Sabtu, 29 Agustus 2015

Menolak Megaproyek Ambisius DPR

Menolak Megaproyek Ambisius DPR

Joko Wahyono  ;  Analis Studi Politik di Lembaga Pengkajian Teknologi dan Informasi (LPTI) Pelataran Mataram Jogjakarta
                                                      JAWA POS, 24 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HUJAN kritik hampir tak pernah berhenti mengguyur dan mendera para anggota dewan di Senayan. Mereka hampir tak pernah sepi dari kritik, bahkan gugatan. Belakangan wakil rakyat itu berencana membangun tujuh proyek di kompleks gedung DPR.

Tujuh proyek ambisius senilai Rp 1,5 triliun dari APBNP 2015 tersebut adalah gedung museum dan perpustakaan, alun-alun demokrasi, akses tamu ke gedung DPR, visitor center, ruang pusat kajian legislasi, ruang anggota dan staf, serta integrasi kawasan tempat tinggal dan tempat kerja anggota DPR.

Namun, Presiden Jokowi pada Jumat (14/8) menolak menandatangani prasasti yang disiapkan sebagai simbol peresmian dimulainya pembangunan megaproyek DPR itu. Tapi, Wakil Ketua DPR yang juga Ketua Tim Implementasi Reformasi Parlemen Fahri Hamzah menilai penolakan itu lebih disebabkan persoalan teknis agar konsep pengerjaan tujuh proyek DPR tersebut jelas arahnya. Sebab, menurut Fahri, Presiden Jokowi telah berjanji meresmikan proyek itu dengan terlebih dahulu meminta penjelasan DPR. Kendati demikian, masyarakat memiliki penilaian tersendiri.

Di tengah kondisi perlambatan ekonomi, gejolak harga-harga kebutuhan pokok, dan ancaman beragam bencana akibat fenomena El Nino, jelas rencana megaproyek DPR tersebut mencederai rasa keadilan masyarakat. Apa urgensinya? Apakah fasilitas itu sudah menjadi kebutuhan mendesak yang memang harus ”ada” untuk menunjang kinerja DPR? Ataukah justru itu hanya semacam proyek ”mengada-ada”: ikonik, simbolis, atributif, sekadar untuk mengejar prestise (gengsi) yang itu hanya bersifat dekorati-fornamental?

Alasan membangun ruangan gedung DPR untuk menampung lebih banyak staf justru mengindikasikan bahwa anggota dewan yang terpilih bukanlah orang yang benar-benar siap bekerja. Untuk tugas-tugas legislatif, mereka harus dibantu banyak staf.

Jika demikian, masyarakat akan semakin sulit memberikan apresiasi positif terhadap kinerja wakilwakil mereka. Pembangunan megaproyek DPR semakin melucuti citra, memerosotkan tingkat kepercayaan dan kepuasan publik terhadap DPR, sebagaimana tecermin dalam berbagai survei persepsi publik selama ini. Poltracking pada Maret 2015 mencatat tingkat ketidakpuasan publik terhadap kinerja DPR menempati urutan tertinggi (66,5 persen), kemudian disusul parpol (63,5 persen) dan Polri (55,9 persen).

Ketidakpuasan dan defisit kepercayaan publik terhadap DPR ini wajar. Sebab, mereka masih gemar mengumbar kegaduhan politik yang tidak substansial dan berefek bagi kemaslahatan serta mengaburkan problem-problem kerakyatan dan kebangsaan.

Apalagi jika dikaitkan dengan fungsi pokok DPR (legislasi, pengawasan, dan anggaran) yang masih jauh dari harapan. Bukannya bekerja keras untuk melahirkan produk legislasi yang berorientasi pada kepentingan publik, DPR sering kali malah mereduksi fungsi pokoknya itu sendiri.

Sejauh ini hampir tidak ada aktivitas signifikan yang melahirkan gagasan besar dari anggota dewan, kecuali bualan retorika dangkal yang tidak paralel dengan tindakan politik harian. Kita belum melihat terobosan-terobosan politik (baru) untuk mempercepat konsolidasi agenda publik. Sebaliknya, perhelatan politik di DPR justru lebih mencerminkan gejala meninggalkan rakyat serta memperjuangkan kepentingan domestik parpol dan elite politik di dalamnya.

Megaproyek DPR menjadi bentangan empiris, potret paradoksal wakil rakyat yang melawan nalar publik. Semangat untuk ”membangun” fasilitas DPR sama sekali tidak memiliki korelasi langsung dengan kepentingan publik. Tidak salah jika publik keras menolak megaproyek DPR tersebut. Itulah konsekuensi logis lembaga perwakilan rakyat yang mengalami degradasi kepercayaan dari rakyat.

Karena itu, anggota dewan yang terhormat tersebut harus kita ingatkan. Masdar Hilmy (2014) mengatakan, perhelatan politik di gedung DPR sejatinya merupakan miniatur perhelatan politik di tingkat negara-bangsa. Tugas menjadi anggota DPR di negara demokrasi, sebagaimana kata Chantal Mouffe (2001), adalah untuk agregasi politik. Parlemen menjadi wadah untuk menampung berbagai macam kepentingan publik yang saling bertentangan guna dipertemukan melalui proses deliberasi rasional yang disebut musyawarah.

Dalam konsepsi ini, segala bentuk aspirasi yang bersifat publik (bukan domestik), yang ekstrem sekalipun, akan dimoderasikan melalui proses deliberatif-rasional di parlemen. Tugas anggota DPR adalah menganalisis, mengurai, dan menyelesaikan setiap persoalan yang muncul di tingkat kebangsaan dan kenegaraan, kemudian dilaksanakan jajaran eksekutif di tingkat praksis.

Gedung parlemen beserta segala atribut dan aktivitas politiknya merupakan ”laboratorium” bersama untuk membahas berbagai persoalan penting yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebijakan yang lahir dari anggota dewan hakikatnya mengartikulasikan kebutuhan rakyat. Kebijakan tersebut haruslah punya legitimasi yang tidak semata dibenarkan aturan perundang-undangan, tetapi juga legitimasi norma, nilai, etika, dan moralitas publik.

Moralitas publik adalah kepastian bahwa perhelatan politik di DPR harus dijangkarkan pada kebenaran yang bersumber dari hati nurani, akal sehat, dan aspirasi publik. Artinya, seluruh hak politik dan fasilitas, termasuk pem bangunan tujuh fasilitas DPR tersebut, haruslah mendapat tautan legitimasi dan orientasi langsung terhadap kebutuhan publik. Jika tidak, itu akan semakin mendelegitimasi DPR sebagai institusi demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar