Selasa, 25 Agustus 2015

Rizal Ramli dan Wacana Kritik Tertutup-Terbuka

Rizal Ramli dan Wacana Kritik Tertutup-Terbuka

Tjipta Lesmana  ;   Kaprogdi Magister Ilmu Komunikasi
Universitas Pelita Harapan(UPH)
                                                  KORAN SINDO, 24 Agustus 2015 

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Wacana kritik tertutup versus kritik terbuka di Indonesia sudah mencuat sejak 40 tahun yang silam. Ketika itu Arief Budiman, seorang aktivis dan (waktu itu) dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, bersama teman-teman seperjuangan pada awal 1970-an melancarkan aksi-aksi unjuk rasa menentang pembangunan proyek Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diprakarsai oleh Ibu Tien Soeharto.

Argumentasi yang dilontarkan Arief dkk menentang proyek itu: (a) TMII proyek mercusuar dan menguras uang rakyat, (b) TMII tidak ada kaitannya dengan program-program pembangunan nasional untuk menyejahterakan rakyat Indonesia, dan (c) sebagian besar rakyat Indonesia masih miskin.

Di tengah kemiskinan, kenapa kita membangun proyek mercusuar yang menghamburkan dana dalam jumlah besar? Presiden Soeharto tentu gusar terhadap aksi-aksi Arief Budiman dkk, apalagi proyek itu terkait nama Ibu Negara. Arief dkk sempat diajak berdialog oleh para pembantu Pak Harto, tapi tidak membuahkan hasil apa-apa. Arief dkk gigih dengan pendirian untuk membatalkan pembangunan TMII.

Apa boleh buat. Aparat keamanan dikerahkan untuk memberangus para pendemo. Ketika itulah mencuat wacana kritik terbuka versus kritik tertutup. Pak Harto dikenal sebagai pemimpin yang santun; minimal secara verbal, beliau ya memang santun..... Budaya dan falsafah Jawa sangat memengaruhi kepemimpinan Pak Harto, termasuk komunikasi politiknya.

Falsafah Jawa antara lain mengajarkan dalam organisasi jangan terjadi kegaduhan. Jika ada yang kurang setuju dengan kebijakan pemimpin, sampaikanlah secara santun dan tertutup. Jangan mempermalukan pemimpin di depan umum. Dalam ruang tertutup, mari kita berdebat, sampai sekeras apa pun boleh. Pemimpin yang bijak tentu akan mendengar dan mengakomodasi aspirasi rakyatnya.

Intinya, perbedaan pendapat diselesaikan dalam ruang tertutup, tidak usah buat kegaduhan di ruang terbuka. Itulah yang dimaksud dengan kritik terbuka versus kritik tertutup. Sekali lagi, falsafah Jawa menentang keras kritik terbuka. Kritik terbuka dianggap menghina pemimpin, membuka ”aib” pemimpin di depan rakyatnya sendiri. Padahal, ”aib” yang dibuka belum tentu benar. ”Aib” yang dibuka bisa saja fitnah belaka!

Dari perspektif komunikasi, kritik terbuka versus kritik tertutup hampir identik dengan wacana Low Context versus High Context ajaran Edward T Hall, seorang guru besar antropologi Amerika Serikat yang banyak melakukan penelitian mengenai kebudayaan pada bangsa- bangsa Timur. Teori Konteks Hall kemudian diadopsi dalam ilmu komunikasi, terutama komunikasi politik.

Arief Budiman kemudian memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui sebuah artikel di sebuah harian nasional. Judulnya: ”Kritik Terbuka dan Kritik Tertutup”. Dalam tulisan yang bagus dan akademis itu, Arief membeberkan sisi positif dan sisi negatif masingmasing gaya kritik. Kritik tertutup, menurut Arief, kerap tidak efektif.

Pemimpin, apalagi pemimpin otoriter, dasarnya memang enggak suka dikritik, apalagi dipermalukan di depan publik. Kritik hakikatnya memang destruktif. Tidak ada kritik yang konstruktif, kata Arief. Kenapa? Karena per definisi, kritik itu menegasikan suatu pendapat atau sikap; menyatakan pendapat yang berbeda dari pendapat yang diserang, sekaligus membuktikan bahwa pendapat yang diserang tidaklah benar.

Jika Anda mengatakan Presiden Jokowi sebetulnya tegas dan berani; tapi kemudian orang lain berpendapat ”Salah! Presiden Jokowi lemah kepemimpinannya dan tidak berani mengambil keputusan”, orang lain itu sebenarnya mengkritik pendapat Anda tentang sosok presiden kita. Pendapat orang lain itu destruktif sifatnya, melawan bahkan menghancurkan pendapat Anda. Itulah kritik.

Tidak ada kritik yang konstruktif, tandas Arief Budiman. Banyak kalangan mengatakan kritik harus konstruktif. Jangan kritik pendapat orang lain semata-mata untuk mengkritik saja. Setelah mengkritik, kemukakan dong bagaimana solusi masalah yang Anda kritik itu. Jangan asal goblek.....!

Pendapat seperti itu sebenarnya salah. Saya bisa mengkritik makanan yang baru saya beli di restoran. Saya katakan soto ini tawar, enggak gurih, payah! Apakah Anda fair jika Anda kemudian balik membalas saya: ”Jangan asal ngomong dong. Bikin dan tunjukkanlah kepada saya bagaimana soto yang enak dan gurih......” Kan, tidak begitu?

Bagi Anda yang termasuk frequent flyers, pasti Anda bisa membedakan mana maskapai penerbangan yang servisnya bagus dan mana yang jelek. Kita bisa juga mengatakan pertumbuhan ekonomi tiga tahun terakhir masa pemerintahan SBY semakin merosot sehingga kemiskinan semakin mencolok dan kesenjangan kaya-miskin semakin menganga.

Apakah adil kalau ada yang kemudian sewot, sambil berteriak: Coba saja Pak Tjipta jadi Presiden! Kelemahan lain dari kritik tertutup: orang yang dikritik tidak jarang cuwek saja setelah mendapatkan kritik. Dia pikir, toh publik tidak tahu dirinya dikritik. ”Diamkan saja. Anggap saja si pengkritik senewen”......

Kritik akan efektif, masih kata Arief Budiman, jika pengkritik melibatkan orang banyak untuk sama-sama menilai mana pendapat yang salah dan mana yang benar. Itulah manfaat kritik terbuka! Kritik bertujuan mencari kebenaran. Setiap ilmuwan sosial percaya kebenaran hanya bisa diperoleh melalui proses kursus publik secara terus-menerus.

Gaya Komunikasi RR

Tapi, bagaimana kalau seorang menteri mengkritik sesama menteri di depan umum? Sekali lagi, hal ini bergantung pada sistem pemerintahan dan corak pemimpin nomor satunya. Pada era Soeharto, pernah terjadi seorang menteri tiba-tiba melontarkan kritik sinis kepada sesama menteri. Awalnya, Presiden Soeharto membiarkan wacana ini bergulir secara terbuka melalui media massa.

Rupanya, lama-kelamaan telinga Pak Harto panas. Ia kemudian memanggil menterinya yang menyerang sesama menteri. Dalam ruangan tertutup, sang menteri diberikan ”peringatan keras” oleh Presiden. Ia pun mengaku kepada pers bahwa dirinya ”diingatkan” oleh Presiden. Setelah itu, kegaduhan antarmenteri pun lenyap. Kasus yang kita alami hari ini sama.

Rizal Ramli (RR), seusai dilantik sebagai menteri koordinator maritim dan sumber daya, langsung mengkritik kebijakan Rini Soemarno, menteri BUMN, membeli 30 pesawat Airbus tipe A350. Alasannya, pemborosan dan Garuda tidak butuh pesa-wat berbadan lebar nan supermewah. Rini pun sewot. Ia balik menyerang RR untuk tidak ikut campur terhadap masalah yang bukan bidangnya.

Pertikaian RR versus Rini soal pembelian Airbus tipe 350 ternyata bergulir terus hingga ”melibatkan” Wakil Presiden Jusuf Kalla. RR bukan tutup mulut, tapi melebarkan serangannya hingga ke proyek pembangunan pembangkit listrik berkekuatan 35.000 megawatt. Proyek itu dikatakan terlalu ambisius. Wong 7.000 megawatt saja tidak berhasil diselesaikan oleh pemerintah SBY.

”Peluru” yang dimuntahkan dari mulut RR tidak berhenti sampai di situ. Ia juga singgung soal kedaulatan udara Indonesia. Masak tiap kali pesawat kita yang mau naik dan turun dari/ ke Batam harus minta izin dulu dari otoritas udara Singapura? Waktu tunggu bongkar-muat di Pelabuhan Priok bisa dipersingkat kalau pemerintah berani memangkas birokrasi di Priok, kata RR.

Wakil Presiden kelihatan dongkol dan marah melihat sepak- terjang RR. JK minta agar RR pelajari dulu setiap permasalahan sebelum mengkritiknya di depan umum. ”Menko seperti itu kan tidak etis. Tidak usah dihiraukan!” tandas JK mangkel. Toh, RR mengaku Presiden setuju pembatalan pembelian pesawat Airbus.

”Kami akan panggil direksi (Garuda) dan batalkan supaya ganti!” RR balik menyerang. Tidak sedikit kalangan yang mengkritik sepak-terjang RR. Toh, banyak juga kalangan yang mendukung, malah ”memanasmanasi” RR untuk terus ngomong di publik. Rini Soemarno pun didemo massa cukup besar di depan kantornya. Perihal ”kisruh” antarmenteri ini, pendapat saya sebagai orang komunikasi sebagai berikut:

Pertama, RR sebaiknya masukkan dulu kritik-kritiknya secara tertutup antara lain dalam forum Sidang Kabinet. Atau, usulkan Presiden Jokowi untuk panggil menteri terkait dan berdebat dalam forum tiga pihak: RR, menteri terkait, dan Presiden/Wakil Presiden.

Kedua, jika 1-2 kali masukan dan kritik tertutup tidak membuahkan hasil konkret, RR buka permasalahannya ke publik. Libatkan publik secara martabat. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Rakyatlah, melalui wakil-wakilnya di parlemen yang membuat kebijakan publik, tentu bersama pemerintah. Rakyat mempunyai hak untuk mengawasi implementasi setiap kebijakan publik.

Dalam soal pembelian Airbus 350, menteri BUMN terkesan tertutup, tidak pernah melansir isu ke publik. Tahu-tahunya, letter of intent sudah ditekan; bahkan ia sudah tanda tangan juga perjanjian utang dengan Bank of China sebesar USD44,5 miliar. Aneh kan? Jangan lupa, setiap sen yang dibelanjakan menteri untuk membeli apa pun, uang itu milik rakyat, bukan milik menteri atau Presiden/Wakil Presiden!

Ketiga, Presiden hendaknya bersikap arif dan bijak terhadap menterinya yang bernama RR. Bahwa RR melakukan kesalahan etika dalam komunikasi politiknya, saya setuju. Untuk itu, Presiden harus menegur RR. Tetapi, RR boleh jadi menteri yang memiliki ide-ide cemerlang dan konstruktif bagi bangsa dan negara kita. Menteri seperti itu HARUS diayomi, bahkan diberikan motivasi dan kesempatan untuk terus berkiprah bagi kepentingan bangsa dan negara, bukan dipecat !!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar