Revolusi Sampah
Faisal Assegaf ; Pemerhati Timur Tengah dan Pendiri
Albalad.co
|
KORAN
TEMPO, 27 Agustus 2015
Akhir pekan lalu,
ribuan orang turun ke jalan di Ibu Kota Beirut, Lebanon. Selama dua hari,
mereka berunjuk rasa lantaran tidak puas akan kinerja pemerintah. Demonstrasi
ini berakhir ricuh.
Demonstran
diorganisasi oleh kelompok "Kalian Busuk" yang berhasil menyatukan
sebagian besar rakyat Lebanon dari pelbagai latar. Gara-gara bau busuk sampah
yang menggunung di Beirut dan sekitarnya sejak bulan lalu, penduduk di negara
yang terkotak-kotak berdasarkan haluan politik dan agama tersebut berhasil
menggalang satu barisan, mendesak pemerintahan yang dipimpin Perdana Menteri
Tammam Salam dibubarkan.
Apa yang berlaku di
Lebanon itu gejala umum di Timur Tengah sejak empat tahun lalu atau dikenal
dengan Musim Semi Arab. Revolusi itu telah berhasil menumbangkan rezim Zainal
Abidin bin Ali di Tunisia, Husni Mubarak di Mesir, dan Muammar al-Qaddafi di
Libya.
Persoalannya mirip,
menyangkut hajat hidup orang banyak. Bukan masalah politik atau terkait
dengan kepentingan golongan tertentu. Lantaran kenaikan harga gandum berimbas
terhadap meroketnya harga roti yang merupakan makanan utama rakyat Tunisia
dan Mesir, mereka beramai-ramai berunjuk rasa yang berujung pada tuntutan
agar penguasa mundur.
Sampah memicu angin
revolusi bertiup sepoi-sepoi ke Lebanon, bukan sekadar sampah dalam arti
sebenarnya. Pemerintah yang tidak becus mengurus kepentingan rakyat pantas
pula dianggap sampah. Mereka mesti disingkirkan karena menimbulkan aroma
busuk dan tidak baik bagi kesehatan sebuah bangsa dan negara.
Revolusi Sampah ini
kian mengentalkan dikotomi sekaligus paradoks di dunia Arab. Untuk
negara-negara Arab supertajir di Teluk Persia-Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat
Arab, Bahrain, Kuwait, dan Oman-barangkali hal ini masih jauh dalam bayangan.
Dengan kekuatan fulus tanpa seri, mereka berhasil mengenyangkan perut rakyat,
namun di sisi lain menyumpal mulut mereka.
Tapi jangan heran,
negara-negara kerajaan itu berhasil membeli persahabatan semu dengan Barat.
Rezim monarki tidak pernah dicap diktator oleh Amerika Serikat dan sekutunya.
Saudi sekawan dianggap tidak melawan prinsip demokrasi yang selalu diagungkan
Negeri Abang Sam tersebut, walau mereka tidak menggelar pemilihan umum
sebagai syarat negara demokratis.
Sebagai balasan, Barat
menutup mata dan telinga mereka atas pelanggaran hak asasi manusia yang
berlaku di negara-negara Arab monarki tersebut. Sebagai contoh, Amerika dan
bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa bungkam saat pasukan keamanan Bahrain
dengan bantuan tentara Arab Saudi menembaki demonstran Syiah yang menyuarakan
diskriminasi yang mereka terima, meski mereka adalah mayoritas di negara
tersebut.
Barat pun ogah-ogahan
bersuara menanggapi vonis seribu cambukan bagi narablog Raif Badawi atas
kasus mengkritik rezim Bani Saud. Mereka pun seolah tidak bermasalah dengan
predikat Saudi sebagai satu-satunya negara di dunia yang mengharamkan
perempuan menyetir mobil. Atau Qatar semena-mena memperlakukan buruh migran
yang tengah mengerjakan proyek infrastruktur buat Piala Dunia 2022.
Apa yang berlaku di
Lebanon saat ini mestinya menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi banyak
negara. Apalagi untuk negara-negara yang pernah mengalami atau terbiasa
dengan revolusi rakyat, seperti Indonesia, Filipina, dan Thailand. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar