Tiongkok dan Transfer Teknologi
Ibrahim Fatwa Wijaya ; Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Sebelas Maret,
Surakarta
|
JAWA
POS, 28 Agustus 2015
BEBERAPA waktu lalu media ramai membicarakan
kelanjutan proyek kereta api cepat Jakarta–Bandung. Tampaknya, konsorsium
investor asal Tiongkok dan Jepang menjadi dua kelompok yang berminat serius
menggarap proyek tersebut.
Tiongkok mengajak BUMN Indonesia membentuk
joint venture untuk menggarap proyek tersebut dengan porsi saham 40 persen
untuk mereka dan 60 persen tuan rumah. Tiongkok juga berjanji melatih tenaga
ahli dan tenaga teknis untuk proyek kereta super cepat tersebut.
Itu masih ditambah lagi dengan janji Negeri
Panda tersebut mendirikan pabrik perakitan kereta cepat dan produksi komponen
kereta cepat. Diprediksi, 40 ribu karyawan akan tersedot untuk melaksanakan
semua itu.
Sebenarnya sangat menarik mengikuti
perkembangan negeri yang beribu kota di Beijing tersebut. Mengutip buku yang
dieditori Prof Carl Pegels pada 1987 yang berjudul Management and Industry in China, dapat disimpulkan bahwa sebelum
economic readjustment diberlakukan
di Tiongkok pada 1978, industri di negeri tersebut memiliki masalah. Antara
lain, kreativitas dan inovasi perusahaan tidak berkembang, tidak ada
perubahan desain produk, dan tidak ada quality
control karena perusahaan hanya berfokus kepada kuantitas produk.
Maklum, dahulu semua keputusan bisnis
ditentukan pemerintah. Itu masih ditambah dengan peralatan dan mesin yang
kuno, produksi yang tidak efisien, serta branding
dan layanan purna jual yang lemah.
Menariknya, perusahaan multinasional tetap saja
tertarik berinvestasi di negeri berpenduduk terbanyak di dunia itu karena
tenaga kerja murah. Pada akhirnya, terjadilah booming investasi asing di sana pada 1992.
Booming tersebut disebabkan
jumlah penduduk Tiongkok sangat besar dan perusahaan tertarik atas
insentif-insentif yang diberikan pemerintah setempat. Pada 2000, mengutip
tulisan Prof Yadong Luo dari Miami University dalam bukunya, MNCs in China: Benefiting from Structural
Transformation, maraknya investasi asing memberikan dampak positif bagi Tiongkok,
khususnya dalam hal transfer teknologi.
Contoh dalam hal ini adalah terjadinya
hubungan yang menguntungkan kedua pihak, antara Nestle dan Tiongkok. Tiongkok
menginginkan transfer teknologi dari Nestle agar bisa meningkatkan jumlah
produksi susu dan susu menjadi lebih awet.
Keinginan tersebut bisa terpenuhi karena
Nestle juga tertarik dengan murahnya tenaga kerja Tiongkok, permintaan yang
tinggi, serta supply bahan mentah
dari negara yang secara demografi didominasi etnis Han itu.
Dapat disimpulkan bahwa Tiongkok sadar untuk
bisa meningkatkan daya saing di pasar global membutuhkan transfer pengetahuan
dan transfer teknologi dari perusahaan yang jauh lebih maju. Di sinilah peran
penting pemerintah bisa berjalan.
Pemerintah Tiongkok mencoba menarik investor
dengan memberikan insentif bagi yang mau berinvestasi di sektor high technology. Insentif-insentif
tersebut, antara lain, potongan pajak dan potongan biaya pertanahan.
Bahkan, apabila me-reinvestasikan profitnya di
Tiongkok, perusahaan tersebut akan menikmati 40 persen pengembalian pajak.
Hebatnya, 100 persen pengembalian pajak itu khusus untuk investasi di bidang
high technology.
Saat ini Tiongkok menjelma menjadi sebuah
kekuatan besar, negara pengeskpor terbesar di dunia sekaligus negara
manufaktur terbesar di dunia. Pertanyaannya, apakah semua kemajuan itu semata
terjadi karena transfer pengetahuan dan teknologi?
Menurut hemat penulis, masih ada dua faktor
penting lain yang menjadikan Tiongkok tidak terbendung. Dan, dua faktor
tersebut tidak mudah ditiru oleh negara lain, termasuk Indonesia.
Faktor penting pertama adalah lokasi yang
terdiri atas negara dan cluster. Faktor negara bisa dinikmati semua
perusahaan yang beroperasi di negara tersebut. Cluster hanya dinikmati
perusahaan yang beroperasi di cluster tertentu.
Dua faktor itu menjadi menarik apabila
dihubungkan dengan tiga level perusahaan di Tiongkok, yaitu founding stage, growth stage dan mature stage. Daya saing perusahaan
yang berada di founding stage masih rendah dan hanya mengandalkan faktor
negara, misalnya bahan pokok yang melimpah serta tenaga kerja murah.
Sedangkan perusahaan yang berada di level growth
stage dan mature stage sudah
bisa menggabungkan benefit yang didapat dari faktor negara dan cluster.
Faktor kedua adalah tenaga kerja murah. Sebab,
jumlah penduduk Tiongkok sangat besar. Itu masih ditambah faktor semangat
kerja.
Umumnya, pekerja dari daerah pedesaan memiliki
semangat kerja lembur. Mereka mengumpulkan uang bertahun-tahun di kota yang
akan digunakan untuk membuka bisnis kecil-kecilan di daerah asal ketika
kembali nanti. Para pekerja tersebut juga mampu hidup dengan standar minimal.
Dapat disimpulkan bahwa untuk bisa tampil di
panggung internasional, belanja riset dan pengembangan (r&d) perlu
ditingkatkan. Banyak perusahaan di Indonesia terkendala oleh belanja r&d
dikarenakan keterbatasan sumber daya dan juga terkait dengan masalah
pelaporan keuangannya.
Apabila kita melihat standar akuntansi versi
International Financial Reporting Standards, bisa kita simpulkan bahwa
perusahaan yang baru berdiri atau perusahaan kecil agak ciut nyali
membelanjakan uangnya untuk kepentingan riset.
Mengapa? Semua uang yang dikeluarkan untuk
riset akan dicatat sebagai biaya dan tentunya mengurangi profit di laporan
laba rugi. Itu terjadi karena benefit riset belum jelas pada masa depan.
Berbeda dengan tahapan pengembangan yang sudah
jelas kelayakannya dan benefit di masa depannya, hal tersebut boleh dicatat
sebagai aset. Oleh karena itu, pemerintah perlu memikirkan bagaimana
meningkatkan daya saing bangsa di tengah-tengah minimnya belanja r&d
dengan jalan memastikan berjalannya transfer teknologi dan pengetahuan dari
investasi asing yang masuk Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar