Ketika Relawan Menjadi Dubes RI
Djoko Susilo ; Mantan Dubes RI untuk Swiss
|
JAWA
POS, 19 Agustus 2015
KEMENTERIAN Luar Negeri RI mendapat kado
istimewa pada hari ulang tahun ke-70 yang jatuh hari ini (Rabu, 19 Agustus).
Kado istimewa itu berupa daftar nama 33 calon duta besar (Dubes) RI yang
sepertiganya (11 orang) merupakan mantan anggota tim relawan Jokowi-JK dalam
pilpres tahun lalu.
Daftar nama tersebut sudah lama menjadi
gunjingan atau rasan-rasan di kalangan korps diplomatik RI. Sebab, baru kali
ini ’’campur tangan’’ presiden terhadap korps diplomat profesional terjadi
terlalu jauh dan dalam jumlah yang signifikan, yakni dengan mengajukan calon
Dubes nonkarir sampai hampir 33 persen dari pos yang akan diisi.
Memang, tidak ada aturan tertulis yang
dilanggar dalam penunjukan calon duta besar dari kalangan relawan politik
presiden pemenang pemilu tersebut. Hanya, para diplomat menggunjingkan hal
itu karena beberapa alasan.
Pertama, sejak masa Presiden Soeharto sampai
terakhir masa kepresidenan SBY, terdapat kesepahaman antara Komisi I DPR dan
Kemenlu bahwa jumlah Dubes nonkarir dalam setiap angkatan hanya 10–15 persen.
Hal itu dilakukan untuk menjaga tidak terganggunya perencanaan karir korps
diplomatik RI yang harus berjuang puluhan tahun guna mencapai jabatan Dubes
yang merupakan puncak karir seorang diplomat.
Kedua, pengangkatan duta besar dari kalangan
nonkarir bukan sekadar balas jasa politik, tetapi juga mempertimbangkan
pengalaman yang bersangkutan.
Namun, kali ini, Presiden Jokowi dinilai telah
kebablasan dalam memaksakan kehendaknya. Memang benar bahwa seorang duta
besar adalah wakil pribadi seorang kepala negara sekaligus mewakili
pemerintah negaranya. Penunjukan seseorang untuk menjadi duta besar adalah
hak prerogatif presiden, sama dengan pengangkatan seseorang menjadi menteri
atau anggota kabinet. Jadi, presiden memang mempunyai kuasa mutlak. Namun,
kuasa mutlak presiden tentu harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan
berbagai faktor. Misalnya, kualitas calon, pengalaman profesional, dan
beberapa aspek non politis lainnya.
Penunjukan para calon duta besar tahun ini
merupakan yang pertama dilakukan Jokowi. Beberapa waktu lalu, dia melantik
sejumlah duta besar RI. Namun, proses seleksi dan pengangkatannya masih di
bawah Presiden SBY. Hampir tidak ada masalah yang berarti, kecuali hanya duta
besar RI Totok Riyanto yang mengalami penundaan ketika akan menyerahkan surat
kepercayaan kepada presiden Brasil lantaran eksekusi gembong narkoba asal
negara itu. SBY selama ini menyerahkan proses seleksi sepenuhnya di Kemenlu
dengan sedikit pengecualian. Karena itu, hampir tidak pernah timbul keresahan
atau gejolak di kalangan para diplomat karir di Pejambon.
Seleksi kali ini menimbulkan sejumlah
keresahan lantaran sedikitnya dua hal. Konon, semula Jokowi menghendaki
separo calon duta besar berasal dari para relawan atau pendukungnya. Dia pun
menghendaki mereka ditempatkan di pospos strategis seperti PBB di New York,
Jenewa, atau negara-negara besar seperti Rusia, Belanda, dan London. Lebih
rumit, beberapa kelompok relawan, kabarnya, mengirimkan nama-nama tokohnya
untuk menjadi Dubes langsung ke Kemenlu tanpa koordinasi ke Sekretariat
Negara sebagaimana lazimnya selama ini.
Menlu Retno Marsudi, sebagai diplomat karir,
memproses dan menyeleksi calon Dubes melalui proses baku, yakni melalui
lembaga ’’baperjakat’’ (badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan) Kemenlu.
Tentu, daftarnya sesuai dengan persepsi kepentingan diplomasi RI. Daftar
tersebut ditolak Jokowi karena jatah relawan kurang banyak. Akhirnya, setelah
bolak-balik, dihasilkan 33 nama yang 11 di antaranya berasal dari para
relawan.
Memang, di antara sejumlah nama relawan yang
diajukan Jokowi, ada yang tepat dan sangat layak menduduki pos yang
diusulkan. Misalnya, Dr Rizal Sukma yang saat ini menjabat direktur eksekutif
CSIS dan ketua Biro Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah. Rizal diajukan
untuk menjadi calon duta besar untuk UK merangkap Republik Irlandia.
Namun, beberapa nama lainnya kurang memenuhi
kriteria minimal sebagai calon duta besar. Pengalamannya hanya aktif dalam
sebuah ormas dan kemudian menjadi relawan Jokowi.
Tentu, hal yang demikian menjadi keprihatinan
sebagian kalangan korps diplomatik. Sebab, duta besar adalah wakil negara dan
bangsa. Kalaupun dia tidak berasal dari diplomat karir, diharapkan calon yang
bersangkutan menunjukkan kapasitas sebagai calon diplomat dan memiliki
pengetahuan dasar diplomasi yang mumpuni.
Banyaknya relawan Jokowi sebagai calon Dubes
nonkarir jelas meresahkan kalangan diplomat karir. Gelombang pertama yang
’’hanya’’ 30 persen kabarnya akan disusul badai yang lebih dahsyat.
Sebenarnya, kalangan korps diplomat karir bisa
menerima penunjukan Dubes nonkarir sebagai hak prerogratif presiden. Tetapi,
hak tersebut semestinya tidak digunakan secara semena-mena. Pertama, calon
yang diangkat mesti menunjukkan kualitas minimal calon diplomat. Kecakapan
bahasa asing, khususnya Inggris, harus paripurna.
Kedua, calon memiliki pengalaman profesional
di bidangnya secara memadai. Ketiga, jumlah alokasi tidak sangat besar hingga
mencapai sepertiga angkatan atau lebih.
Sudah seharusnya Presiden Jokowi memikirkan
kepentingan diplomasi dan politik luar negeri Indonesia secara komprehensif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar