis Kepolisian pada Minggu, 16 Agustus 2015, tindakan warga tersebut dinilai "tidak patut ditiru karena tidak menjunjung supremasi hukum".

Tanda tanya

Namun, keberanian rakyat ini membuat kita merenung karena bila melihat dalam skala yang lebih luas, kasus ini tak berbeda dengan wacana anarkisme geng motor yang pernah meresahkan publik beberapa waktu lalu.

Baik geng motor kecil maupun geng motor besar sama-sama bermaksud menunjukkan diri sebagai kelompok yang eksklusif dengan identitas motor dengan memanfaatkan ruang publik berupa jalan raya.

Adakah hal-hal yang salah dalam pertimbangan institusional untuk identifikasi masalah sosial? Apakah dengan begitu telah terjadi kekeliruan dalam praktik hukum?

Kalau ditarik ke dalam konteks sosial, bagaimana pola-pola sosial dalam praktik interaksi eksklusif-inklusif, in group-out group, toleransi, pluralitas, aktualitas nilai-nilai normatif di tengah masyarakat?

Kasus itu jelas mengingatkan kita pada pendapat Garrett Hardin tentang tragedi kebersamaan dalam jurnal Science beberapa tahun lalu. Dia menunjuk kasus bahwa sebuah sumber daya yang terbuka untuk umum telah diarahkan untuk kepentingan diri atau kelompok tanpa mempertimbangkan pembangunan yang lestari. Misalnya, penjagaan atmosfer dari polusi, pemanfaatan ikan, lautan, sungai, dan kualitas udara.

Tragedi kepemilikan bersama dalam pendapat Hardin itu tak jauh berbeda dengan tragedi dalam ruang publik yang terjadi sekarang. Secara umum ruang publik dapat dianggap sebagai tempat ketika setiap orang dapat mengakses untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok. Akses tersebut didasarkan pada prasyarat bahwa kepentingan itu tidak melawan kepentingan umum, apalagi adanya ruang publik itu dibangun didasarkan oleh pajak yang dikumpulkan negara untuk kepentingan bersama.

Dalam tata negara di Indonesia, negara menjamin hak kepemilikan bagi setiap pribadi untuk mendukung hak asasi bagi setiap individu untuk menikmati kesejahteraan. Pada mulanya seorang individu memiliki kebebasan untuk memanfaatkan hak milik yang telah diperoleh dengan alat tukar, bahkan memiliki hak bebas untuk menunjukkan kepemilikan di ruang publik.

Akan tetapi, praktik penggunaan hak milik itu akan memasuki wilayah etis ketika sudah terjun di ruang publik. Contoh, Anda bisa saja tidak melanggar satu hukum pun saat memamerkan kekayaan Anda di hadapan semua orang karena tidak ada hukum positif apa pun yang dilawan, tetapi Anda dianggap tidak memiliki kebaikan karena hidup berlebihan. Pemborosan bukanlah bagian dari asas keutamaan moral.

Bila direfleksikan dalam kenyataan masa sekarang, ketika segregasi sosial didasarkan pada kepunyaan dan kekayaan, kepemilikan barang bukanlah sekadar persoalan kebebasan pribadi, melainkan telah memunculkan tanggung jawab sosial. Menjadi jelas kini motor besar bukan sekadar obyek kepemilikan bagi warga negara, melainkan memberikan identitas pribadi, kelompok, bahkan memberikan ciri-ciri dalam interaksi sosial.

Mengingat harga motor besar yang melebihi harga mobil, kepemilikan itu kemudian memberikan citra kekayaan, kemapanan, dan kekhususan. Selama ini tidak sulit menunjukkan bukti bahwa konvoi motor besar akan selalu diikuti oleh pengawalan aparat Kepolisian.

Kasus-kasus lain dalam wacana kepemilikan, kemewahan, dan identitas diri ataupun kelompok telah membawa masyarakat pada diskriminasi sosial yang makin jelas dan tak jarang terjadi kecemburuan.

Salah identifikasi

Kasus yang merebak di tengah publik itu menunjukkan bahwa aparat tidak berhasil melakukan identifikasi persoalan secara mendasar.

Pertama, persoalan yang terjadi bukan sekadar praktik hukum yang tertulis dan menjalankan mekanisme perundang-undangan. Pengawalan terhadap rombongan pemilik motor besar itu memberikan kesan tentang eksklusivitas yang dimiliki oleh para pemilik barang itu. Praktik aparat negara terhadap kelompok sosial ini hendak meninggalkan pesan, jika Anda mau dikawal seperti ini, Anda harus memiliki motor yang juga seperti ini dan ingat-ingatlah merek dagangnya pula.

Kedua, peraturan itu sendiri selalu mengandung celah untuk penafsiran-penafsiran baru atas konteks yang berkembang. Dengan begitu, tindakan institusi negara bisa saja legal, tetapi tidak mencerminkan keadilan. Maksudnya, keadilan itu mengacu pada nilai-nilai yang muncul dari nurani tentang kesederhanaan, kebaikan, dan kemanfaatan.

Ketiga, argumentasi formal tidaklah cukup untuk menangani kasus-kasus sosial. Itulah sebabnya penyelesaian masalah melalui komunikasi yang didasarkan atas keterbukaan dan kesetaraan, sebagaimana diusulkan oleh Jurgen Habermas, tidak pernah cukup sebab dalam komunikasi akan tersimpan kuasa aktor-aktor dalam komunikasi.

Jawaban legal-formal yang diberikan oleh aparat negara hanya semakin memperlihatkan ketidakpekaannya terhadap maksud-maksud warga. Demikian pula, pemecahan atas nama rasionalitas publik sebagaimana diungkapkan oleh John Rawls tampak hanya menyerahkan keadilan pada institusi-institusi dan mekanisme formal. Faktanya, institusi negara bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memenuhi kepentingan kelompok atau golongan.

Salah identifikasi itu terjadi karena kritik terhadap praktik hukum dan kepemerintahan tidak harus bersumber pada otoritas tertentu dan institusi formal-struktural. Padahal, pesannya jelas, kita membutuhkan praktik-praktik bernegara yang berpihak pada kerendahhatian, kesederhanaan, dan kebaikan bersama sehingga lebih bisa diterima secara luas ketimbang kepentingan golongan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar