Khitah Islam Nusantara
Ma’ruf Amin ; Rais Aam Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS,
29 Agustus 2015
Akhir-akhir ini Islam
Nusantara jadi wacana publik. Tak hanya di kalangan warga Nahdlatul Ulama (nahdliyin), tetapi seluruh masyarakat
Indonesia ikut memperbincangkannya. Seolah-olah ada anggapan bahwa Islam
Nusantara adalah hal baru. Hal ini wajar karena Nahdlatul Ulama (NU) adalah
ormas terbesar bangsa ini. Jika terjadi perubahan di dalam organisasi ini,
pengaruhnya segera dirasakan oleh seluruh negeri. Karena itu, bentuk
apresiasi publik seperti ini sangatlah positif, baik bagi NU maupun bagi
negeri ini.
Sebagai tema Muktamar
NU 2015 di Jombang yang digelar beberapa waktu lalu, Islam Nusantara memang
baru dideklarasikan. Namun, sebagai pemikiran, gerakan, dan tindakan, Islam
Nusantara bukanlah hal baru bagi kita. Islam Nusantara adalah Islam
Ahlussunnah Waljamaah al-Nadliyyah. Mengapa di sini perlu penyifatan
al-Nahdliyyah? Jawabnya adalah karena banyak kalangan lain di luar NU yang
juga mengklaim sebagai pengikut Ahlussunnah
Waljamaah (disingkat Aswaja), tetapi memiliki cara pikir, gerakan, dan
amalan yang berbeda dengan NU.
Negara Islam di Irak
dan Suriah (NIIS) pun mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah Waljamaah, tetapi
sepak terjang mereka selama ini sangat ditentang NU. Karena itu, Islam
Nusantara adalah cara dan sekaligus identitas Aswaja yang dipahami dan
dipraktikkan para mua’sis (pendiri) dan ulama NU. Islam Nusantara adalah cara
proaktif warga NU dalam mengidentifikasi kekhususan-kekhususan yang ada pada
diri mereka guna mengiktibarkan karakteristik-karakteristik ke-NU-an.
Karakteristik-karakteristik ini bersifat peneguhan identitas yang distingtif,
tetapi demokratis, toleran, dan moderat.
Tiga pilar
Pada dasarnya ada tiga
pilar atau rukun penting di dalam Islam Nusantara. Pertama, pemikiran (fikrah); kedua, gerakan (harakah); dan ketiga, tindakan nyata (amaliyyah/amaliah).
Pilar pertama,
pemikiran, meliputi cara berpikir yang moderat (tawassuth). Artinya, Islam Nusantara berada dalam posisi yang
tidak tekstualis, tetapi juga tidak liberal. Tekstualis dimaksud adalah
berpikir secara kaku pada nash (al-jumûd
al-manqûlãt) sebagaimana yang terjadi pada kaum Wahabi di dalam memahami
teks-teks Al Quran. Salah satu pernyataan Imam al-Qarafi, ulama ahli usul
fikih, menyatakan jika ”al-jumûd 'alã
al-manqûlãt abadan dalãl fi al-din wa jahl bi maqasidihi”, pembacaan yang
statis (tanpa tafsir) penafsiran pada hal-hal yang dalil-dalil yang selamanya
adalah kesesatan di dalam agama dan kebodohan tentang maksud-maksud agama.
Liberal dimaksud adalah cara berpikir yang bebas tanpa mengindahkan
metodologi yang disepakati di kalangan ulama yang dijadikan pegangan berpikir
di kalangan NU.
Pilar kedua adalah
gerakan. Artinya, semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan
pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan
perbaikan-perbaikan (reformasi) untuk jamiah (perkumpulan) dan jemaah (warga)
yang tak hanya didasarkan pada tradisi, tetapi juga inovasi. Reformasi Islam
Nusantara adalah reformasi menuju tahapan yang lebih baik dan secara
terus-menerus. Jadi, posisi Islam Nusantara bukan hanya mengambil hal yang
baik saja (al-akhdh bi al-jadid
al-aslah), karena istilah mengambil itu pasif, tetapi juga melakukan
inovasi, mencipta yang terbaik dan terbaik. Prosesnya terus-menerus. Inovasi
pun tak cukup, juga harus dibarengi dengan sikap aktif dan kritis.
Pilar ketiga adalah
amaliah. Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU menekankan bahwa segala
hal yang dilakukan nahdliyin harus lahir dari dasar pemikiran yang
berlandaskan pada fikih dan usul fikih; disiplin yang menjadi dasar kita
untuk menyambungkan amaliah yang diperintah Al Quran dan Sunah Nabi. Dengan
cara demikian, amaliah Islam Nusantara itu sangat menghormati pada
tradisi-tradisi serta budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah
masyarakat. Tradisi atau budaya yang di dalam usul fikih disebut dengan ’urf
atau 'ãdat tidak begitu saja diberangus, tetapi dirawat sepanjang tidak
menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan demikian inilah
pada dasarnya yang dilakukan Wali Songo dan kemudian diwariskan para pendiri
NU kepada kita semua.
Penanda Islam Nusantara
Ada lima penanda Islam
Nusantara. Pertama, reformasi (islahiyyah).
Artinya, pemikiran, gerakan, dan amalan yang dilakukan para nahdliyin selalu
berorientasi pada perbaikan. Pada aspek pemikiran, misalnya, selalu ada
perkembangan di sana (tatwir al-fikrah),
dan karena itu, pemikiran Islam Nusantara adalah pemikiran yang ditujukan
untuk perbaikan terus. Cara berpikirnya adalah tidak statis dan juga tidak
kelewat batas.
Kedua, tawazuniyyah, yang berarti seimbang di
segala bidang. Jika sebuah gerakan diimplementasikan, maka aspek keseimbangan
juga harus dijadikan pertimbangan. Tawazunniyyah ini menimbang dengan
keadilan.
Ketiga, tatawwu’iyyah, yang berarti sukarela
(volunterisme). Satu hal yang harus dipegang dalam kesukarelaan ini adalah
dalam menjalankan pemikiran, gerakan dan amalan, nahdliyin tidak boleh
memaksakan pada pihak lain (lã ijbãriyyah). Artinya, orang NU harus
memperhatikan hak-hak orang di luar NU. Secara internal, warga NU juga tak
boleh bersikap fatalistik (jabbãriyyah), harus senantiasa berusaha dan
berinovasi menegakkan tiga pilar Islam Nusantara di atas. Dengan kata lain,
tidak ada pemaksaan, tetapi bukan tidak berbuat apa-apa.
Keempat, santun (akhlaqiyyah), yaitu segala bentuk
pemikiran, gerakan, dan amalan warga Islam Nusantara dilaksanakan dengan
santun. Santun di sini berlaku sesuai dengan etika kemasyarakatan dan
kenegaraan serta keagamaan.
Kelima, tasamuh, yang berarti bersikap
toleran, respek kepada pihak lain. Sikap toleran ini tidak pasif, tetapi
kritis dan inovatif. Dalam bahasa keseharian warga NU adalah sepakat untuk
tidak sepakat.
Secara konseptual,
kelima penanda Islam Nusantara tersebut mudah diucapkan, tetapi sulit
direalisasikan. Sulit di sini berbeda dengan tidak bisa melaksanakan.
Misalnya, sikap Islam Nusantara dalam menyikapi dua arus formalisme keagamaan
dan substansialisasi keagamaan berada di tengah. Kedua arus boleh diperjuangkan
selama tidak menimbulkan konflik. Prinsip yang harus dipegang dalam hal ini
adalah kesepakatan (konsensus), demokratis, dan konstitusional.
Ijtihad
Hal penting lain yang
ingin penulis sampaikan adalah persoalan ijtihad. Apakah model ijtihad Islam
Nusantara? Ijtihad Islam Nusantara adalah ijtihad yang selama ini
dipraktikkan oleh NU. Prinsipnya, Islam tak hanya terdiri pada aspek yang
bersifat tekstual, tetapi juga aspek yang bersifat ijtihadiyah. Ketika kita menghadapi masalah yang tak ada di dalam
teks, maka kita menganggap masalah selesai, artinya tidak dicarikan jawaban.
Islam Nusantara tidak
berhenti di sini, tetapi melihat dan mengkajinya lebih dulu lewat
mekanisme-mekanisme pengambilan hukum yang disepakati di kalangan nahdliyin.
Hasil dari mekanisme metodologi hukum ini (proses istinbãt al-hukm) harus dibaca lagi dari perspektif Al Quran dan
Sunah. Mekanisme metodologi hukum yang biasa dipakai nahdliyin di sini
misalnya adalah maãlahah (kebaikan).
Ilustrasinya, jika
sebuah amalan tak ada di rujukan tekstualnya, tetapi ia membawa kebaikan di
tengah masyarakat, hal itu justru harus dilestarikan: ”idhã wujida nasssS fathamma masslahah, idhã wujida al-maslahah
fathamma shar' al-Lãh—jika ditemukan teks, maka di sana ada kebaikan, dan
jika ditemukan kebaikan, maka di sana adalah hukum Allah”. Ini uraian
singkat dan pokoknya saja. Pembahasan lebih lanjut akan dilakukan di ruang
yang lebih luas.
Pada akhir tulisan
pendek ini saya ingin mengatakan Islam Nusantara harus lebih digali lagi
sebagai perilaku bangsa agar tidak ada lagi hal-hal yang tidak kita inginkan
justru terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar