Kekeringan Mengancam Petani
Bagong Suyanto ;
Dosen Program Pascasarjana FISIP Universitas
Airlangga
|
JAWA
POS, 14 Agustus 2015
PADA 2015 ini, ancaman kekeringan yang melanda
Indonesia diprediksi terjadi lebih panjang dan lebih parah daripada tahun
lalu. Berdasar perkiraan BMKG, "hari tanpa hujan" yang berlangsung
sejak Juni akan terus terjadi hingga November. Sehingga potensi terjadinya
ancaman puso akan makin besar.
Di berbagai daerah, perubahan iklim yang
ekstrem tidak hanya memicu terjadinya bencana kekeringan yang berkepanjangan,
tetapi juga memengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat. Pada September
hingga Oktober, sekitar 2 juta hektare sawah yang masuk musim panen bulan
depan diperkirakan terancam kekurangan suplai air. Ancaman kekeringan yang
berkepanjangan ini, jika tidak segera diantisipasi risiko atau dampak yang
ditimbulkannya, bukan tidak mungkin akan mengganggu kelangsungan hidup
masyarakat dan petani pada khususnya.
Akibat yang Terjadi
Pengalaman dalam lima tahun terakhir telah
banyak mengajarkan, ketika perubahan iklim tidak diantisipasi, yang terjadi
kemudian adalah hasil panen menurun, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas. Sebagian tanaman mungkin akan hancur sehingga semakin sulit
menghasilkan tanaman pangan yang baik. Di sisi lain, tingkat kesuburan
sebagian tanah juga akan berkurang sehingga tidak dapat digunakan sebagai
lahan pertanian.
Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas), selama abad ke-20, Indonesia mengalami peningkatan suhu
rata-rata udara di permukaan tanah 0,5 derajat Celsius. Jika dibandingkan
dengan periode 1961 hingga 1990, rata-rata suhu di Indonesia diproyeksikan
meningkat 0,8 sampai 1,0 derajat Celsius antara 2020 hingga 2050. Perubahan
suhu yang makin meningkat itu sudah barang tentu adalah dampak perubahan
iklim yang terjadi di bumi.
Dewasa ini, salah satu akibat yang dirasakan
masyarakat gara-gara perubahan iklim adalah harga pangan yang meningkat.
Sebab, jumlah hasil tanaman pangan, mulai jagung hingga gandum, beras hingga
kapas, diprediksi menurun hingga 30 persen. Di sejumlah daerah, hukum yang
berlaku tentu adalah hukum ekonomi, yakni makin sedikit jumlah bahan yang
tersedia, ketika permintaan menolak atau tetap, harga pun kemudian terkatrol
naik.
Hasil studi terbaru yang dilakukan LPPM
Universitas Airlangga (2015) terhadap 500 petani di sejumlah daerah di
Provinsi Jawa Timur menemukan, akibat-akibat yang paling dirasakan masyarakat
petani karena terjadinya kekeringan yang berkepanjangan adalah sebagai
berikut. Pertama, hasil panen petani berkurang drastis (91,6 persen) akibat
tiadanya dukungan saluran irigasi dan hujan yang cukup.
Di berbagai daerah, air makin sulit didapat
karena embung-embung tidak terisi air dan hujan tak juga turun. Di daerah
sentra pertanian, sering kali ditemui output sektor pertanian turun seiring
dengan adanya dampak perubahan iklim. Selain itu, perubahan iklim yang
ekstrem tak jarang mengakibatkan panenan menjadi terganggu dan banyak petani
kesulitan untuk dapat bercocok tanam dengan baik.
Kedua, kualitas hasil panen juga menurun (82,2
persen) karena selama masa perawatan hingga musim panen sawah-sawah petani
tidak lagi memperoleh pasokan air yang memadai. Selain jumlah hasil panen,
kualitas panenan juga menurun, yang ujung-ujungnya mengakibatkan harga jual
komoditas pertanian yang dihasilkan ikut turun.
Ketiga, terjadi kenaikan biaya produksi (80
persen) karena petani mau tidak mau menambah pasokan pupuk dan mengeluarkan
sejumlah dana untuk dapat memperoleh air melalui penggunaan pompa maupun membeli
air dari petani lainnya. Petani yang lokasi sawahnya jauh dari saluran
irigasi niscaya mengeluarkan dana yang lebih besar jika tidak ingin sawahnya
kekeringan.
Mengantisipasi
Di berbagai daerah, masyarakat umumnya telah
mengembangkan langkah-
langkah adaptasi inovatif untuk menghadapi perubahan
iklim. Di bidang pertanian, upaya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim
bisa dilakukan dengan melakukan restorasi sektor pertanian dan mengembangkan
sektor pertanian yang ramah lingkungan, yang memanfaatkan bahan alami,
menghindari penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, atau mencoba menerapkan
pertanian organik.
Untuk mendukung perkembangan pertanian yang
berkelanjutan, selain dengan cara pembuatan sumur resapan di permukiman,
hutan, dan daerah di sekitar lahan pertanian, yang tak kalah penting adalah
bagaimana menjaga pasokan sumber mata air agar tetap lestari. Sejumlah
langkah yang perlu dilakukan adalah bagaimana mendorong efisiensi pemanfaatan
air tanah, mencegah pencemaran air di wilayah hulu maupun hilir, melakukan
konservasi daerah tangkapan air untuk mendukung penyimpanan dan isi ulang
air, perlindungan mata air, serta mendorong munculnya penganekaragaman sumber
daya air.
Mengantisipasi ancaman dan dampak kekeringan
yang berkepanjangan harus diakui bukan hal yang mudah. Selain rekayasa dan
upaya teknis-planologis, upaya yang tak kalah penting adalah bagaimana
membangun kemampuan petani agar lebih kenyal dan makin mampu beradaptasi
menyikapi ancaman perubahan iklim ekstrem. Tanpa didukung kemampuan petani
yang makin tangguh menyiasati perubahan iklim dan musim kering yang
berkepanjangan, niscaya ancaman krisis pangan hanya soal waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar