Antropologi Manusia Indonesia
Masdar Hilmy ; Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan
Ampel, Surabaya
|
KOMPAS,
31 Agustus 2015
Diskusi tentang apa
dan siapa ”manusia Indonesia” sudah pernah mengisi ruang-ruang perdebatan
akademis di negeri ini. Antropolog Koentjaraningrat (1971) dan budayawan
Mochtar Lubis (1977) termasuk segelintir perintis yang menginisiasi sekaligus
menstimulasi perdebatan dimaksud. Terlepas dari kontroversi, subyektivitas,
dan ketidaksempurnaan rumusan masing-masing, keduanya telah membuka horizon
baru bagi perdebatan publik tentang identitas ”kedirian” (the self) orang
Indonesia.
Memasuki HUT Ke-70 RI,
ada baiknya lembaran diskusi tentang sosok manusia Indonesia kita buka
kembali guna menjawab segala tantangan zaman yang makin kompleks. Hal ini
penting sebagai batu pijakan untuk mengonstruksi apa dan siapa sebenarnya
manusia Indonesia dalam konteks kekinian dan ke depan. Anggaplah rumusan
manusia Indonesia versi kedua tokoh di atas merepresentasikan zeitgeist pada
zamannya, maka upaya memotret konsep kedirian bangsa merupakan kebutuhan yang
tak bisa ditawar-tawar lagi.
Identitas nasional
Kini Indonesia
dihadapkan pada tantangan yang luar biasa dalam konteks perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta percaturan politik-ekonomi global. Persaingan
antarbangsa tak jarang ditandai ancaman negara gagal akibat ketidakmampuannya
merespons secara baik tantangan-tantangan dimaksud.
Yunani adalah gambaran
nyata dari ketidakmampuan sebuah negara untuk berdialektika atau ”berdamai”
dengan tantangan persaingan global yang makin keras. Dalam konteks inilah,
peta konfigurasi bangsa-bangsa dalam percaturan global akan meneguhkan palu
godam Darwinisme sosial: the survival
of the fittest.
Meminjam Joseph S Nye
Jr (2004), keberhasilan dan kegagalan sebuah bangsa dalam merespons tantangan
global tentu saja tidak hanya ditentukan oleh ”kuasa keras” (hard power), seperti kekuatan
ekonomi-politik-militer, untuk menopang eksistensi dirinya. Lebih dari itu,
nilai-nilai intrinsik sosial-budaya adalah ”kuasa lunak” (soft power) yang tak kalah pentingnya.
”Kuasa lunak” dalam konteks ini adalah sistem nilai yang dapat membentuk
kebanggaan nasional yang digali secara otentik dari sumber-sumber kesejarahan
sebuah bangsa dan bernilai kompetitif bagi keberlangsungan bangsa tersebut.
Dalam struktur anatomi
sebuah bangsa, ”kuasa lunak” menjadi ruh yang akan menghidupi sekaligus
membangkitkan ”kuasa keras” bangsa dimaksud. ”Kuasa keras” semata, tanpa
”kuasa lunak” yang kokoh, tak akan mampu menopang eksistensi dan
keberlangsungan sebuah bangsa. Dalam hal ”kuasa keras” tak dapat lagi
menopang eksistensi sebuah bangsa, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus
menggali dan mengonstruksi kembali ”kuasa lunak” yang akan memandu kita
mendefinisikan sosok manusia Indonesia sebenarnya.
Persoalan tentang daya
tahan sebuah bangsa juga pernah dilontarkan Rousseau, sebagaimana dikutip
Samuel P Huntington (2004: 11): ”If
Sparta and Rome perished, what state can hope to endure forever?” Seperti
diketahui, Sparta dan Romawi adalah dua imperium besar yang pernah berjaya
dan menguasai dunia pada zamannya. Namun, mengapa keduanya musnah ditelan
bumi? Apa yang menyebabkan kehancuran keduanya? Apa pula kekuatan yang dapat
menopang keberlangsungan sebuah bangsa—belajar dari kehancuran dua peradaban
besar tersebut—agar tetap bertahan selama mungkin?
Pertanyaan kritis
Rousseau di atas sengaja dijadikan oleh Huntington sebagai terapi kejut bagi
bangsa Amerika yang dianggapnya telah terlena (lebih tepatnya intoxicated,
teracuni) oleh kedigdayaannya sendiri dalam percaturan politik global selama
beberapa dekade terakhir, hingga akhirnya terjadi tragedi 11 September 2001.
Serangan teroris yang meluluhlantakkan dua menara kembar WTC di New York
senyatanya telah memukul secara telak kesadaran dan identitas kolektif warga
Amerika sebagai sebuah bangsa. Tragedi tersebut diidentifikasi Huntington
sebagai titik balik untuk merefleksikan kembali konsep kedirian bangsa
Amerika dalam rangka bangkit dari keterpurukan.
Upaya untuk mengonstruksi
kembali identitas bangsa Amerika kemudian dirumuskan oleh Huntington ke dalam
sebuah pertanyaan retoris yang sekaligus menjadi judul bukunya: ”Who Are We? The Challenges to America’s
National Identity” (2004). Menurut Huntington, menjadi Amerika bukanlah
sebuah proses statis sekali jadi. Lebih jauh dari itu, menjadi Amerika adalah
sebuah pergulatan eksistensial panjang yang tidak hanya ditentukan oleh
unsur-unsur lama, seperti faktor WASP (White
Anglo-Saxon Protestant), tetapi juga unsur-unsur baru yang akan
menegosiasi identitas lama tersebut secara terus-menerus.
Memang Indonesia
bukanlah Amerika. Keduanya memiliki tantangan yang juga berbeda. Meski
demikian, kebutuhan bagi keduanya untuk tetap sintas sebagai sebuah bangsa
tetaplah sama. Oleh karena itu, pencarian eksistensial tentang apa dan siapa
manusia Indonesia menemukan relevansinya di sini.
Parameter obyektif
Jika Koentjaraningrat
dan Mochtar Lubis telah merintis sebuah upaya pencarian eksistensial tentang
sosok manusia Indonesia dari perspektif ”subyektivitas budaya” pada konteks
historisitasnya, maka Indonesia saat ini butuh sebuah rumusan yang jauh lebih
kontekstual dan obyektif. Rumusan semacam inilah yang nantinya akan menjadi
referensi sekaligus kompas eksistensial bagi manusia Indonesia ke depan, yang
pada gilirannya dapat menyangga eksistensi kedirian bangsa ini dari terpaan
krisis identitas kebangsaan.
Yang dimaksud
parameter obyektif di sini adalah hasil-hasil pengukuran berkala tentang
beberapa karakteristik bangsa- bangsa di dunia, seperti: (1) indeks
pembangunan manusia; (2) indeks demokrasi; (3) indeks korupsi; (4) indeks
kebebasan sipil; (5) indeks toleransi beragama, dan indeks lain yang
menggambarkan keadaban dan tertib sipil. Indeks-indeks semacam inilah yang
lebih mewakili realitas manusia Indonesia yang tak terbantahkan karena
bersifat obyektif-empiris-kontekstual.
Memotret sosok manusia
Indonesia dari perspektif parameter obyektif di atas, di samping dapat
menghindarkan kita dari perdebatan subyektif tanpa ujung, juga dapat
menghindarkan diri kita dari jebakan esensialisme kultural yang cenderung
stereotipikal dan peyoratif.
Tentu sebagian kita
akan meradang ketika kita disebut sebagai bangsa hipokrit, enggan bertanggung
jawab, atau suka jalan pintas dan semacamnya. Penilaian semacam itu jelas
sebuah penghakiman yang cenderung menggeneralisasi manusia Indonesia secara
keseluruhan, padahal tidak ada sebuah kategori yang berlaku untuk semua.
Selalu ada kekecualian pada sebuah kategori sosiologis.
Jika kita merujuk hasil
riset berbagai lembaga internasional tentang kelima indeks di atas, posisi
Indonesia untuk konteks saat ini jelas tak terlalu menggembirakan. Jangankan
dibandingkan negara maju, alih-alih posisi kita secara umum masih di bawah
sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Realitas
semacam inilah yang seharusnya dijadikan sebagai bahan refleksi bagi lintas
kementerian untuk merumuskan cetak biru kebijakan di tingkat hulu sampai
hilir tentang bagaimana membangun ”manusia Indonesia seutuhnya”, sebagaimana
diamanatkan UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar