NU, Demokrasi, dan Kepemimpinan Karismatis
Fajar Kurnianto ;
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
(PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta
|
JAWA
POS, 07 Agustus 2015
DEMOKRASI tidak menafikan adanya perdebatan,
pertentangan, hingga ketegangan antarpihak yang berkepentingan di dalamnya.
Di titik ini, tidak ada persoalan. Yang justru jadi tantangan adalah
bagaimana mengelola semua itu sehingga tidak menimbulkan ekses negatif secara
individual maupun organisasional.
Di sinilah sikap lapang dada dan bijaksana
menjadi penentu. Dalam beberapa hal, keberadaan sosok yang punya karisma
kepemimpinan ( charismatic leadership) yang menjadi penengah juga ikut
menentukan.
Richard Hull (1999) mengatakan, kepemimpinan
adalah kemampuan memengaruhi pendapat, sikap, dan perilaku orang lain. Ini
berarti bahwa setiap orang mampu mengatur dan memengaruhi orang lain untuk
mencapai tujuan bersama dan dapat berfungsi sebagai pemimpin.
Kepemimpinan ( leadership) merupakan proses
yang harus ada danperludiadakandalamkehidupan manusia selaku makhluk sosial.
Hidup bermasyarakat memerlukan pemimpin dan kepemimpinan. Kepemimpinan dapat
menentukan arah atau tujuan yang dikehendaki dan dengan cara bagaimana arah
atau tujuan tersebut dapat dicapai.
Kegaduhan yang sempat terjadi di Muktamar
Ke-33 Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), Jombang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu
bisa dicermati sebagai sebuah kenyataan dan dinamika serta proses demokrasi
dalam berorganisasi. Dan, itu berhasil dilewati dengan baik setelah KH
Mustofa Bisri kembali terpilih sebagai rais am NU, meski kemudian menolaknya,
yang dianggap salah satu sosok karismatis di NU. Gus Mus, demikian dia biasa
disapa, mengimbau semua peserta muktamar untuk tenang, tertib, dan
menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin. Imbauan ini berhasil, kondisi
pun kembali normal.
Demokrasi memang perlu sosok pemimpin
karismatis yang bisa membuat situasi menjadi kondusif, tenang, dan berjalan
lancar, meski tidak sama sekali melenyapkan segala pertentangan di dalamnya
(disensus). Pemimpin karismatis menampilkan ciriciri: memiliki visi yang amat
kuat atau kesadaran tujuan yang jelas, mengomunikasikan visi itu secara
efektif, mendemonstrasikan konsistensi dan fokus, serta mengetahui
kekuatan-kekuatan sendiri dan memanfaatkannya.
Karismatis dalam bahasa Yunani berarti
’’karunia diinspirasi Ilahi’’. Orang-orang yang karismatis memiliki daya
tarik tersendiri bagi orang-orang yang ada di sekitarnya sehingga membuat
mereka secara tidak sadar mengikuti sosok karismatis tersebut. Kepemimpinan karismatis
membuat para anggota yang dipimpinnya mengikuti inovasi-inovasi yang diajukan
pemimpin ini. Ada dua tipe pemimpin karismatis: karismatis visioner dan
karismatis di masa krisis (Ivancevich, 2007).
Pemimpin karismatis visioner mengaitkan
kebutuhan dan target dari pengikutnya dengan target atau tugas dari
organisasi. Pemimpin karismatis visioner juga memiliki kemampuan untuk
melihat sebuah gambar besar dan peluang yang ada pada gambar besar tersebut
(Barbara Mackoff dan Wenet, 2001).
Tipe pemimpin karismatis di masa krisis akan
menunjukkan pengaruhnya ketika sistem harus menghadapi situasi di mana
pengetahuan, informasi, dan prosedur yang ada tidak mencukupi (Ian I.
Mirtoff, 2004). Pemimpin jenis ini mengomunikasikan dengan jelas tindakan apa
yang harus dilakukan dan apa konsekuensi yang dihadapi.
House (1977) menyatakan, karisma seorang
pemimpin mampu memberikan sesuatu yang sangat besar dan efek yang sangat luar
biasa bagi bawahannya. Mereka meyakini bahwa keyakinan seorang pemimpin itu
adalah benar.
Mereka menerima pendapat pemimpin tanpa pernah
mempertanyakan alasannya. Mereka menyayangi pemimpin mereka dan terlibat
secara emosi dalam misi organisasi. Mereka menjadi sangat yakin bahwa mereka
mampu memberikan kontribusi yang lebih terhadap tujuan organisasi.
Kepemimpinan karismatis, menurut Max Weber,
adalah salah satu dari tiga bentuk kekuasaan. Pertama, kekuasaan tradisional
atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada ( established) pada kesucian
tradisi kuno.
Kedua, kekuasaan yang rasional atau berdasar
hukum (legal) yang didasarkan atas kepercayaan terhadap legalitas
peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang memegang kedudukan, yang
berkuasa berdasar peraturan-peraturan untuk mengeluarkan perintah. Ketiga,
kekuasaan karismatis yang didapatkan atas pengabdian diri atas kesucian,
sifat kepahlawanan atau yang patut dicontoh dari ketertiban atas
kekuasaannya.
Jam’iyah NU kental sekali dengan sosok-sosok
pemimpin karismatis. Secara tradisional, mereka adalah para kiai yang
memiliki sekaligus memimpin pondok-pondok pesantren, terutama pondok-pondok
pesantren tertua. Mereka biasanya disebut dengan ’’kiai khos’’ atau ’’kiai
sepuh’’.
Mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kerap
kali menyebut mereka. Mereka ini disebut-sebut ikut andil dalam menentukan
kebijakan Gus Dur, baik saat menjadi presiden, ketua Dewan Syura PKB, maupun
ketua PB NU. Sebagai salah satu tradisi santri, Gus Dur sangat menghormati
dan memuliakan mereka.
Secara organisasional NU, para kiai karismatis
itu ada dalam struktur kepengurusan syuriah, ada juga yang tidak. Peran
mereka begitu penting, sehingga sejauh ini NU secara organisasi dapat
berjalan di atas visi para pendirinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar