NU setelah Muktamar: Persatuan dalam Perbedaan
Alissa Wahid ;
Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian
Indonesia;
Pengurus LKKNU DIY
|
JAWA
POS, 10 Agustus 2015
PERTANYAAN paling populer hari-hari ini adalah
bagaimana NU pascamuktamar ke-33 di Jombang? Pertanyaan itu dilontarkan
nahdliyin tua-muda, ulama dan santri, intelektual dan awam, juga oleh
politisi dan pejabat publik. Itu menunjukkan betapa luasnya lapisan para
pemangku kepentingan NU.
Walaupun kita menyayangkan ketegangan yang terjadi,
dinamika suksesi kekuasaan yang terjadi di muktamar beberapa waktu lalu
bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah NU. Beberapa muktamar NU juga
demikian. Misalnya, Muktamar Cipasung 1994 yang diwarnai dengan panser
militer. Tradisi dinamis tersebut disumbang oleh faktor-faktor khas NU.
Karakter Egaliter
NU memiliki pengaruh politis yang besar di
negara ini. Sebab, NU mewadahi para ulama yang mewakili dan memengaruhi
penduduk berjumlah sangat besar. Seperti lebah yang ingin mendapat madu
bunga, kekuatan politis pun selalu berebut memengaruhi NU.
Di sisi lain, NU adalah sebuah paguyuban skala
masif. Kebanyakan organisasi lahir dari sebuah titik pusat, lalu disusun
sampai ke daerah. Adapun NU didirikan oleh para ulama yang masing-masing
telah memiliki umat melalui pondok pesantrennya. Para kiai itu berhimpun
membentuk sebuah perkumpulan dengan kesetaraan posisi di antara mereka. Dari
banyak titik penjuru, diikat dengan tali jagat.
Karena itu, watak egaliter dalam diri NU
sangatlah kental. Pengurus struktural NU tidak memiliki kekuasaan mutlak
kepada ribuan kiai dan pondok pesantren NU. Perbedaan strategi kerap terjadi.
Setiap kiai dan pondok pesantren memiliki independensi sekaligus mengikatkan
diri dalam perhubungan berbasis ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah
an-Nahdliyah. Keseimbangan antara independensi dan ikatan itulah yang sering
kali menjadi faktor dinamis NU.
Watak itu menjadi keunggulan sekaligus
kelemahan NU. Dalam istilah orang Betawi, NU kagak ade matinye karena amatlah
sukar mengerangkeng NU dengan watak tersebut. Namun, itu membuat energi dan
sumber daya NU tersedot untuk konsolidasi dan menjaga peran-peran strategis
NU. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misalnya, menghabiskan waktunya untuk
menjaga ikatan ideologis NU melalui strategi silaturrahim.
Peran Strategis NU
Sebagai jam’iyyah, NU mengemban beberapa peran
strategis yang tidak tergantikan. Peran sosial kemasyarakatan NU sangat
signifikan terkait dengan jamaahnya yang besar. Begitu pula, peran NU sebagai
salah satu penyangga bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan, saat ini, dengan situasi geopolitik di
Timur Tengah, NU menjadi model organisasi kemasyarakatan Islam yang
dibutuhkan masyarakat dunia. Dan, untuk menjalankan itu semua, NU harus
membangun organisasi yang solid dan progresif.
Di tangan NU, kemaslahatan puluhan juta
nahdliyin bergantung. Berbagai isu kesejahteraan (kemiskinan, pendidikan,
kesehatan) perlu dikelola. NU memiliki tanggung jawab besar untuk
mengadvokasi kepentingan kaum nahdliyin dalam kebijakan pembangunan Indonesia.
Ditinggalkannya ekonomi agraria oleh negara
saat ini berdampak besar bagi warga NU yang sebagian besar tinggal di desa.
Ketimpangan kesejahteraan akibat pemiskinan itu jelas mengena kepada warga
NU.
Desa yang menjadi basis komunitas NU telah
ditinggalkan banyak warganya. Di sini NU ditantang untuk mengembangkan
strategi mengelola warga NU migran di kampung-kampung perkotaan. UU Desa
memberikan peluang untuk menghidupkan desa. Tetapi, NU memiliki PR besar
untuk mempersiapkan jam’iyyah dan jama’ah untuk memanfaatkannya.
Pesantren sebagai institusi pendidikan dan
institusi sosial mestinya juga mendapat perhatian besar dari NU. Begitu pula
halnya dengan lembaga pendidikan yang lain di kalangan NU.
Musyawarah Kaum Muda NU di sela Muktamar Ke-33
NU yang melibatkan 2000-an nahdliyin menjadi kebangkitan kaum muda untuk
berkhidmat kepada NU. Gerakan tersebut perlu dikapitalisasi untuk menjawab
tantangan zaman yang berubah, apalagi untuk merespons peluang Bonus
Demografi.
Dalam pandangan NU, Indonesia adalah mu’ahadah
wathoniyah (kesepakatan kebangsaan). Karena itu, NU dituntut untuk terus
memantapkan peran strategis itu, apalagi menghadapi sekelompok masyarakat
muslim yang menghendaki agar Indonesia diubah menjadi sebuah negara Islam.
Politik NU, menurut KH Mustofa Bisri (Gus
Mus), adalah politik kebangsaan, sedangkan politik praktis dan sesaat adalah
terlalu kecil untuk NU. Lebih penting dari politik, kata Gus Dur, adalah
kemanusiaan.
Kesadaran itu akan membantu NU untuk lepas
dari jebakan politik praktis yang melulu soal kekuasaan dan akses sumber daya
dan istikamah kepada politik kebangsaan yang terkait dengan kemajuan bangsa.
Bukan hanya Indonesia, masyarakat dunia pun
saat ini sedang mengharapkan kiprah NU sebagai alternatif terhadap wajah
beberapa kelompok Islam yang penuh kekerasan dan ketertutupan.
Dengan tantangan zaman dan peran strategis NU
yang demikian, anggapan menjaga NU berarti menjaga Indonesia menjadi relevan.
Dibutuhkan peran semua pihak untuk menyelamatkan NU stelah pascamuktamar
ke-33.
Dibutuhkan kearifan para ulama untuk mengedepankan kepentingan NU,
baik jam’iyyah dan jama’ah, dalam jangka panjang, bukan hanya untuk
kepentingan lima tahunan.
Dibutuhkan para pengurus struktural NU untuk
berbesar hati, tidak menghabiskan energi berebut kekuasaan di puncak struktur
kepengurusan. Para ulama perlu meneladankan wujud ikhtilaf ummat rahmah dengan membangun persatuan dalam perbedaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar