Berlomba Merawat Indonesia
Jazuli Juwaini ; Ketua Fraksi PKS DPR RI
|
KORAN
SINDO, 27 Agustus 2015
Apa sikap terbaik kita
dalam memaknai 70 tahun kemerdekaan Indonesia? Jika pertanyaan itu ditanyakan
kepada anak bangsa yang mencintai negeri ini, tentu saja jawabnya adalah
syukur.
Tidak ada negara
sebesar Indonesia dalam kebinekaan (suku, budaya, adat, agama, bahasa, dan
sebagainya). Tidak ada satu pun negara yang dapat menandingi kompleksitas
kemajemukan Indonesia. Ajaibnya, negeri yang demikian majemuk (plural) ini
memilih untuk bersatu dalam sebuah nation bernama Indonesia, padahal ada
seribu satu alasan untuk kita tidak bersatu dan bercerai berai.
Untuk menyatukan
potensi kebangsaan yang demikian besar, pastilah negeri ini memiliki konsepsi
kebangsaan yang besar, konsepsi yang hanya bisa lahir dari tokoh-tokoh besar
dengan kapasitas jiwa yang besar. Apa makna legacy itu bagi kita saat ini?
Sebagai bangsa kita harus senantiasa berpikir dan berjiwa besar, selalu
optimistis dan bergerak maju, bukan manusia yang pesimistis, kerdil, dan
minder.
Meski demikian, kita
tidak menutup mata bahwa bangsa besar ini hari-hari ini sedang didera banyak
masalah di bidang ekonomi, sosial budaya, politik, keamanan, dan lain-lain.
Sayangnya, bangsa ini belum menampakkan kapasitas potensialnya untuk
menyelesaikan masalah dengan konsepsi besar yang kita miliki tersebut.
Menyambut Ajakan Panglima TNI
Secara sengaja Fraksi
PKS mengundang Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam Seminar Kebangsaan
Fraksi PKS DPR dengan tema ”Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia,” Rabu
(26/8) di Kompleks DPR RI Senayan untuk memberikan pencerahan kepada
masyarakat, khususnya kepada kami di PKS.
Dalam seminar
tersebut, Panglima TNI secara jernih mengulas anatomi masalah kebangsaan kita
sekaligus menunjukkan modalitas yang dimiliki bangsa ini untuk
menyelesaikannya. Panglima mengajak hadirin untuk merefleksi betapa hari ini
kita kehilangan karakter sebagai sebuah bangsa yang santun dan gotong-
royong. Betapa sulit sesama anak bangsa saling memuji, sebaliknya betapa
sering kita dengar saling menuduh dan menyalahkan.
Bahkan di antara
lembaga-lembaga negara—pernah satu masa—kehilangan kepercayaan (trust )
merujuk konflik antara KPK vs Polri, Pemerintah vs DPR, yang pernah mencuat.
Panglima juga mengajak kita untuk menengok kembali nilai Pancasila yang
sebenarnya memberikan alas yang kokoh bagi kebangsaan kita.
Sila pertama,
Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan bahwa apa pun agamanya bangsa ini adalah
bangsa ber-Tuhan dengan Tuhannya masing- masing. Pun sila ini lahir dari
konsensus dan kebesaran jiwa tokoh umat Islam yang mayoritas, yang mengalah
untuk melepas kalimat ”dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi
pemuluknya,” demi menghayati bahwa bangsa ini adalah bangsa yang majemuk.
Panglima juga memberi
penekanan bahwa sila-sila Pancasila merupakan jalinan yang harus diamalkan
sejak sila pertama hingga mampu mewujudkan sila kelima keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia (kesejahteraan). Beliau memberikan penekanan pada
sila keempat, di mana demokrasi kita dibangun di atas aras musyawarah.
Sayang sekali, tradisi
permusyawaratan (musyawarah) itu kini mulai kikis—untuk tidak mengatakan
hilang—termasuk di lembaga perwakilan (DPR). Penulis berbesar hati memberikan
apresiasi yang tinggi kepada Panglima TNI yang mampu memotret permasalahan
kebangsaan ini secara tepat dan memberikan solusi yang juga tepat.
Dan, gayung pun
bersambut, PKS memiliki cara pandang yang sama tentang kebangsaan Indonesia.
Apa yang hilang dari bangsa ini adalah karakter Indonesia yang sejatinya
termanifestasi secara baik dalam falsafah negara: Pancasila serta konstitusi:
UUD 1945. Bersama semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan konsepsi NKRI sebagai
platform kebangsaan ia teruji mampu menopang kebesaran Indonesia hingga hari
ini.
Kita lupa (atau
sengaja melupakan) bahwa kunci penyelesaian masalah kita ada pada konsepsi
besar yang diwariskan oleh pendiri bangsa ini, yang pada intinya itulah
cermin karakter dan kepribadian kita. Maka itu, dalam rangka Refleksi 70
Tahun Kemerdekaan Indonesia ini, penulis mengajak kita semua untuk merevitalisasi
kebanggaan, pemahaman, dan praktik kita atas platform kebangsaan kita agar
terwujud Indonesia yang berkarakter, bermartabat, adil, dan sejahtera.
Indonesia berkarakter
dan bermartabat adalah Indonesia yang punya jati diri atau kepribadian khas
sebagai bangsa dalam berbagai bidang: ideologi, sosial budaya, ekonomi,
politik, dan hankam. Kita kembalikan karakter asal kita sebagai bangsa yang
religius, beradab, jujur, sopan santun, bertanggung jawab, penuh hikmat/
kebijaksanaan, kekeluargaan, gotong-royong.
Kita kembalikan
karakter bangsa yang mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik,
berkarakter dalam sosial budaya, bukan bangsa yang membebek/mengekor bangsa
lain, atau dalam bangsa yang pasrah dalam pengaruh kultur bangsa lain yang
menghegemoni, sebagaimana pernah disitir oleh Bung Karno dulu. Sementara
Indonesia adil sejahtera adalah manifestasi tujuan kita bernegara sebagaimana
termaktub dalam konstitusi.
Berlomba
Hari ini, jujur harus
kita akui, betapa pun sebagai bangsa kita merayakan 70 tahun kemerdekaan,
tapi realitasnya kita masih terkapling-kapling dan terkotak- kotak dalam
kepentingan pribadi, kelompok, golongan, partai, dan seterusnya. Kadangkala
kita terlalu bersemangat mengedepankan ego sehingga lupa bahwa kita berjuang
untuk Indonesia yang sama.
Sebagai bangsa yang
mewarisi konsepsi kebangsaan yang demikian hebat sudah seharusnya kita
kembali menapaki apa yang seharusnya untuk bangsa ini, dan jika ada seruan
yang mewakili itu semua, ialah : mari kita berlomba merawat Indonesia. Tentu
seruan itu haruslah berangkat dari kecintaan kita kepada negeri ini,
berangkat dari ketulusan hati untuk mengabdikan diri pada Indonesia yang kita
cinta.
Tanpa motif itu, ia
akan kehilangan makna dan elan vital - nya. Ketika kita berangkat dari cara
pandang yang sama, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk mengklaim republik
ini, mengklaim kelompoknya paling berjasa, mengklaim partainya paling
nasionalis, sambil memandang rendah dan sebelah mata pihak/ kelompok lainnya.
Dengan semangat yang sama, tentu tidak akan ada saling tuduh, saling tuding,
dan saling menyalahkan di antara anak bangsa.
Sebaliknya, yang
muncul adalah saling memuji, saling mendukung, dan saling menguatkan satu
sama lain. Tentu bukan berarti tidak kritik sama sekali, tapi kritik
disampaikan secara santun dan beradab.
Penulis merasakan
inilah yang selama ini hilang dari bangsa kita, terutama setelah keran
kebebasan (demokrasi) terbuka lebar pascareformasi. Pilihan di tangan kita,
akankah kita bisa menjadi bangsa yang berkarakter dan bermartabat untuk
Indonesia adil dan sejahtera? Jawabnya: harus! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar