Korupsi Beasiswa dan Sejarah Supersemar
Ismatillah Nu’ad ;
Peneliti Madya
Institute for Social Research and
Development, Jakarta
|
JAWA
POS, 12 Agustus 2015
MAHKAMAH Agung mengabulkan peninjauan kembali
yang diajukan Kejaksaan Agung dalam perkara penyelewengan dana beasiswa
Supersemar dengan tergugat mantan Presiden Soeharto, ahli warisnya, dan
Yayasan Beasiswa Supersemar. Kasus itu bermula ketika pemerintah menggugat
Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan penyelewengan dana beasiswa. Dana
yang seharusnya disalurkan kepada siswa dan mahasiswa itu justru diberikan
kepada beberapa perusahaan. Di antaranya, PT Bank Duta USD 420 juta, PT
Sempati Air Rp 13,173 miliar, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp 150
miliar.
Dari kasus itu, Soeharto dan ahli warisnya
serta Yayasan Supersemar harus membayar USD 315 juta dan Rp 139,2 miliar
kepada negara. Apabila USD 1 sama dengan Rp 13.500, uang yang harus
dibayarkan mencapai Rp 4,25 triliun ditambah Rp 139,2 miliar, atau semua Rp
4,389 triliun.
Yayasan Supersemar selama ini dikenal sebagai
organisasi nirlaba yang didirikan pada 16 Mei 1974 oleh Soeharto. Tujuannya,
membantu dunia pendidikan di Indonesia dengan bantuan pemberian beasiswa.
Nama Supersemar atau kepanjangan dari Surat Perintah Sebelas Maret adalah
salah satu peristiwa sejarah bangsa Indonesia bahwa presiden Republik
Indonesia ketika itu, Soekarno, ’’diduga’’ mengeluarkan surat pada11 Maret
1966 yang memandatkan atau menginstruksi Soeharto selaku panglima Komando
Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) mengambil segala tindakan
yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada 1966.
Surat Perintah Sebelas Maret itu versi yang
dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam
buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa
terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah
Supersemar yang dikeluarkan Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Dalam sejarah Indonesia, Supersemar erat
berkaitan dengan kondisi politik Indonesia era gerakan terlarang yang
dinamakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa Supersemar 1966,
banyak korban bergelimpangan yang hingga kini masih ada dampak-dampak yang
akhirnya membebani perjalanan bangsa ini.
Hal krusial dari rentetan sepanjang tragedi
berdarah ’65–’66 yang berujung kepada pembantaian orang-orang komunis adalah
soal penculikan dan pembunuhan para jenderal hingga Bung Karno jatuh dari
kekuasaannya dan bangkitnya rezim Orde Baru di bawah Soeharto. Perdebatan
pakar sejarah seputar itu tidak lah tunggal. Yang menarik, misalnya,
’’perdebatan’’ antara sejarawan Asvi Warman Adam dan sosiolog Ariel Heryanto.
Mengkritisi tulisan Asvi Warman Adam berjudul New Findings on the 1965 Indonesian
Tragedy Karno terjatuh dari kekuasaannya
dan dilanjutkan pengangkatan presiden kedua Indonesia.
Kritisisme Ariel Heryanto terhadap Asvi Warman
Adam dapat dimaklumi karena pandangan kritis dari para pengamat sejarah di
Indonesia atau sejumlah Indonesianis (pandangan pengamat asing) memang umumnya
menjadikan Soeharto sebagai objek dasar penggerak pertama dari rentetan
kronis sejarah ’65–’66.
Pandangan reformistik yang menyeruak terutama
setelah pascareformasi pada 1998, mengutuk Soeharto sebagai biang dari segala
hal yang membuat republik ini terpuruk.
Dua kutub biner yang saling bertubrukan, yakni
antara pandangan reformistik seperti diwakili Ariel Heryanto dan ’’non
reformistik’’ sebagaimana ditunjukkan Asvi Warman Adam, sebetulnya
menyimpulkan bahwa sejarah apa pun dari perjalanan bangsa ini tidak lah
bersifat tunggal. Meski kita tidak mengetahui maksud lain dari pernyataan
Asvi Warman Adam karena kita meyakini bahwa sebetulnya pandangannya juga
reformistik untuk ukuran sekelasnya.
Selain Asvi Warman Adam yang dianggap ’’non
reformistik’’, sebetulnya banyak karya mengenai sejarah ’65–’66 yang
apologetik dan tentu bersifat non reformistik. Kecurigaan terhadap karya
semacam itu di pasaran lalu disebut proyek yang ditulis pihak-pihak tertentu
yang kurang kredibel.
Karya semacam itu tentu bukan sekadar non
reformistik, namun juga merusak iklim akademis yang bersifat ilmiah. Kategori
karya-karya non reformistik yang ditulis pihak-pihak tertentu berbeda dari
karya ’’non reformistik’’ dari tulisan Asvi Warman Adam. Asvi menulis itu
secara ilmiah, berdasar pembangunan teori-teori sejarah serta pemisahan
antara kebencian vis-avis ilmu pengetahuan, untuk sampai pada kesimpulan
bahwa Soeharto bukanlah satu-satunya aktor.
Mengapa disebut pemisahan antara kebencian
vis-a-vis ilmu pengetahuan karena semenjak reformasi ’98, banyak release dan
penulisan ulang sejarah ’65–’66 berdasar kebencian dan cenderung menafikan
aspek pembangunan teori-teori sejarah. Pengaruh hal tersebut begitu luas
diterima publik.
Teori Ben Anderson (Imagine Communities, 1983) menjadi berlaku bahwa pengaruh dari
publikasi dan media cetak, seperti pada dekade sebelum kemerdekaan, membuat
satu kesadaran utuh yang dikonsumsi publik. Yakni, kesadaran
’’pemberontakan’’ atas rezim yang membelenggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar