RAPBN 2016 dan Infrastruktur
Aunur Rofiq ;
Sekjen DPP PPP; Praktisi Bisnis
|
KORAN
SINDO, 24 Agustus 2015
Pemerintah telah
mengajukan Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016, yang
disampaikan Presiden Jokowi dalam sidang paripurna DPR seusai pidato
kenegaraan pada 14 Agustus. RAPBN 2016 tersebut disusun atas dasar sejumlah
asumsi makro sebagai berikut: Pertama, pertumbuhan ekonomi 2016 ditargetkan
5,5%. Kedua, laju inflasi 2016 diperkirakan mencapai 4,7%. Ketiga, nilai tukar
rupiah diperkirakan sebesar Rp13.400 per dolar AS. Keempat, rata-rata suku
bunga surat perbendaharaan negara tiga bulan 5,5%. Kelima, asumsi rata-rata
harga minyak mentah Indonesia USD60 per barel. Keenam, produksi minyak bumi
830.000 barel per hari dan gas bumi sekitar 1,155 juta barel setara minyak
per hari. Adakah yang istimewa dari RAPBN tersebut?
Dari sisi
makroekonomi, pemerintah mematok target yang tidak terlalu tinggi mengingat
risiko global masih belum usai sehingga perekonomian masih berpotensi
menghadapi tekanan. Ruang fiskal juga terbatas. Pemerintah mengajukan RAPBN
2016 dengan total belanja Rp2.121,3 triliun dan pendapatan negara Rp1.848,1
triliun. Dengan demikian, RAPBN 2016 direncanakan mengalami defisit Rp273,2
triliun atau 2,1% terhadap produk domestik bruto.
Artinya, belanja
negara hanya naik 6,9% dari APBNP 2015 menjadi Rp2.121,3 triliun. Anggaran
tersebut terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp1.339,08 triliun dan dana
transfer ke daerah dan dana desa Rp782,2 triliun. Sementara belanja
pemerintah pusat masih didominasi fungsi pelayanan umum yaitu sebesar 57,1%
dari total anggaran belanja.
Artinya, RAPBN 2016
masih sulit untuk menjadi alat anggaran yang ekspansif di tengah kelesuan
ekonomi. Meski demikian, ada peningkatan yang cukup signifikan pada anggaran
yang didaerahkan yakni anggaran desa naik signifikan yakni 126% menjadi Rp47
triliun. Sementara fokus belanja pemerintah pusat diarahkan untuk
infrastruktur.
Adapun pemerintah
menganggarkan belanja infrastruktur sebesar 8% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2016 atau senilai Rp313,5 triliun. Dalam APBNP 2015,
pemerintah mengalokasikan untuk infrastructure
spending sebesar Rp290,3 triliun atau meningkat 63,18% dari realisasi
APBN 2014, yang tercatat mencapai Rp177,9 triliun.
Meski ada peningkatan infrastructure spending, jauh
dibandingkan peningkatan pada 2015. Memang ada peningkatan untuk infrastructure spending, namun dilihat
dari persentasenya masih kecil karena hanya mencapai sekitar 3% dari PDB atau
jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Tiongkok di mana infrastructure spending sudah mencapai
11% dan India sebesar 7% dan Malaysia belanja infrastruktur terhadap PDB
sudah mencapai 7%.
Sejumlah riset ilmiah
mengenai infrastruktur di negaranegara miskin menunjukkan bahwa negara-negara
miskin memerlukan penggunaan sekitar 9% dari PDB untuk dapat mengoperasikan,
memeliharaataumerawat, dan membangun infrastruktur jika negara miskin
tersebut hendak meraih level Millennium
Development Goals (MDGs) (Antonio
Estache, 2006).
Indonesia meski bukan
kategori negara miskin, kondisi infrastrukturnya juga masih memprihatinkan.
Perbaikan infrastruktur memiliki korelasi positif terhadap peningkatan
kualitas pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Dalam laporan Bank Dunia (Curbing Fraud, Corruption and Collusion in
the Roads Sector, 2011) ditunjukkan beberapa studi yang secara jelas
memaparkan kaitan tersebut.
Di perdesaan India,
pembangunan jalan telah meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas pertanian
(Fan, Hazell, dan Thorat, 1999).
Demikian pula, pembangunan jalan di China dan Thailand memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap pertumbuhan output, baik dalam kegiatan pertanian
maupun nonpertanian (Fan, et. al.,
2000, 2002, 2004). Hal yang sama juga terjadi di Meksiko, di mana
pembangunan jalan memberikan donasi yang kuat terhadap peningkatan
produktivitas tenaga kerja (Deichman,
et. al., 2002).
Desain Infrastructure Spending
Untuk mempercepat
pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan, desain atau arah
pengembangan infrastruktur hendaknya tidak lagi bias ke arah perkotaan,
tetapi juga diarahkan keperdesaan atau pertanian.
Pengeluaran
infrastruktur untuk sektor pertanian memiliki keterkaitan (lingkage) dengan
sektor lain baik yang di hulu maupun di hilir. Pembangunan infrastruktur juga
harus memperhatikan aspek kewilayahan. Saat ini sekitar 82% PDRB dikuasai
Jawa dan Sumatera karena konsentrasi ekonomi terdapat di dua pulau ini,
khususnya Jawa.
Pemerintah juga harus
melanjutkan fokus pada pembangunan infrastruktur yang mendukung daya saing
khususnya menjadikan efisiensi biaya logistik. Adapun potensi bisnis dalam
bidang logistik di Indonesia sangat besar. Sesuai hasil penelitian Frost and
Sullivan, nilai bisnis logistik Indonesia dalam dua tahun terakhir sekitar
Rp1.400 triliun dan diprediksi naik menjadi Rp1.700 triliun.
Di tengah rendahnya
infrastructure spending , pemerintah harus mengurangi tingginya korupsi. Selama
ini korupsi telah memperburuk kualitas infrastruktur karena ada mark-up.
Menurut laporan Bank Dunia, proporsi anggaran yang dimark- up di negara
berkembang rata-rata 40%, sementara di negara maju seperti Jepang, kisaran
mark-up sebesar 20%.
Korupsi ini juga
menyebabkan biaya investasi di Indonesia menjadi mahal yang tercermin dalam
tingginya tingkat incremental capital output ratio (ICOR) atau perbandingan
antara kebutuhan investasi dan pertumbuhan output. Level ICOR Indonesia saat
ini 5,3%. Artinya, untuk meningkatkan PDB sebesar 1% membutuhkan investasi
sebanyak 5,3% dari PDB.
ICOR juga menjadi
salah satu indikasi tingkat efisiensi perekonomian suatu negara karena
semakin kecil ICOR berarti suatu investasi mampu menghasilkan output yang
semakin besar. Salah satu penyebab ICOR kita yang cukup tinggi adalah
besarnya tingkat kebocoran dalam investasi akibat korupsi atau ekonomi biaya
tinggi. Investasi yang boros tersebut juga menyebabkan kualitas pertumbuhan
yang kita capai menjadi kurang berkualitas dan berkesinambungan.
Selain keterbatasan
anggaran dan korupsi, kita juga masih dihadapkan pula pada penyerapan
anggaran yang rendah. Rendahnya penyerapan anggaran negara mempunyai
implikasi serius terhadap upaya peningkatan kualitas pertumbuhan. Secara langsung,
rendahnya anggaran menyebabkan rencana pembangunan tidak dapat terealisasi
sesuai perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Padahal, pengeluaran
pemerintah (anggaran negara) merupakan salah satu faktor penting pendorong
kegiatan ekonomi.
Lebih riskan lagi
karena dana pembangunan tersebut sebagian juga dibiayai dari dana utang
sehingga rendahnya penyerapan juga mengakibatkan pemerintah harus membayar
biaya bunga untuk dana yang tidak dipergunakan secara benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar