Ancaman Tiongkok
Anton Hendranata ;
Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia
(Tbk)
|
KOMPAS,
24 Agustus 2015
Devaluasi yuan sungguh mengagetkan dan tidak
terduga. Hanya dalam dua hari, mata uang "macan Asia" ini melemah
terhadap dollar AS sekitar 3,3 persen.
Daya ledak yuan ini begitu dahsyat, hampir
semua mata uang dunia jatuh lunglai dengan depresiasi yang begitu tajam.
Dalam waktu singkat, sebagian besar mata uang, termasuk rupiah, berada dalam
zona undervalue (nilai mata uang di bawah nilai fundamental
ekonominya).
Kehebohan yuan seakan mengubur diskusi
panjang-hampir setahun-tentang kenaikan suku bunga AS. Dunia sekarang
terfokus dan terserap energinya serta sibuk menghitung apa dampak pelemahan
yuan terhadap perekonomian global dan regional. Situasi ini menimbulkan
pertanyaan kritis: berapa besar lagi Tiongkok akan melemahkan yuan? Wacana
perang mata uang (currency war) pun kembali muncul ke permukaan.
Soal daya saing
Menarik disimak, ada perbedaan gaya pendekatan
kebijakan ekonomi negara maju-terutama AS-dibandingkan Tiongkok. AS cenderung
mengomunikasikan dan selalu melihat reaksi pasar ketika mau mengambil
kebijakan, seperti quantitative easing (QE), tapering
off, dan yang terakhir rencana kenaikan suku bunga The Fed. Dengan
harapan, negara lain dan investor dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan
baik. Walaupun pada kenyataannya, setiap kebijakan moneter AS cenderung
membuat pasar finansial dan valas menjadi berfluktuatif. Sementara Tiongkok
yang kental dengan budaya Asia, cenderung diam, senyap dan tenang, serta
sedikit bicara. Tiba-tiba saja yuan didevaluasi yang menghebohkan peta
perekonomian global.
Melihat respons dunia atas aksi Tiongkok ini,
tersirat jelas dunia melegimitasi kiprah Tiongkok sebagai negara yang sangat
berpengaruh di dunia. Saya kira sangat wajar karena perekonomian Tiongkok
termasuk ketiga terbesar dunia, dengan total produk domestik bruto sebesar
10.360 miliar dollar AS, di bawah AS dan Eropa masing-masing 17.869 miliar
dollar AS dan 13.402 miliar dollar AS. Sementara Jepang hanya 44 persen dari
total perekonomian Tiongkok.
Supernya Tiongkok juga terlihat dari cadangan
devisa yang paling besar di dunia, yaitu 3.651 miliar dollar AS (32 persen
dari total cadangan devisa dunia), diikuti Jepang yang hanya sepertiganya
(1.187 miliar dollar AS). Ditambah lagi, Tiongkok memegang surat utang negara
adidaya AS sebesar 1.270 miliar dollar AS (9,7 persen dari total utang AS).
Pengalaman krisis ekonomi global 2008
menunjukkan betapa digdayanya Tiongkok sebagai penyangga perekonomian global
agar tak terperosok terlalu dalam. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok masih tumbuh
positif 9,2 persen pada 2009. Bahkan, pada tahun pemulihan perekonomian
global, Tiongkok masih tumbuh dua digit, yaitu 10,4 persen pada 2010.
Sebaliknya, perekonomian negara Barat, seperti AS, Eropa, dan Rusia, mencatat
pertumbuhan negatif, masing-masing 2,8 persen, 4,4 persen, dan 7,8 persen
pada 2009. Begitu juga perekonomian di negara Asia, seperti Jepang (-5,5
persen), Singapura (-0,6 persen), dan Malaysia (-1,5 persen).
Melihat krisis ekonomi global ini, sangat
kasatmata terlihat Tiongkok menjadi dewa penyelamat dunia dan peranannya
sangat berpengaruh, bahkan mungkin sudah mulai mengambil peran penting AS di
kancah perekonomian global.
Dalam perkembangannya, Tiongkok merasa
perekonomiannya mulai kurang sehat jika tetap mempertahankan pertumbuhan
tinggi. Akhirnya, perubahan paradigma menuju era stabilisasi dan
berkesinambungan diputuskan oleh Tiongkok. Di sinilah awalnya yuan dibiarkan
menguat secara gradual dan perlahan sejak pertengahan 2010, di mana
sebelumnya dijaga pergerakannya di kisaran 6,8 yuan per dollar AS. Dari sisi
kebijakan moneter juga terlihat ketat untuk mengerem pertumbuhan ke titik
keseimbangan baru yang lebih berkesinambungan.
Namun, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi
Tiongkok turun lebih cepat dari perkiraan. Hanya dalam kurun tiga tahun,
pertumbuhan ekonomi turun hampir 2 persen dari 9,3 persen pada 2011 menjadi
7,4 persen pada 2014. Ini diperkirakan akan terus berlanjut menuju level di bawah
7 persen pada 2016. Jika ini dibiarkan, tingkat pengangguran di Tiongkok
berpotensi menukik tajam. Kondisi ini tentu sangat berisiko terhadap
stabilitas sosial dan politik pemerintahan "Tirai Bambu".
Berdasarkan indeks Real Effective Exchange
Rate yang berada di level 130, produk ekspor Tiongkok sangat tidak kompetitif
dibandingkan negara lain. Dengan kata lain, produk Tiongkok saat ini jauh
lebih mahal 30 persen dibandingkan partner dagangnya. Alhasil, pertumbuhan
ekspor Tiongkok tergerus tajam ke 6 persen pada 2014, jauh di bawah kondisi
normal di atas 20 persen.
Atas dasar kondisi di atas, tampaknya
kebijakan moneter dan fiskal Tiongkok sudah tak mampu menahan kemungkinan
pertumbuhan yang cenderung melambat. Akhirnya, dipilihlah devaluasi yuan yang
sekarang kita hadapi bersama, yang sangat mengagetkan pasar finansial.
Jika target utama depresiasi yuan menaikkan
daya saing produk Tiongkok, kemungkinan yuan masih memerlukan depresiasi
paling tidak 5 persen lagi. Ini artinya risiko pelemahan mata uang negara
lain (termasuk rupiah) tak dapat dihindarkan lagi walaupun probabilitas
kenaikan suku bunga acuan AS akan mengecil tahun ini.
Menunggu aksi nyata
Menghadapi situasi seperti ini, Indonesia akan
sulit lepas dari dampak negatifnya (termasuk negara di kawasan regional).
Suka atau tidak suka, kita harus siap menghadapi risiko pertumbuhan ekonomi
domestik yang lebih lambat, gejolak pasar finansial, pasar obligasi dan valas
yang mungkin lebih besar kadarnya.
Pengalaman 2008, Indonesia cukup berhasil
keluar dari krisis ekonomi global. Perekonomian bisa tumbuh 4,7 persen pada
2009. Berkaca dari pengalaman ini, saya kira Indonesia juga akan mampu
mengatasi situasi yang sangat menantang ini.
Perombakan kabinet sudah dilakukan Presiden,
terutama di bidang ekonomi. Ini menunjukkan pemerintah sangat peduli dengan
kondisi perekonomian Indonesia yang hanya tumbuh 4,7 persen pada semester
I-2015. Harus disadari dan jangan berharap berlebihan, perombakan kabinet ini
mungkin memang diperlukan untuk menambah aura positif yang sebelumnya
negatif, tapi belum cukup mengatasi masalah struktural yang sudah berakar
lama secara instan.
Pelambatan ekonomi sudah di depan mata, rupiah
juga terlihat terus melemah, pasar saham dan obligasi pun dalam tekanan.
Jadi, yang sangat dibutuhkan masyarakat, pelaku usaha, dan investor ialah
menunggu aksi riil pemerintah dalam memitigasi risiko buruknya perekonomian
bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketika pemerintah, BI, dan OJK sudah bekerja
sangat baik, jauh lebih baik daripada sembilan bulan yang sudah dilalui,
masyarakat pun akan menoleransi dan bersabar dengan kemungkinan situasi
terburuk. Semoga kita keluar sebagai bangsa pemenang dari ancaman domestik
dan eksternal yang cenderung makin bergejolak. Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar