Lidah
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
30 Agustus 2015
”Cuaca selama
penerbangan sangat baik. Jarak pandang 8 kilometer.” Demikian pengumuman yang
diberikan pilot yang menerbangkan saya dari kota Singa ke ibu kota tercinta
ini. Sebagai orang yang keder terbang, kalimat cuaca sangat baik itu bak
sebuah harapan yang menenangkan batin.
Otak
Sejujurnya lebih
menenangkan daripada doa yang selalu saya panjatkan sebelum terbang. Karena
kalau berdoa itu tak ada reaksi duniawinya, tetapi harus ditanggapi dengan
reaksi iman. Nah, kalau seandainya iman itu ada indikator nilai normalnya
seperti pada hasil pemeriksaan laboratorium, maka nilai iman saya itu di
bawah normal.
Makanya, saya ini
lebih percaya kalau ada suara duniawinya sehingga saya jadi yakin karena bisa
dimengerti oleh otak. Pendengaran duniawi itu seperti jaminan kehidupan.
Rasanya seperti ada sesuatu yang bisa dipegang.
Apa yang seketika
terlintas di kepala seandainya Anda mendengar kalimat cuaca sangat baik?
Kalau saya, sangat baik itu berarti tak ada yang akan mengganggu selama
perjalanan, bahkan hal sekecil apa pun juga.
Kalau dimisalkan
ujian, hasil yang sangat baik itu mencerminkan nilai yang sudah pasti tidak
ada merahnya. Kalaupun angkanya berwarna biru, saya pastikan yang biru itu
tidak ada angka enam atau tujuhnya. Jadi luar biasa.
Kalau sehabis
melakukan pemeriksaan kesehatan, baik itu fisik maupun laboratorium, dan dari
mulut seorang dokter didendangkan kalimat sangat baik hasilnya, maka di
pikiran saya, ya... tidak ada yang tidak baik. Semuanya beres dan tokcer.
Jantungnya sehat, tekanan darah normal, paru-paru dan semua organ yang
diperiksa apik dan menawan.
Maka biasanya, mereka
yang mendengar keputusan hasilnya sangat baik, hatinya akan senang sekali.
Hasil dan rasa senang itu melahirkan keyakinan yang memberi jaminan rasa
tenang dan tenteram untuk melangkah ke depan.
Tak berapa lama
kemudian pesawat lepas landas. Saya berangkat pukul 10.30 malam. Karena sudah
diyakinkan dengan pengumuman cuaca sangat baik, saya sedikit lebih rileks dan
menikmati pemandangan keluar yang meski gelap, taburan lampu-lampu yang
terlihat kecil juga menarik untuk dilihat.
Iman
Kemudian tak lebih
dari lima menit setelah saya bisa merasa rileks, pesawat mulai berguncang.
Ah... saya pikir ini baru akan menuju ketinggian jelajah yang sesuai. Mungkin
pesawat sedang menembus awan.
Pemikiran positif itu
sama sekali tidak membantu karena ternyata pesawat berguncang dari derajat
rendah sampai yang membuat saya deg-degan tanpa henti, sampai saya tiba di
bandara udara Jakarta ini. Selama perjalanan yang menggelisahkan itu, saya
merasa sungguh kesal karena merasa sudah dikacangi oleh pengumuman dari mas
pilot.
Saya tak pernah tahu
bagaimana menjalankan sebuah pesawat, saya juga tidak tahu seluk-beluk soal
cuaca, soal mesin dengan teknologi canggih yang bisa mendeteksi ini dan itu,
guncangan ini dan guncangan itu.
Saya hanya penumpang
yang sederhana, duduk dan memercayai bahwa dalam satu jam dan sekian menit
akan tiba dengan selamat dan tidak merasa dikacangi sampai tujuan. Saya juga
tak pernah tahu, dari mana seorang pilot bisa memberi pengumuman cuaca sangat
baik, tetapi pada kenyataannya jauh dari baik.
Bagaimana seorang
dokter, guru, atau dosen dapat mengatakan hasil tes dan ujian seseorang
sangat baik, tetapi nilai yang satu di bawah normal, satu lagi di atas
normal. La wong namanya juga sangat baik, ya… tidak ada buruknya, bukan?
Bahkan, ketika
guncangan mulai terasa lebih berat, tak ada tanda kencangkan ikat pinggang
dinyalakan. Kemudian saya mencolek teman saya. ”Tenang aja, bro. Itu berarti
menurut pilotnya, guncangannya masih biasa. Kagak perlu ngiketin pinggang.”
Terus ia melanjutkan menonton tayangan film dan tak memedulikan kekhawatiran
yang saya rasakan.
Mungkin teman saya ini
tenang karena ia memilih memercayai imannya ketimbang saya yang lebih
memercayai pengumuman dari manusia dengan lidahnya yang tak bertulang.
Sementara di maskapai penerbangan lainnya yang pernah saya tumpangi,
guncangan yang minimal saja sudah membuat tanda kencangkan ikat pinggang itu
dinyalakan.
Saya jadi bertanya
dalam hati, apakah keselamatan saya selama terbang bergantung pada iman
pilotnya? Apa peraturannya berbeda? Atau bergantung pada tingkat kekederan
yang diatasnamakan menjaga keselamatan penumpang?
Peristiwa selama satu
jam lebih itu tidak menyurutkan saya untuk terbang, tetapi menyurutkan saya
untuk memercayai mulut dengan lidah yang tak bertulang itu. Kok ya...
beberapa jam sebelum terbang, saya makan malam bersama beberapa teman. Kami
berdiskusi tentang seorang teman yang seperti pengumuman si mas pilot.
Meyakinkan di depan, tetapi mengguncang kehidupan orang di belakang.
Tentu saya tak akan
bersusah payah mencari sesuatu yang tak masuk akal seperti lidah yang
bertulang. Yang harus saya latih adalah menjalani kehidupan dengan iman di
tengah lidah tak bertulang itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar