Salah Sangka sang Guru BK
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Agustus 2015
DALAM kesempatan rapat kerja tahunan sekolah,
yang selalu menarik dan saya tunggu ialah laporan dari para konselor sekolah.
Seperti para guru lainnya, konselor sekolah selalu punya cerita menarik
tentang penanganan masalah keseharian siswa. Jika titik tekan guru terhadap
siswa lebih kepada penguasaan keilmuan (knowledge ability), konselor sekolah
lebih banyak berhubungan dengan habituasi anak. Pendek kata, antara keduanya
terkadang saling mengandalkan jika terjadi masalah pada siswa mereka.
Seperti hari itu, Hijri, konselor Sekolah
Sukma Bangsa Bireun, melaporkan betapa sulitnya mengatasi seorang anak yang
sejak kelas 9 hingga kelas 11 saat ini selalu membuat gaduh sekolah dengan
perilakunya. Katakanlah, nama siswa tersebut `Amar'. Tidak seperti anak
bermasalah lainnya yang selalu dapat diatasi dengan konseling secara
personal, Amar tak pernah mau untuk masuk ke ruang konselor sekali pun.Hingga
akhirnya, ditemukan cara jitu dengan mengajaknya `berkoselor ria' di luar
ruang konselor, tepatnya di warung kopi, dengan membuat diskusi terbatas
bersama dua teman karibnya.
Teknik advokasi jenis itu jelas dibutuhkan
para konselor sekolah. Waktu luang para konselor jelas harus lebih banyak dan
efektif untuk mengidentifikasi persoalan tidak hanya di lingkup sekolah, tapi
juga di luar sekolah.Alasannya sederhana, konselor biasanya memang selalu
dibebani seluruh persoalan sosial siswa, seperti kenakalan, kekerasan,
narkoba, broken home, kemalasan,
dan perilaku negatif lain. Pendek kata, identifikasi atau assesmen merupakan
langkah pertama yang dibutuhkan para konselor sekolah untuk mengenali ragam
persoalan siswa.
Sahabat siswa
Selain itu, ada banyak argumen negatif lain
tentang konselor yang selalu ditimpakan, di antaranya sering kali hanya siswa
yang mempunyai masalah dengan peraturan sekolah yang menjadi bulan-bulanan
guru BK. Ke tika ada suatu pelanggaran yang dilakukan siswa, siswa yang
bersangkutan langsung dihukum dan konselor akhirnya menjadi momok bagi para
siswa. Pengalaman para konselor di Sekolah Sukma Bangsa mungkin sedikit
berbeda dalam konteks tersebut.Mendekatkan anak dengan konselor terjadi
hampir setiap hari karena konselor meletakkan lembar evaluasi guru di ruang
kelas dan setiap hari bisa diisi siswa jika mereka merasa ada masalah dengan
guru pada hari itu.
Lembar evaluasi guru menjadi efektif karena
ternyata menurut siswa, yang bermasalah bukan hanya mereka, melainkan juga
tidak jarang guru mereka. Lembar atau instrumen evaluasi guru merupakan
keberanian sekolah untuk menilai salah satu kompetensi guru, yaitu kompetensi
kepribadian.Mengajak para siswa untuk menilai dan mengevaluasi kepribadian
guru ialah cara yang bisa dilakukan setiap konselor sekolah dalam rangka
menurunkan problem sosial kenakalan anak. Dengan memberi siswa kepercayaan
untuk menilai guru mereka, itu menjadikan siswa percaya diri dan menurunkan
perilaku negatif.
Menjadikan konselor sebagai sahabat siswa juga
dapat dilakukan dengan cara membuat skema pembelajaran untuk topik apa pun
dengan melibatkan konselor. Karena pembimbingan bukan hanya terjadi ketika
masalah muncul, pembimbingan dapat dilakukan justru pada saat anak tidak
mempunyai masalah, tetapi dikenalkan dengan ragam masalah-masalah sosial di
sekitar mereka. Di sekolah Sukma Bangsa, tak jarang guru dan konselor
berkolaborasi membuat skema pembelajaran yang diasuh bersama, bahkan hingga
membuat class project yang
disepakati antara guru, konselor dan siswa.
Salah satu jenis class project yang sering diinisiasi guru, konselor, dan siswa
ialah membantu teman mereka yang sedang mengalami kesulitan. Save our brother dijadikan sebagai
tagline kegiatan bersama bilamana ditemukan ada masalah atau kesulitan yang
dialami teman-teman mereka. Pada suatu saat, misalnya, di Sekolah Sukma
Bangsa, ada anak yang hampir dikeluarkan dari sekolah karena tak pernah
membayar kewajibannya hampir setahun. Setelah diselidiki, ternyata ayah teman
mereka memang sudah di PHK dari pekerjaannya. Barulah kemudian konselor dan
rekan guru serta siswa menjalankan save
our brother dengan cara mengumpulkan sedikit dari uang jajan mereka hari
itu untuk disumbangkan ke teman mereka yang punya masalah. Alhasil, setelah 3
bulan, teman mereka dapat meneruskan sekolah dan membayar kewajibannya.
Menjadikan konselor sebagai sahabat siswa juga
dapat dilakukan dengan membuat parent
day program yang temanya disesuaikan dengan hasil polling para siswa.
Konselor biasanya memberikan kuis tentang pola hubungan anak-orangtua yang
dirasakan para siswa, kemudian hasilnya dijadikan pokok bahasan utama dengan
memanggil para orangtua ke sekolah dan dibuat training kepengasuhan.
Pola itu juga cukup efektif untuk mendorong
partisipasi orangtua terhadap proses tumbuh-kembang anak-anak mereka di
sekolah. Selain itu, sekolah juga dapat merancang career day setahun tiga kali, sesuai dengan hasil polling siswa
tentang jenis profesi yang mereka ingin ketahui lebih lanjut.
Akhirnya, seperti ditulis Hartono dan Soedarmadji
(2012), setidaknya ada lima fungsi konseling yang harus dipahami tidak saja
oleh para konselor, tetapi juga oleh para guru, orangtua, dan siswa. Kelima
fungsi tersebut ialah fungsi pemahaman, fungsi pencegahan, fungsi
pengentasan, fungsi pemeliharaan, dan fungsi advokasi. Kelima fungsi itu
jelas memerlukan dukungan semua pihak, terutama dari kepala sekolah, guru,
orangtua, dan siswa agar para konselor sekolah dapat membuat program yang
sesuai dengan ragam fungsi konseling, seperti yang terjadi di Sekolah Sukma
Bangsa. Dengan demikian, salah sangka terhadap posisi dan fungsi konselor
atau para guru BK dapat dihindari sedini mungkin dan masalah yang menimpa
warga sekolah dapat ditekan dan dihindari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar