Diskresi
Adrianus Meliala ; Kriminolog FISIP UI;
Komisioner pada Komisi Kepolisian
Nasional
|
KOMPAS,
29 Agustus 2015
Gara-gara kasus
penghentian rombongan motor gede oleh seorang pengendara sepeda, terminologi
”diskresi” menjadi populer. Diskresi menjadi benteng terakhir argumen polisi
setelah gagal meyakinkan publik perihal adanya ketentuan yang secara
eksplisit menyatakan rombongan motor gede (moge) sebagai rombongan yang perlu atau harus dikawal.
Pengertian diskresi
sendiri adalah tindakan kepolisian yang mengesampingkan hukum dan aturan demi
kepentingan publik yang lebih luas. Memang tindakan kepolisian yang mengawal
dan memperbolehkan menerobos lampu merah seolah-olah mementingkan kelompok
pengendara moge dan merugikan masyarakat banyak. Namun, jika tidak dikawal
dan lampu merah tidak diterobos, dengan kata lain semua dibiarkan berjalan
apa adanya, besar kemungkinan baik masyarakat luas maupun pengendara moge
akan sama-sama, atau bahkan lebih, terganggu.
Kewenangan khas
Demikianlah diskresi
memang yang paling menjadikan kepolisian khas atau berbeda dengan aparat
penegak hukum atau aparat keamanan lainnya. Pada jaksa dan hakim, misalnya,
penerapan hukum justru bersifat mutlak.
Apabila seorang
pelaksana diminta fleksibel saat menangani permasalahan lapangan, seorang
pemasar mesti luwes saat meyakinkan pelanggan, atau seorang pengambil
keputusan diminta bijak saat memutus, maka seorang polisi harus pandai-pandai
melakukan diskresi. Ada kesamaan antara fleksibilitas, luwes, dan bijak dengan
diskresi itu sendiri: sama-sama tak menempatkan aturan dan ketentuan sebagai
segala-galanya. Daripada menjadikan kita mesti selalu mengalah demi aturan,
lebih baik aturan itulah yang mesti mengalah dengan kondisi kita.
Kalau seorang tukang
pos saja mesti fleksibel saat bertugas, apalagi seorang polisi. Mengingat
yang sering dihadapi polisi adalah sesuatu yang terkait dengan hidup dan mati
orang, paling tidak masalah yang membuat orang tak nyaman dan takut, maka
penyelesaian masalah menjadi yang terpenting. Percuma apabila semua ketentuan
dan aturan dijalankan, tetapi masalah tak juga selesai.
Di pihak lain, tak
terbayangkan pula kalau polisi selamanya harus bertindak sesuai buku teks,
padahal yang dihadapi adalah sesuatu yang tak ada di buku teks kepolisian.
Akibatnya, bukan hanya orang per orang yang tetap susah dan pusing, juga
publik pada umumnya. Diskresi, dengan demikian, memiliki orientasi tugas
ketimbang orientasi proses yang, jika dilakukan terlalu sering dan tanpa
ukuran, bisa membuat berbagai sistem lain kacau. Untuk itu, dalam
pelaksanaannya, diskresi diikat dengan dua ketentuan: bersifat memaksa/ mendesak
dan demi kepentingan publik lebih luas. Jadi, apabila ketentuan/aturan masih
bisa digunakan, diskresi sebaiknya tidak digunakan. Demikian pula jika tak
ada unsur kepentingan publik.
Tentu ada pihak yang
tidak setuju dengan diskresi. Argumennya adalah karena hal itu menjadikan
polisi sudah seperti hakim saja. Apalagi, penggunaan diskresi menjadikan
rendahnya kepastian hukum. Padahal, pekerjaan polisi rentan dengan berbagai
kepentingan yang ekstrem satu sama lain.
Tak berkembang
Melihat pentingnya
diskresi dalam tugas kepolisian, menarik melihat polisi sendiri hampir tak
pernah mengkaji diskresi secara serius. Hampir tak pernah ada studi akademis
tentang hal ini. Studi terakhir dilakukan Komisi Kepolisian Nasional dua
tahun lalu. Mungkin karena tak pernah ada studi, pemahaman pun tak
berkembang.
Jika kita berbicara
dengan lulusan Akademi Kepolisian dari berbagai angkatan, yang biasa kita dengar
adalah contoh polisi yang menghentikan pengendara motor yang sedang mencari
angin di sore hari di seputar perumahan bersama anak yang diboncenginya.
Cukup wajar jika pengendara motor tak membawa surat-surat kendaraan.
Menyadari itu, polisi tak menilang pengendara motor itu, tetapi melepaskannya
seraya memesankan agar selalu membawa serta surat izin mengemudi dan surat
tanda nomor kendaraan ke mana pun pergi.
Melihat itu, kesan
penulis, retorika tentang diskresi terlalu sederhana, demikian pula ilustrasi
dalam situasi apa diskresi dijalankan. Hal ini kemudian berpengaruh pada saat
diskresi hendak diterapkan oleh anggota kepolisian yang masih hijau dengan
pengalaman lapangan. Berbekalkan kewenangan yang ada padanya, diskresi pun
bisa diberlakukan pada waktu, tempat, dan dalam bentuk yang tidak tepat.
Pada konteks inilah
muncul pemikiran membuat ketentuan tentang diskresi itu sendiri. Guna
mencegah penggunaan diskresi yang salah akibat belum matangnya petugas, juga
mencegah diskresi yang dikomoditaskan, setidaknya perlu ada rambu atau
kisi-kisi walau hal itu sebenarnya tidak selaras dengan semangat diskresi itu
sendiri yang justru hendak keluar dari aturan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar