Menolak Megaproyek Ambisius DPR
Joko Wahyono ; Analis Studi Politik di Lembaga Pengkajian
Teknologi dan Informasi (LPTI) Pelataran Mataram Jogjakarta
|
JAWA
POS, 24 Agustus 2015
HUJAN kritik hampir tak pernah berhenti
mengguyur dan mendera para anggota dewan di Senayan. Mereka hampir tak pernah
sepi dari kritik, bahkan gugatan. Belakangan wakil rakyat itu berencana
membangun tujuh proyek di kompleks gedung DPR.
Tujuh proyek ambisius senilai Rp 1,5 triliun
dari APBNP 2015 tersebut adalah gedung museum dan perpustakaan, alun-alun
demokrasi, akses tamu ke gedung DPR, visitor center, ruang pusat kajian
legislasi, ruang anggota dan staf, serta integrasi kawasan tempat tinggal dan
tempat kerja anggota DPR.
Namun, Presiden Jokowi pada Jumat (14/8) menolak
menandatangani prasasti yang disiapkan sebagai simbol peresmian dimulainya
pembangunan megaproyek DPR itu. Tapi, Wakil Ketua DPR yang juga Ketua Tim
Implementasi Reformasi Parlemen Fahri Hamzah menilai penolakan itu lebih
disebabkan persoalan teknis agar konsep pengerjaan tujuh proyek DPR tersebut
jelas arahnya. Sebab, menurut Fahri, Presiden Jokowi telah berjanji
meresmikan proyek itu dengan terlebih dahulu meminta penjelasan DPR. Kendati
demikian, masyarakat memiliki penilaian tersendiri.
Di tengah kondisi perlambatan ekonomi, gejolak
harga-harga kebutuhan pokok, dan ancaman beragam bencana akibat fenomena El
Nino, jelas rencana megaproyek DPR tersebut mencederai rasa keadilan
masyarakat. Apa urgensinya? Apakah fasilitas itu sudah menjadi kebutuhan mendesak
yang memang harus ”ada” untuk menunjang kinerja DPR? Ataukah justru itu hanya
semacam proyek ”mengada-ada”: ikonik, simbolis, atributif, sekadar untuk
mengejar prestise (gengsi) yang itu hanya bersifat dekorati-fornamental?
Alasan membangun ruangan gedung DPR untuk
menampung lebih banyak staf justru mengindikasikan bahwa anggota dewan yang
terpilih bukanlah orang yang benar-benar siap bekerja. Untuk tugas-tugas
legislatif, mereka harus dibantu banyak staf.
Jika demikian, masyarakat akan semakin sulit
memberikan apresiasi positif terhadap kinerja wakilwakil mereka. Pembangunan
megaproyek DPR semakin melucuti citra, memerosotkan tingkat kepercayaan dan
kepuasan publik terhadap DPR, sebagaimana tecermin dalam berbagai survei
persepsi publik selama ini. Poltracking pada Maret 2015 mencatat tingkat
ketidakpuasan publik terhadap kinerja DPR menempati urutan tertinggi (66,5
persen), kemudian disusul parpol (63,5 persen) dan Polri (55,9 persen).
Ketidakpuasan dan defisit kepercayaan publik
terhadap DPR ini wajar. Sebab, mereka masih gemar mengumbar kegaduhan politik
yang tidak substansial dan berefek bagi kemaslahatan serta mengaburkan
problem-problem kerakyatan dan kebangsaan.
Apalagi jika dikaitkan dengan fungsi pokok DPR
(legislasi, pengawasan, dan anggaran) yang masih jauh dari harapan. Bukannya
bekerja keras untuk melahirkan produk legislasi yang berorientasi pada
kepentingan publik, DPR sering kali malah mereduksi fungsi pokoknya itu
sendiri.
Sejauh ini hampir tidak ada aktivitas
signifikan yang melahirkan gagasan besar dari anggota dewan, kecuali bualan
retorika dangkal yang tidak paralel dengan tindakan politik harian. Kita
belum melihat terobosan-terobosan politik (baru) untuk mempercepat
konsolidasi agenda publik. Sebaliknya, perhelatan politik di DPR justru lebih
mencerminkan gejala meninggalkan rakyat serta memperjuangkan kepentingan
domestik parpol dan elite politik di dalamnya.
Megaproyek DPR menjadi bentangan empiris,
potret paradoksal wakil rakyat yang melawan nalar publik. Semangat untuk
”membangun” fasilitas DPR sama sekali tidak memiliki korelasi langsung dengan
kepentingan publik. Tidak salah jika publik keras menolak megaproyek DPR
tersebut. Itulah konsekuensi logis lembaga perwakilan rakyat yang mengalami
degradasi kepercayaan dari rakyat.
Karena itu, anggota dewan yang terhormat
tersebut harus kita ingatkan. Masdar Hilmy (2014) mengatakan, perhelatan
politik di gedung DPR sejatinya merupakan miniatur perhelatan politik di
tingkat negara-bangsa. Tugas menjadi anggota DPR di negara demokrasi, sebagaimana
kata Chantal Mouffe (2001), adalah untuk agregasi politik. Parlemen menjadi
wadah untuk menampung berbagai macam kepentingan publik yang saling
bertentangan guna dipertemukan melalui proses deliberasi rasional yang
disebut musyawarah.
Dalam konsepsi ini, segala bentuk aspirasi
yang bersifat publik (bukan domestik), yang ekstrem sekalipun, akan
dimoderasikan melalui proses deliberatif-rasional di parlemen. Tugas anggota
DPR adalah menganalisis, mengurai, dan menyelesaikan setiap persoalan yang muncul
di tingkat kebangsaan dan kenegaraan, kemudian dilaksanakan jajaran eksekutif
di tingkat praksis.
Gedung parlemen beserta segala atribut dan
aktivitas politiknya merupakan ”laboratorium” bersama untuk membahas berbagai
persoalan penting yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebijakan yang lahir dari anggota dewan hakikatnya mengartikulasikan
kebutuhan rakyat. Kebijakan tersebut haruslah punya legitimasi yang tidak
semata dibenarkan aturan perundang-undangan, tetapi juga legitimasi norma, nilai,
etika, dan moralitas publik.
Moralitas publik adalah kepastian bahwa
perhelatan politik di DPR harus dijangkarkan pada kebenaran yang bersumber
dari hati nurani, akal sehat, dan aspirasi publik. Artinya, seluruh hak
politik dan fasilitas, termasuk pem bangunan tujuh fasilitas DPR tersebut,
haruslah mendapat tautan legitimasi dan orientasi langsung terhadap kebutuhan
publik. Jika tidak, itu akan semakin mendelegitimasi DPR sebagai institusi
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar