Audit Dana Politik
Donal Fariz ; Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW
|
KOMPAS,
29 Agustus 2015
Dana politik merupakan
induk permasalahan dari pelbagai kasus korupsi yang melibatkan politisi dan
pejabat publik. Sayangnya, hingga kini, tidak ada ikhtiar yang serius untuk
memperbaiki pengelolaan dana politik tersebut.
Sudah cerita berulang
bahwa partai merupakan salah satu organ yang tidak pernah direformasi, paling
tidak sejak Reformasi 1998. Cerita berulang ini seolah-olah abadi walaupun
presiden telah silih berganti.
Sudah tidak terhitung
pelbagai riset yang memetakan persoalan partai di Indonesia. Mulai dari
masalah pendanaan, ideologi demokratisasi, hingga kaderisasi. Namun, apa
lacur, permasalahan yang sama ini seolah-olah dibiarkan terus terjadi.
Walaupun partai-partai
baru muncul, sesungguhnya mereka hanya bersalin baju dari para pemain lama.
Partai baru hanya bermain slogan untuk menarik pemilih. Cita-cita restorasi
masih jauh panggang dari api.
Persoalan tersebut
menggelinding bak bola salju. Semakin lama problem partai dirasa semakin
menggurita. Dalam kondisi ini, ada pemikiran di antara sebagian orang bahwa
Indonesia sudah terlalu terlambat untuk mereformasi partai politik secara
keseluruhan.
Oligarki di tubuh
partai sudah kadung semakin kuat. Di dalam partai pun mereka seolah-olah
hanya menjalankan demokrasi semu sehingga muncul sebuah konklusi bahwa partai
menjadi persoalan terbesar bangsa saat ini (Kompas, 19/8).
Dalam kondisi yang
sudah semrawut, tidak ada pilihan untuk tidak melakukan penataan kembali.
Pertanyaannya, dari mana akan memulai agenda perubahan yang mahaberat ini?
Dana politik
Penting diingat bahwa
problem partai merupakan cerminan dari problem pendanaan politik mereka. Jika
dikelompokkan secara sederhana, dana politik dapat dibagi ke dalam dua rezim,
yakni dana rutin kebutuhan partai dan dana elektoral (pemilu dan pemilihan
kepala daerah/pilkada).
Kebutuhan rutin partai
tergambar dari biaya rutin kepengurusan yang berjenjang. Undang-Undang
tentang Partai Politik dalam Pasal 3 Ayat (2) mengatur, partai setidaknya
harus memiliki pengurus di 75 persen kebutuhan kabupaten/kota dan 50 persen
di setiap kecamatan. Menjalankan organisasi yang besar dan tersebar sesuai
dengan syarat undang-undang tentu akan menelan pendanaan yang sangat besar.
Sementara itu, untuk
kebutuhan elektoral, partai bermain dua kaki. Kadang-kadang mereka menjadi
donatur politik bagi kandidat, kadang-kadang justru jadi ”pemeras” kandidat
melalui sejumlah oknum yang meminta mahar dalam pencalonan pada
pemilu/pilkada.
Minim kontrol negara
Dua rezim dana politik
di atas minim kontrol negara, minimalis dalam pengaturan dan berada dalam
ruang samar-samar. Maka, untuk menjawab pertanyaan di atas, perbaikan partai
secara komprehensif harus dimulai dari masalah sumber pendanaan.
Ada beberapa hal yang
dapat dilakukan. Pertama, meningkatkan secara bertahap bantuan keuangan bagi
partai politik. Saat ini partai menerima bantuan Rp 108 per suara dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Total secara keseluruhan
partai politik yang mendapatkan kursi nasional menerima sebesar Rp 13 miliar.
Jika diambil proporsionalitasnya, subsidi dari negara kepada partai hanya
0,0006 persen dari total APBN 2015.
Jumlah ini tentu
sangat minim sehingga mengakibatkan jurang yang besar antara kebutuhan partai
dan bantuan dari negara. Rongga besar ini yang jadi musabab terjadinya
konglomerasi partai. Lahirnya partai baru dan berjalannya partai lama hampir
tidak pernah lepas dari pendanaan konglomerat.
Peningkatan bantuan
dari negara sesungguhnya mendorong timbulnya titik keseimbangan bagi partai
atau setidaknya mengurangi dominasi segelintir orang. Namun, peningkatan
tersebut tentu bukan cek kosong karena harus diikuti dengan perbaikan tata
kelola secara keseluruhan.
Kedua, melakukan audit
melekat terhadap dana politik. Realitas yang terjadi selama ini, publik atau
bahkan negara sekalipun tidak pernah bisa tahu secara akurat berapa putaran
dana politik yang terjadi dalam rentang waktu tertentu.
Pemasukan dan pengeluaran
partai yang berasal dari non- APBN/APBD tidak pernah dapat diketahui secara
pasti karena tidak ada instrumen formal bagi negara atau bahkan publik untuk
bisa mengetahui hal ini. Begitu pula dengan dana elektoral. Tidak pernah
dapat diketahui berapa sesungguhnya pengeluaran para kandidat dalam pemilu
karena laporan dana kampanye yang disetor kepada Komisi Pemilihan Umum/Komisi
Pemilihan Umum Daerah dapat dipastikan manipulatif.
Dua masalah di atas
dibiarkan terus-menerus terjadi dari pemilu ke pemilu. Oleh karena itu, harus
ada desain baru agar bisa dilakukan audit melekat terhadap dana politik
tersebut.
Pembentukan
Komisi/Badan Pemeriksa Dana Politik menjadi sangat penting. Lembaga ini
mengadopsi sejumlah fungsi dari Federal Election Commission (FEC) seperti
yang ada di Amerika Serikat.
Transformasi Bawaslu
Namun, yang paling
cepat bisa dilakukan adalah dengan mentransformasikan peran Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) menjadi Badan Pemeriksa Dana Politik untuk melakukan fungsi
di atas. Dengan begitu, kita tidak harus memulai dari nol karena perangkat
organisasi sudah terbentuk hingga ke daerah.
Peran komisi/badan
tersebut ditujukan untuk melakukan pemeriksaan terhadap dana politik secara
integratif. Hasil pemeriksaan juga bisa dijadikan sebagai syarat
keikutsertaan partai dalam pemilu.
Jika langkah
memperbaiki tata kelola dana politik bisa dilakukan, hasilnya secara
perlahan-lahan dipastikan akan memperbaiki wajah suram partai politik di
Indonesia saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar