Perihal Komisioner KPK
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua PuKAT
Korupsi
pada Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS,
28 Agustus 2015
Eddy OS Hiariej dalam
tulisan ”Komposisi Pimpinan KPK” (Kompas, 28/7) menuliskan bahwa setidaknya
ada tiga alasan mengapa komposisi pimpinan KPK harusnya memasukkan unsur
kejaksaan dan kepolisian. Selain menyatakan ada peraturan perundangan yang
dapat dibaca demikian, juga adanya kebutuhan basis pengetahuan yang kuat dari
para komisioner soal teknis penyidikan dan penuntutan. Selain itu, unsur
kejaksaan dan kepolisian akan membantu dalam proses relasi kelembagaan untuk
suksesnya tugas KPK, semisal koordinasi dan supervisi.
Tulisan itulah yang
saya analisis dalam artikel saya, ”Komisi Perwakilan Kejaksaan/Kepolisian”
(Kompas, 6/8), yang intinya menyatakan ketiga alasan tersebut sesungguhnya
tak dapat serta-merta dibaca demikian. Sebab, peraturan perundang-undangannya
tidak dapat dibaca demikian secara letterlijk,
secara historis juga tak ada bukti otentik relasi kausal sumbangan komisioner
dari unsur kejaksaan dan kepolisian di KPK dalam perbaikan tugas KPK di
monitoring dan supervisi. Titik berat penyidikan dan penuntutan sesungguhnya
berada di penyidik dan penuntut umum di KPK dan bukan pada komisioner KPK.
Pada tulisan ”Pilah
Pilih Komisioner KPK” (Kompas, 26/8), tulisan saya tersebut dianalisis oleh
Eddy OS Hiariej dengan mengatakan bahwa seharusnya ada penafsiran lain (yang
ia sebut sebagai konsep penafsiran harmoniserende dan doktriner) yang dapat
digunakan untuk memahami mengapa unsur jaksa dan polisi amat perlu
dipertimbangkan dalam komposisi KPK. Lalu titik berat penyidikan dan
penuntutan di KPK meski berada di penuntut umum dan penyidik tetapi perlu
diketahui oleh komisioner agar dapat mengoreksi teknis yuridis penyidikan dan
penuntutan, sebagaimana pesan singkat Indriyanto Seno Adji, komisioner
sementara KPK.
Penjelasan di atas
perlu dituliskan agar konteks silang pendapat yang terjadi antara saya dan
Eddy Hiariej sesungguhnya hanya tersisa pada dua wilayah, yakni penggunaan
penafsiran hukum dan pentingnya penguasaan teknis para komisioner KPK.
Penafsiran hukum
Siapa pun yang
berlatar belakang yuris tentu sangat paham bahwa dalam konsep penafsiran,
unit dan teknis penafsiran tidak pernah dapat dibaca tunggal. Juga jangan
dilupakan, dalam konteks ini unsur subyektif penafsir sering sangat menguasai
pilihan metode tafsir dan perspektif yang membangun argumentasinya.
Maka, berkembanglah
konsep tafsir yang membaca peraturan secara hermeunetik, yang tak pernah bisa
melepaskan teks dari konteks dan penafsir itu sendiri. Itulah yang sedang
coba diingatkan oleh ajaran hermeunetik: penafsir itu adalah unsur penting
yang tak dapat dipisahkan.
Oleh karena itu,
pertanyaan mendasar yang tentunya bisa ditanyakan: mengapa harus membawa ke
tafsiran harmoniserende dan doktriner serta bagaimana nasib metode tafsir
lainnya? Bahkan, ketika Eddy Hiariej menggunakan kedua metode tafsir itu
untuk menjelaskan pasal-pasal di UU KPK, pada hakikatnya terlihat subyektivitasnya
ketika ia membawa penafsiran itu dari basis argumentasi yang ia bangun
sendiri susunannya.
Dengan menggunakan
tafsir harmoniserende ataupun doktriner, sesungguhnya dapat dibangun basis
argumentasi yang berlawanan dengan hasil pemikiran argumentasi Eddy Hiariej.
Tafsir yang menekankan harmonisasi antar-ketentuan perundang-undangan KPK
sangat bisa dibaca sebaliknya: mustahil diharmoniskan karena yang terjadi
harmonisasi parsial. Hanya harmonis di satu sisi dan tak harmonis di lain
sisi. Harmonis untuk beberapa komisioner KPK yang berasal dari jaksa dan
polisi tapi tentu tidak tepat dan tidak harmonis untuk komisioner KPK yang
tidak berasal dari jaksa dan polisi.
Harmoniserende ini
berdiri di basis penafsiran teks sesungguhnya. Justru itulah kelemahan terbesarnya.
Karena itu, konteks pun harus dinyatakan untuk melengkapi hal tersebut.
Edward McWhinney (1946), misalnya, menyatakan bahwa pilihan tafsir yang
dilakukan penafsir harus dijelaskan, semisal dalam judicial review, supaya ada alasan mengapa memilih metode
penafsiran tertentu dan teknik tertentu dalam melakukan penafsiran.
Penggunaan tafsir
doktriner juga dapat dibaca sebaliknya. Jika dibaca dari konsep doktrin
minimalisasi konflik kepentingan, hasilnya justru polisi dan jaksa harusnya diminimalisasi
di KPK, mengingat kedua lembaga inilah yang akan dibersihkan dan dikuatkan
oleh KPK. Atau menggunakan doktrin eksternalisasi supervisi yang mengatakan,
pengendalian eksternal jauh lebih sukses dibandingkan pengendalian internal.
Meletakkan KPK yang berjarak dengan kepolisian dan kejaksaan dapat membantu
obyektivitas hasil penguatan.
Kemampuan teknis
Intinya, basis
penafsiran sebaiknya tidak didasarkan hanya teks semata karena membuka
kemungkinan bias penafsir dalam menentukan makna. Konteks jadi penting.
Praktik yang terjadi di lapangan juga penting. Karena itu, saya mengingatkan
dalam tulisan sebelumnya: tidak ada bukti otentik kausal adanya unsur jaksa
dan polisi di pimpinan KPK yang membantu pelaksanaan tugas di KPK dan
kejaksaan.
Sederhananya, ada
unsur polisi dan jaksa di KPK tetap terjadi konflik Bibit-Chandra di KPK
sebelumnya yang kemudian di kenal dengan ”Cicak vs Buaya”. Namun, tak ada
polisi, relasi KPK dan kepolisian terbangun menarik dan baik di zaman Kepala
Polri dan Kepala Bareskrim Polri sebelumnya. Hanya belakangan saja ketika
mereka diganti terjadi pemburukan relasi.
Kemampuan teknis tentu
bisa dipelajari dan didalami. Bahwa ada pengakuan via pesan singkat salah
seorang guru besar dan pengacara yang saat ini menjadi pimpinan sementara KPK
tentu tidak bisa dipakai untuk membenarkan cara pandang bahwa kemampuan
teknis tak bisa dipelajari dan dipahami sehingga harus ada jaksa dan polisi
untuk komisioner KPK. Privilese teknis tentu tak dapat dibenarkan untuk hal
ini, dan mengherankan untuk membangun basis argumentasi dengan cara ini.
Dalam UU Kejaksaan,
misalnya, syarat jadi Jaksa Agung bahkan tidak harus dari internal kejaksaan.
Apakah itu berarti pesan UU mengatakan bahwa seorang Jaksa Agung tidaklah
penting kapasitas teknis penyidikan dan penuntutannya?
Intinya, penguatan
kapasitas teknis sangat mungkin dibutuhkan tapi tidak berarti jadi syarat
mutlak. Apalagi, hal tersebut dapat dipelajari seiring waktu. Dari sinilah
tulisan (boleh jadi silang pendapat) ini ingin diakhiri. Ada hal yang jauh
lebih, yakni kapabilitas dan integritas calon. Oleh karena itu, rasanya tidak
terlalu penting untuk memperdebatkan komposisi komisioner KPK hanya perihal
jaksa dan polisi harus ada atau tidak dalam komposisi pimpinan.
Akan tetapi, pesan paling
inti adalah jangan sampai Pansel KPK terjebak pada pragmatisme pemikiran
bahwa adanya jaksa dan polisi akan membantu penegakan hukum antikorupsi di
KPK. Penafsiran hukum dan praktik yang terjadi tak mengafirmasi itu. Rasanya,
lebih penting Pansel KPK harus berpikir kuat terkait tren korupsi apa saja
yang saat ini diderita republik ini dan sebaiknya apa yang diusung di
komposisi KPK untuk mengakhiri dan menjinakkan tren korupsi tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar