Tuhan Bersama Traveler
I Dewa Gde Satrya ; Dosen International Hospitality &
Tourism Business
di Universitas Ciputra Surabaya
|
JAWA
POS, 20 Agustus 2015
“ The world is a book
and those who do not travel read only one page.’’ (St. Augustine)
KUTIPAN tersebut melekat di benak traveler,
menyeruak ke permukaan menyertai dua kabar duka dari dunia pariwisata:
jatuhnya pesawat Trigana Air di Papua dan serangan bom di Kuil Erawan,
Bangkok, Thailand. Perjalanan udara ke Papua memang dikenal melalui medan
yang menantang, tetapi tak pernah menghilangkan tekad para penyuka perjalanan
untuk menggapai daerah di ujung timur Nusantara itu.
Demikian pula Thailand. Destinasi wisata yang
eksotis dan khas itu menjadi pilihan jutaan traveler di seluruh dunia. Pada
2013, Thailand menerima kunjungan wisatawan internasional yang terbanyak dari
97 juta wisatawan internasional yang masuk kawasan Asia Tenggara.
Berdasar laporan Asia Pacific Visitor Arrival
Forecasts 2014–2018 yang dikeluarkan Pacific Asia Travel Association (PATA),
Thailand menerima kunjungan wisatawan internasional hingga 26,5 juta. Lalu,
disusul Malaysia di angka 26,3 juta. Urutan ketiga adalah Singapura dengan
angka kunjungan 15,6 juta.
Indonesia berada di urutan keempat dengan
angka 8,3 juta. Vietnam berada di urutan berikutnya dengan angka kunjungan
7,4 juta. Lalu, Filipina (4,4 juta) dan Kamboja (4,3 juta). Posisi akhir
ditempati Laos (3,9 juta) dan Myanmar (800 ribu).
Perjalanan wisata merupakan proses menempa diri
menjadi pribadi yang matang, peka terhadap lingkungan, menghargai
kemanusiaan, dan di atas segalanya menghargai kehidupan. Dalam keseharian,
traveler dengan pengalaman dan rencana perjalanannya seakan mencari
kesempurnaan hidup lewat interaksi dengan beragam setting wilayah/ alam,
manusia, dan kebudayaan.
Semakin tinggi ’’jam terbang’’ dan rute
perjalanan seseorang, kegiatan perjalanan tidak sekadar bersenangsenang (
leisure), tetapi lebih pada pemenuhan jiwa. Tak sedikit ’’ traveler senior’’
yang dikenal sebagai pribadi yang hangat, rendah hati, dan tentu saja
menyenangkan.
Secara filosofi, traveler melatih diri menjadi
insan-insan humanis yang tampak pada sosok the liberal ironist menurut
gagasan filsuf Richard Rorty. The liberal ironist alias manusia ironis
liberal digambarkan sebagai manusia liberal yang hanya mengakui satu tuntutan
dasar etika: Jangan menyakiti makhluk lain, jangan melukai atau membuat orang
lain terhina.
Dan, sebagai manusia ironis, dia sadar bahwa
keyakinan-keyakinannya yang paling dalam mungkin tidak dapat dipertahankan
lagi. Artinya, fleksibilitas terhadap keselamatan dan independensi orang lain
patut dikembangkan dan menjadi kepemilikan bersama.
Kombinasi antara sikap ironis terhadap diri
sendiri dan sikap yang menolak untuk –atas dasar prinsip apa pun– melukai
orang lain adalah inti segenap moralitas yang humanis (Franz Magnis-Suseno
dalam Pijar-Pijar Filsafat, 2005: 39).
Hemat saya, pandangan tersebut merupakan
esensi yang implisit dalam setiap diri traveler, implisit dalam setiap
kesibukan dan upaya melakukan perjalanan wisata. Sedikit bukti traveler yang
’’haus’’ dengan pemenuhan jiwanya ada dalam sosok Elizabeth Gilbert yang
masyhur lewat buku Eat, Pray, Love.
Perjalanan wisata bagi manusia modern menjadi
’’kegiatan spiritual’’ untuk menemukan Sang Keindahan dalam setiap destinasi.
Itulah cara yang membuat kehidupan menjadi rukun damai.
Orang tidak bersikukuh dengan kebenaran
dirinya dan meremehkan keyakinan kebenaran orang lain. Perjumpaan dengan
banyak orang dari berbagai latar belakang menjadikan traveler melihat
kehidupan sebagai keindahan. Dalam bingkai yang lebih luas, kesadaran setiap
manusia melihat keanekaragaman kehidupan sebagai keindahan adalah dasar
terciptanya perdamaian dunia.
Pembelajaran lintas budaya dan religiusitas
mengandaikan perjumpaan dan interaksi lintas budaya melalui perjalanan wisata
dari satu budaya ke budaya yang lain, dari satu negara ke negara yang lain.
Dan, itu terakomodasi lewat traveling.
United Nation World
Tourism Organization melalui kampanye ’’Satu Miliar Turis, Satu Miliar Peluang’’
menginterpretasikan kerinduan umat manusia bahwa lalu lintas manusia di muka
bumi untuk kepentingan pariwisata merupakan sarana atau katalisator untuk
membangun pemahaman, mendorong inklusi sosial, serta meningkatkan kelayakan
standar hidup. Hal itu juga dituangkan lewat tema dan fokus perayaan World Tourism Day pada 27 September
2009 yang dipusatkan di Ghana, Afrika Selatan, dengan mengangkat tajuk ’’Tourism-Celebrating Diversity’’.
Budaya Kehidupan
Kiranya motivasi perjalanan wisata dan potret
kerinduan dalam benak setiap traveler, khususnya wisatawan yang menjadi
korban serangan bom di Kuil Erawan, tak jauh dari hal tersebut. Motif serupa
juga terkuak di antara penumpang Malaysia Airlines MH17 yang jatuh oleh roket
antipesawat di Ukraina Timur di daerah Torez, dekat Kota Shakhtarsk, Donetsk,
pertengahan Juli tahun lalu, maupun WNI yang menjadi korban AirAsia QZ 8501.
Traveler dan kegiatan traveling adalah potret
perayaan serta ungkapan syukur atas kehidupan, sebagai antitesis budaya kematian.
Wisatawan di Kuil Erawan maupun penumpang MH17 yang tidak bersalah dan tidak
punya hubungan dengan sengketa Rusia-Ukraina, yang melakukan perjalanan untuk
tujuan liburan, harus menghadapi orang-orang yang menggandrungi budaya
kematian. Mereka hanyalah ingin berlibur.
Di antara penumpang AirAsia QZ8501, ada
ungkapan syukur atas kehidupan pada tahun yang lama dan menatap tahun yang
baru di Singapura. Di antara penumpang MH17, ada ibu dan anak, Gary Slok, 15,
dan Petra, yang tampak begitu bahagia saat berfoto di MH17 sebelum lepas
landas. Petra telah lama merencanakan momen liburan bersama anaknya, Gary,
yang merupakan kiper berbakat di tim sepak bola kecil di Maasluis, Belanda.
Mereka, para traveler, lewat perjalanan
wisatanya telah membuka lembar demi lembar buku kehidupan. Lewat traveling
pula, kita tahu buku kehidupan ini semakin lama semakin menarik untuk dibaca,
dihidupi dan disyukuri. Tentu, syukur kepada Sang Kehidupan atas
penyertaanNya kepada kita, para peziarah, para traveler kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar