Tafsir Reshuffle Kabinet Jokowi-JK
M Qodari ;
Direktur Eksekutif Indo Barometer Jakarta
|
JAWA
POS, 13 Agustus 2015
TEKA-TEKI reshuffle Kabinet Jokowi-JK akhirnya
terjawab pada Rabu, 12 Agustus 2015, pukul 13.00 WIB. Jokowi mengganti tiga Menko
(Menkopolhukam, Menko Perekonomian, Menko Kemaritiman), dua menteri (menteri
bappenas dan menteri perdagangan), plus sekretaris kabinet.
Setiap reshuffle terjadi, umumnya orang akan
menilai dari dua aspek: kinerja dan konstelasi politik. Bagaimana kita
membaca aspek kinerja dan konstelasi politik dalam reshuffle kali ini?
Soal kinerja, pertama-tama menarik melihat
bahwa reshuffle kali ini melibatkan begitu banyak pos Menko. Rasanya belum
pernah ada presiden Indonesia yang mengganti Menko sebanyak ini sekaligus.
Dari sisi ini, kita bisa menafsirkan bahwa Presiden Jokowi sangat ingin
memperbaiki kinerja kabinetnya dengan meningkatkan koordinasi antarmenteri.
Saya pribadi memahami itu karena sesungguhnya
fungsi Menko sangat penting sebagai kepanjangan tangan presiden untuk
menyelesaikan aneka masalah koordinasi maupun sinkronisasi teknis di setiap
kementerian. Hal itulah yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
pada periode kedua pemerintahannya sangat intens dengan Menko-nya, khususnya
Menkopolhukam Djoko Suyanto dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa.
Di sisi lain, pertimbangan kemampuan
komunikasi Menko juga, tampaknya,memengaruhikeputusan presiden. Menkopolhukam
Tedjo Edy, misalnya, beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang dianggap
blunder. Contohnya, menyebut pendukung KPK sebagai ’’rakyat tidak jelas’’
–padahal, mereka tokoh masyarakat yang sangat dikenal. Atau, larangan salah
satu kubu di Golkar menyelenggarakan meusyawarah nasional (munas) di
Denpasar.
Menko Perekonomian Sofyan Djalil memang tidak
sekontroversial Tedjo. Namun, beberapa pernyataannya soal kondisi ekonomi dan
nilai tukar rupiah yang lemah –bagi sebagian kalangan– dianggap terlalu
mengentengkan masalah.
Pada titik itu, pengangkatan Menkopolhukam
yang baru, Luhut B. Panjaitan, adalah tepat. Dari segi kompetensi, Luhut
sangat relevan karena dia mantan tentara. Dia senior dan juga paham politik
karena pernah menduduki jabatan sipil, misalnya Dubes Indonesia untuk
Singapura pada zaman B.J. Habibie serta menteri perindustrian dan perdagangan
di era Gus Dur. Dia juga dikenal sebagai seorang pelobi dan punya jaringan
luas. Komunikasinya juga relatif tertata dan, yang penting, kenal dekat
Jokowi semenjak lama.
Darmin Nasution adalah pilihan yang kiranya
diterima pasar dengan baik. Citra Darmin mungkin tidak sekuat Mulyani
Indrawati yang dijuluki ’’pemain bintang’’ ekonomi Indonesia. Namun, Darmin
punya latar belakang yang sangat relevan, baik secara akademik maupun
pengalaman.
Selain sebagai mantan ketua Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia (ISEI) dan ekonom senior, Darmin lama di birokasi keuangan.
Dia juga pernah menjabat gubernur BI pada masa Presiden SBY. Diharapkan,
Darmin bisa mengatasi masalah serapan anggaran, melemahnya nilai tukar,
sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tempo yang
secepat-cepatnya.
Yang mungkin agak disoal dari segi latar
belakang adalah Rizal Ramli. Mengingat, latar belakang Rizal Ramli sebagai
ekonom. Di sisi lain, pengalaman Rizal yang pernah menjabat menteri keuangan
(2001) dan Menko Perekonomian (2000) diharapkan dapat membantu membangun
institusi Menko Kemaritiman yang merupakan kemenko baru. Kemungkinan yang
diharapkan Jokowi dari Rizal lebih kepada karakternya yang menggebugebu yang
notabene dibutuhkan suatu kementerian baru.
Soal politik, tampak jelas bahwa Jokowi ingin
mempertahankan konstelasi politik yang ada sekarang. Itu bisa kita lihat dari
tidak adanya menteri baru yang berasal dari Koalisi Merah Putih (KMP), baik
itu PAN, Golkar, maupun Gerindra. Tampaknya, Jokowi cukup yakin bisa membangun
komunikasi politik yang baik dengan KMP tanpa harus mengakomodasi mereka
dalam kabinet.
Di sisi lain, penggantian Andi Widjajanto dan
pengangkatan Pramono Anung sebagai sekretaris kabinet menunjukkan gesture
politik yang jelas bahwa Jokowi ingin memperbaiki hubungan dengan PDIP yang,
kabarnya, sempat renggang. Memang, salah satu faktor yang dituding sebagai
penyebab kerenggangan itu ’’jalur’’ komunikasi antara PDIP dan Jokowi yang
tertutup. Andi Widjajanto sendiri sering menjadi sasaran tembak kalangan
PDIP.
Pengangkatan Pramono Anung juga diharapkan
dapat memperbaiki komunikasi dengan pihak lain, bukan hanya PDIP. Senioritas
dan jaringan Pramono Anung yang luas (ingat, Pramono Anung pernah menjadi
Sekjen PDIP dan wakil ketua DPR) memungkinan hal tersebut.
Di sisi teknis, sebagai Sekkab yang baru,
Pramono harus memperbaiki administrasi Kantor Sekkab yang dianggap sering
kedodoran. Pengalaman Pramono menjadi Sekjen PDIP dapat berperan di sini.
Demikianlah, secara keseluruhan, kita melihat
benang merah reshuffle kabinet Jokowi-JK kali ini ’’memperbaiki koordinasi
kerja kabinet dan konsolidasi politik dengan PDIP’’. Dari aspek memperbaiki
koordinasi, saya punya harapan bahwa tiga menteri koordinator baru tersebut
memiliki kapasitas yang lebih menjanjikan daripada ketiga menko sebelumnya.
Untuk aspek politik, lebih sulit untuk
memastikannya. Yang jelas, pada hari-hari ini, Jokowi tampak akrab dengan
Megawati Soekarnoputri, mulai semobil pulang dari acara Alumni GMNI,
penggantian Andi Widjajanto dan pengangkatan Pramono Anung sebagai Sekkab,
serta kehadiran Megawati dalam acara pelantikan hari ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar