Prasyarat Mental Atasi Krisis
Yudi Latif ;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
25 Agustus 2015
Peringatan Hari
Kemerdekaan Indonesia mestinya memantulkan semangat optimistis jiwa pemenang.
Namun, memburuknya perekonomian dan kegaduhan politik yang tak kunjung reda
membuat cuaca kebatinan bangsa ini diliputi kabut pesimistis. Suka atau
tidak, kita tidak bisa menutup mata akan kenyataan adanya berbagai krisis
yang mengancam kehidupan bangsa. Kita tidak bisa tenang-tenang saja,
seolah-olah keadaan bangsa ini tak ada masalah, segalanya on the right track.
Selain krisis ekonomi,
seperti ditandai dengan merosotnya nilai tukar rupiah, jatuhnya Indeks Harga
Saham Gabungan, jatuhnya harga komoditas andalan, menurunnya penerimaan
pajak, dan ancaman pemutusan hubungan kerja dalam skala masif, kita juga
dihadapkan pada ancaman lima macam krisis yang ditengarai Bung Karno pada
1952. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi
kepada demokrasi. Kedua, krisis alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara
berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag
(kewibawaan otoritas).
Kelima macam krisis
itu seakan berdaur ulang mengancam kehidupan demokrasi hari ini.
Bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan oleh gerakan reformasi
dengan keringat dan darah. Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik
dirasa kurang berkhidmat bagi kepentingan orang banyak, aparatur negara belum
mampu menegakkan hukum dan ketertiban, politisi dan pejabat kurang
memperhatikan visi dan wawasan perjuangan, serta perilaku politik dan
birokrasi tercerabut dari etika. Orang-orang yang menggenggam otoritas saling
bertikai, berlomba menghancurkan kewibawaan negara.
Lebih buruk lagi, di
titik genting krisis multidimensi ini, penyelenggara negara dan masyarakat
politik justru kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung jawab. Kepemimpinan
negara dan elite politik hidup dalam penjara narsisme yang tercerabut dari
suasana kebatinan rakyat. Elite politik lebih tertuju pada upaya memanipulasi
pencitraan, bukan mengelola kenyataan, lebih mengutamakan kenyamanan diri
ketimbang kewajiban memajukan kesejahteraan sosial.
Situasi itulah yang
melahirkan krisis kepemimpinan. Pemimpin ada kalau mereka hadir dalam alam
kesadaran dan penderitaan rakyat. Bung Karno mengatakan, ”Mereka seharusnya
belajar bahwa seorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke
dalam lingkungan mereka.... Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin
politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di
atas rakyat.” Secara retoris, Bung Karno juga mempertanyakan, ”Berapa
orangkah dari alam pemimpin Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar
’rakyati’ seperti dulu, masih benar-benar ’volks’ seperti dulu?”
Dengan tercerabut dari
lumpur kehidupan rakyat, para penyelenggara negara cenderung mengembangkan
sikap defensif untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Misalnya saja, kita
mendengar ada pejabat yang menyatakan jatuhnya nilai rupiah adalah baik bagi
perekonomian nasional.
Lebih dari itu, ketika
dihadapkan pada berbagai persoalan pelik yang menuntut semangat solidaritas
dan tanggung jawab bersama, kepedulian politik kita justru hanya berhenti
pada persoalan bagi-bagi kekuasaan. Kegaduhan politik hanya di sekitar
persoalan siapa, partai apa, mendapatkan apa. Belakangan, indikasi
pertarungan kepentingan mulai merobek kekompakan kabinet. Padahal, dalam situasi
krisis, mentalitas yang harus ditumbuhkan bukanlah eker-ekeran
mempertentangkan hal remeh-temeh, melainkan mentalitas gotong royong; berat
sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Berbeda dengan ledakan
harapan banyak orang, pemerintahan demokratis sering dihadapkan pada aneka
masalah dan kekecewaan yang sulit diatasi. Karena itu, betapapun legitimasi
kinerja memainkan peranan penting bagi kelangsungan pemerintahan demokratis,
yang lebih menentukan bukanlah kesanggupan mereka menuntaskan masalah itu, melainkan
cara pemimpin politik menanggapi ketidakmampuannya dengan ketulusan dan
kelapangan jiwa melibatkan partisipasi segenap elemen bangsa.
Untuk keluar dari
krisis menuju politik harapan, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki,
tradisionalisme, apatisme, menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar.
Tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan
kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Tahap
kedua, untuk mencapai sesuatu, pemimpin mendominasi dan memarjinalkan orang
lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak
membuat rakyat berdaya, tetapi justru membuatnya apatis.
Pada tahap keempat,
tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan
sikap optimistis dalam situasi krisis, dengan cara memahami
kesalingtergantungan realitas serta kesediaan bekerja sama menerobos
batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi
inspirasi yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga
menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk
merealisasikan kebajikan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar