Wallace
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
24 Agustus 2015
Ilmu dimulai dengan sifat seorang anak yang
takjub.
Dalam salah satu catatannya, Alfred Russel
Wallace—orang Inggris yang bersama Charles Darwin menemukan "teori
evolusi"—menyatakan betapa ia, bak seorang anak, terkesima melihat
kumbang. Kumbang adalah "keajaiban di tiap ladang". Siapa yang tak
mengenalnya "melewatkan sumber kesenangan dan keasyikan yang tak pernah
pudar".
Kesenangan dan keasyikan itulah yang membuat
Wallace bertahun-tahun mengamati makhluk hidup dari pelbagai jenis dan
habitat, meskipun ia bukan ilmuwan dalam arti yang lazim. Karena orang tuanya
jatuh miskin, pada umur 14 tahun ia harus putus sekolah. Kemudian ia pindah
ke wilayah Wales membantu kakaknya yang punya usaha survei pertanahan.
Di pedalaman itulah ia terpikat pada kehidupan
tumbuh-tumbuhan. Ia mulai menelaah pelbagai tanaman dengan penuh antusiasme.
"Siapa yang pernah melakukan sesuatu yang baik dan besar kalau bukan
orang yang antusias?" ia pernah berkata.
Pada usia 25 tahun ia berangkat ke rimba
Brasil, di sekitar Sungai Amazon dan Rio Negro—menjelajah lebih jauh.
"Di sini, tak seorang pun, selama ia
punya perasaan kepada yang tak tepermanai dan yang sublim, akan kecewa,"
tulisnya dari belantara tropis itu. Ia seakan-akan tak bisa berhenti menyebut
pepohonan besar yang rimbun, akar dan serat yang tergantung-gantung, burung
langka dan reptil yang cantik.
Keajaiban, kata orang, tak ada lagi di dunia
modern. Tapi pesona? Bagi Wallace, pesona itu bukan tentang sesuatu yang
magis. Ketika kemudian ia menemukan seekor kupu-kupu di Pulau Bacan,
Indonesia, ia terpukau menatap sayapnya: "...jantungku berdebar hebat,
darah naik ke kepalaku, dan aku merasa seperti akan pingsan."
Ia seperti seorang sufi yang menemukan
tanda-tanda Tuhan, atau penyair yang tergerak melahirkan sajak.
Tak mengherankan bila sejumlah seniman
merespons dengan ketakjuban baru pelbagai spesimen Wallace dalam
"Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam" di Galeri Salihara (15
Agustus-15 September)—sebuah pameran yang menarik: persentuhan seni dan ilmu.
Tapi berbeda dengan bagi perupa, dan bagi
sufi, bagi Wallace, seperti patutnya sikap ilmuwan, ketakjuban menghadirkan
alam sebagai "problem"; bukan sebagai kasih Tuhan, bukan misteri.
Problem adalah sesuatu yang dilemparkan di depan kita untuk dipecahkan.
Wallace beranjak dari pesona ke dalam tanya.
Mengapa hewan di Papua dan di Kalimantan
berbeda, meskipun kedua wilayah itu beriklim sama dengan geografi yang mirip?
Mengapa ada persamaan dunia hewan di Australia dan Papua, meskipun alam yang
satu gurun dan yang lain hutan tropis? Bukan karena keajaiban langit.
Adakah spesies X satu varietas dengan Y? Apa
beda antara "spesies" dan "varietas?" Adakah
"varietas yang permanen"? Bukankah "varietas yang
permanen" sebuah konsep yang mustahil? Bukankah dalam alam perbatasan
kabur dan dalam evolusi, perbedaan hanya aksidental?
Januari 1858, di ulang tahunnya yang ke-35,
dalam penjelajahannya Wallace sampai di Ternate; ia tinggal di sebuah rumah
rusak yang disediakan seorang Belanda penguasa pulau. Ia datang untuk
menemukan jawab. Suatu hari, dalam keadaan demam, ia terus merenungkan
problem ini: teori evolusi yang dirumuskannya mengatakan spesies berubah,
tapi bagaimana dan mengapa mereka berubah jadi spesies baru dengan kekhususan
yang jelas? Mengapa mereka bisa beradaptasi penuh dengan modus hidup yang
berbeda?
Dalam dua jam yang meriang, Wallace merumuskan
jawabannya. Dua malam berikutnya ia tuliskan lengkap teori "seleksi
alami" dengan survival of the fittest yang termasyhur itu. Ia telah
menjelaskan mekanisme perubahan spesies dalam proses evolusi.
Itu juga yang ditemukan Darwin, setelah hampir
20 tahun sebelumnya menyiapkannya—meskipun tak pernah mempublikasikannya. Satu
kebetulan yang bersejarah terjadi. Pada 1 Juli 1858, di pertemuan para
ilmuwan London, penemuan Darwin dan Wallace dibacakan. Darwin sendiri tak
bisa hadir karena berkabung atas kematian anaknya. Wallace berada nun jauh di
timur.
Beberapa penulis kemudian mengatakan Darwin
hanya mengambil alih buah pikiran Wallace. Dalam The Heretic in Darwin's Court yang ditulis Ross A. Slotten
tentang riwayat ilmuwan otodidak yang hampir mati di Ternate itu, disebutkan
Darwin memang cemas ketika ia membaca surat Wallace yang memaparkan
teorinya—cemas kalau orisinalitas teorinya diragukan. Tapi Wallace tak
berkata begitu. Baginya, pengarang The
Origin of Species itu penemu sejati teori evolusi.
Tampaknya, bagi Wallace, yang terpenting bukan
keunggulan diri. Teorinya belum tentu jawab terakhir. Ia bahkan menelaah apa
yang oleh para ilmuwan dalam zaman positivisme itu dianggap
"takhayul": pertemuan manusia dengan dunia roh. Wallace, yang
menolak jawaban agama yang mengaku paling benar tentang hidup, juga menolak
ilmu yang ogah bertanya tentang mati. Keberaniannya adalah ingin tahu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar