Perlawanan Netizen di Ruang Publik
Rahma Sugihartati ; Dosen Departemen Ilmu Informasi dan
Perpustakaan
FISIP Unair; Sedang menulis
disertasi tentang online fandom
|
JAWA
POS, 18 Agustus 2015
EFEKTIVITAS dan gaung aksi perlawanan atau protes
yang dilakukan kelompok civil society di era masyarakat postmodern kini tidak
hanya bergantung pada jumlah peserta demo atau aksi konvoi di jalan raya.
Tapi juga pada dukungan yang diberikan kaum netizen (pengguna internet) di
media sosial.
Aksi yang dilakukan Elanto Wijoyono di Jogjakarta
yang menghadang konvoi motor gede (moge) Sabtu lalu (15/8), walaupun dikecam
sebagian pihak, misalnya pengacara Farhat Abbas, dan dikritik pihak
kepolisian, mendapat dukungan deras di media sosial. Dukungan masif tersebut
tentu tidak bisa diabaikan begitu saja.
Aksi dan kemudian dukungan yang diberikan kaum
netizen atas kasus atau nasib warga masyarakat yang dinilai menjadi korban
kesombongan atau kezaliman belakangan ini makin sering bermunculan di media
sosial. Selain aksi Elanto, sebelumnya dukungan dari kaum netizen juga muncul
di media sosial terhadap kasus Nenek Asyani di Situbondo yang divonis satu
tahun penjara dengan masa percobaan 15 bulan gara-gara dituduh mencuri 38
papan kayu jati milik Perhutani.
Tak kurang dari 1.065 tweet dicuitkan netizen
yang menggalang massa untuk melakukan demo menuntut penegakan keadilan. Lewat
159 tweet mereka mendesak pemerintah lebih serius memberantas dan menangkap
para pelaku illegal logging kelas kakap dan tidak hanya meributkan kasus
kelas teri seperti yang dialami Nenek Asyani.
Di tengah keterbatasan dana dan akses pada
kekuasaan, selama ini yang dilakukan kaum netizen untuk menyuarakan tuntutan
atas ketidakadilan dan berbagai kasus yang dinilai menyubordinasi orang-orang
marginal, salah satunya, adalah melalui media sosial. Menulis di blog,
melontarkan cuitan di Twitter, menulis di Facebook, membuat tagar seperti
#SaveAsyani, atau yang lain adalah upaya-upaya yang acap kali dilakukan para
netizen untuk ikut mewujudkan proses demokratisasi.
Sebagai Media
Perjuangan
Robert Hassan (2004) dalam bukunya yang
berjudul Media, Politics and Network
Society memang pernah menggambarkan bagaimana perkembangan ICT ( information and communication technology)
dan globalisasi kapitalisme telah mengakibatkan kelompok civil society menjadi terhegemoni. Tak ubahnya seperti masyarakat
konsumer yang digambarkan Baudrillard (2006) sebagai masyarakat yang selalu
menjadi target pasar bagi kekuatan industri budaya.
Tetapi, kalau melihat apa yang terjadi dan
dilakukan para netizen belakangan ini, tampaknya sinyalemen Hassan di atas
kini tidak lagi sepenuhnya benar. Para netizen saat ini tampaknya tidak lagi
sepenuhnya merupakan bagian dari masyarakat konsumen yang serba-apatis dan
hanya dikendalikan selera yang diciptakan kapitalis atau kelompok yang
senantiasa tunduk pada kekuasaan.
Ketika kesadaran, kepedulian, dan sikap kritis
masyarakat makin meningkat, sedangkan informasi yang bisa diakses juga makin
beragam, yang namanya hegemoni dari kelas-kelas yang berkuasa kini tidak lagi
selalu efektif membungkam suara civil
society atau suara masyarakat dari bawah.
Di era digital seperti sekarang, media massa
dan internet telah memungkinkan pemberdayaan warga masyarakat untuk berani
bersuara dan bertukar informasi tanpa dibatasi dan dipengaruhi bias kelas
sosial. Internet, media sosial, dan media massa telah terbukti memiliki
potensi untuk mendorong perkembangan demokrasi.
Sebab, mereka memiliki karakteristik
interaktif, bertautan dengan jaringan global, menjamin kebebasan berbicara,
mampu memfasilitasi relasi sosial yang bebas, memungkinkan pembagian
informasi tanpa harus terancam sanksi, dan memungkinkan user mengembangkan
identitas global maupun lokal.
Dengan memanfaatkan blog, Facebook, Twitter,
BlackBerry Messenger, situs ( website), diskusi online, mailing list, dan
sebagainya yang leluasa dan selalu terbuka setiap saat untuk diakses siapa
pun tanpa bisa dibatasi regulasi politik, kalangan netizen kini memiliki
peluang untuk turut berperan aktif mengembangkan demokrasi.
Seperti dikatakan Habermas, yang dimaksud public sphere atau ruang publik adalah
sebuah wilayah dalam kehidupan sosial yang memungkinkan setiap warga negara
berbicara dan terlibat dalam berbagai silang pendapat serta secara
bersamasama membentuk pendapat umum [lihat: Hardiman (ed), 2010].
Melalui kehadiran ruang publik, masyarakat
dapat mengorganisasi diri untuk membangun pendapat umum, melontarkan kritik,
dan bertindak sebagai watchdog.
Semua itu merupakan bagian dari upaya masyarakat sipil yang madani untuk
melakukan kontrol demokratik terhadap perilaku kelas yang berkuasa dan kelas
kapitalis yang acap kali mengeksploitasi masyarakat.
Dalam ruang publik, yang penting bukanlah
jumlah kehendak-kehendak individual dan bukan sebuah ”kehendak umum” yang
merupakan sumber legitimasi. Melainkan sumber legitimasi itu adalah proses
formasi deliberatif, argumentatif, diskursif, suatu keputusan politis yang
ditimbang bersama-sama, yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka atas
revisi (Hardiman, 2009 : 130).
Dengan tersedianya ruang publik yang
konstruktif dan produktif, niscaya para netizen akan dapat mendorong
perkembangan proses demokratisasi yang menempatkan masyarakat –termasuk
kelompok digital natives itu sendiri–sebagai subjek perubahan dan motor pembangunan.
Merawat Peran Agora
Elektronik
Ruang publik pada dasarnya adalah agora
elektronik. Agora adalah sebuah pasar yang berkembang di Athena yang
berfungsi sebagai tempat bagi warga untuk berkumpul, berbincang, berdebat,
bergosip, dan berdialog mencari solusi atau titik temu. Juga menciptakan
konsensus dan menemukan titik lemah gagasan-gagasan politik yang ada dengan
mendebatnya.
Sementara itu, yang disebut agora elektronik
adalah ruang dalam cyberspace yang menjadi arena bagi seluruh warga
masyarakat atau komunitas cyber untuk menyampaikan apa pun aspirasi sosial
politik mereka. Bagi para netizen, peluang untuk mengembangkan agora
elektronik dan memanfaatkan ruang publik sebagai arena untuk mempercepat
persemaian aksi perlawanan, dukungan dan kehidupan yang demokratif, serta
ruang untuk beraktualisasi diri sebagai bagian dari civil society sebetulnya
sangatlah terbuka.
Meski demikian, perlu disadari, mendorong para
netizen untuk terus terlibat dalam proses pengembangan demokrasi deliberatif
bukanlah hal yang mudah. Youniss & Levine (2009) dalam bukunya, Engaging Young People in Civic Life,
menyatakan, membuka minat dan antusiasme anak muda sebagai netizen agar
terlibat dalam proses pengembangan demokrasi tidak hanya harus dilakukan
sejak dini. Tapi juga mesti melalui peleburan isu tersebut dalam kurikulum
pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar