Mesir dan ISIS Pasca UU Baru Antiteroris
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam; Koordinator
S-2 dan S-3 Kajian Timur Tengah Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta
|
JAWA
POS, 22 Agustus 2015
DI usianya yang baru setahun, ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) sudah
meneguhkan diri sebagai kekuatan dan jaringan teroris internasional kelas
wahid. Bukan hanya tingkat kekejiannya yang nomor satu. Capaian-capaian
kekuasaan militer mereka juga semakin luas dan kuat.
Wilayat (baca provinsi, sebuah penggunaan
istilah yang penuh percaya diri) mereka di luar Iraq dan Syria diperkirakan
14 tempat. Di antara kekuasaan provinsi prestisius bagi kelompok itu adalah
Wilayat Sina’ (Provinsi Sinai) yang masuk wilayah Mesir.
ISIS di Sinai itulah yang mengklaim melakukan
serangkaian aksi pengeboman yang memakan banyak korban dari militer dan
polisi Mesir. Salah satu korbannya adalah Jaksa Agung Mesir Hisyam Barakat
beberapa waktu lalu yang menjadi pemicu penting lahirnya UU baru antiteroris
di Mesir pada Minggu lalu (16/8).
Pasca pengumuman UU baru itu, kelompok ISIS
diperkirakan akan memperoleh pengikut yang semakin luas. Sebab, mudah
ditebak, UU baru itu hampir pasti akan mendorong pengerasan sikap rezim Mesir
terhadap ikhwan dan rakyat yang melakukan ”perlawanan” melalui
demonstrasi-demonstrasi. Selain peningkatan hukuman, UU itu mempermudah
prosedur bagi aparat keamanan dalam menghadapi aksi-aksi terorisme dan
”perlawanan rakyat”.
Wilayat Sina’ yang diklaim ISIS sudah mereka
kuasai berdekatan dengan Palestina dan Israel. Secara geografis dan politis,
sudah pasti sangat menarik. Sebab, posisi Mesir bagi dunia Arab dan Islam
sungguh penting.
Demikian pula, persoalan Palestina-Israel juga
memiliki daya tarik luar biasa untuk mengerek popularitas ISIS di kalangan
umat Islam. Berkesempatan mengambil alih wilayah strategis dan historis itu
akan menjadi target krusial mereka.
Kelompok Anshar Baitil Maqdis, cikal bakal
ISIS di Sinai, semula hanya menjadi ”pengganggu” pospos kecil keamanan tentara
Mesir di Sinai. Kelompok tersebut hanya seperti gerakan individual, bukan
gerakan besar yang terkoordinasi secara baik dan masif.
Namun, mereka berkembang secara sangat pesat
seiring dengan sikap keras rezim Mesir terhadap warga Sinai. Frustrasi mendalam
akibat pembunuhan, represi, penghancuran rumah, dan pengusiran telah
mendorong para pemuda Sinai berbondong-bondong bergabung dengan kelompok
tersebut. Tentu dengan motivasi melawan rezim militer Mesir.
Setelah mengklaim sebagai bagian dari ISIS
dengan nama Wilayat Sina’, kelompok itu berkembang sangat pesat dari sisi
kemampuan tempur dan peralatan perang yang dimiliki. Kendati demikian, pada
awalnya, sempat terjadi pertentangan di internal mereka. Sebab, sebagian
tidak setuju bergabung dengan ISIS karena menganggap ISIS adalah kelompok
yang keji.
Titik Temu Kepentingan
Pengakuan dan sumpah setia kelompok Ansharul
Baitil Maqdis (nama awal kelompok ini) terhadap Abu Bakr al-Baghdadi,
khalifah ISIS, bisa jadi disebabkan tujuan yang sangat praktis. Untuk saat
ini, tidak ada wadah bagi kelompok yang memilih jalan senjata untuk melawan
rezim militer Mesir.
Sebab, Hamas maupun Ikhwanul Muslimin yang
sudah demikian tertindas tetap memilih opsi strategi damai dalam perjuangan
mereka. Setidaknya itu yang dideklarasikan di permukaan.
Pasca pemberlakuan UU kontrateroris yang baru,
jalan damai yang dideklarasikan ikhwan, rupanya, akan semakin menghadapi
represi dari aparat keamanan Mesir. Karena itu, pilihan mengangkat senjata
pada titik ini akan menjadi opsi yang semakin populer di kalangan para
penentang rezim militer Mesir di bawah kepemimpinan Jenderal Abdul Fattah
as-Sisi.
Jalan yang tersedia dan masuk akal untuk
mengangkat senjata saat ini ialah bergabung dengan ISIS di wilayah Sinai.
Tujuan melawan rezim militer Mesir tentu adalah alasan utama dan pertama
orang-orang tersebut bergabung dengan ISIS.
Proyek semacam itu tentu juga menarik bagi
ISIS yang berambisi memperluas wilayahnya di seluruh dunia Islam. Apalagi,
wilayah tersebut memiliki posisi strategis bagi ambisi panjang mereka:
menguasai Mesir, Palestina, dan kelak Israel.
Ke depan, kelompok itu, tampaknya, akan
memainkan peran ”besar” di wilayah konflik tersebut. Apalagi, mereka juga
didukung para eks militer Mesir yang memiliki pengalaman tempur memadai di
berbagai wilayah konflik di Timur Tengah. Para kombatan eks militer Mesir itu
adalah orang-orang yang biasanya keluar dari tentara karena alasan agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar