Kamis, 27 Agustus 2015

Rekonsiliasi Tanpa Kebenaran

Rekonsiliasi Tanpa Kebenaran

Teuku Kemal Fasya  ;   Fasilitator Damai Aceh
                                                       KOMPAS, 27 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 15 Agustus tahun ini, nota kesepahaman perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka berumur 10 tahun. Kesepakatan itu ditandatangani di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Itulah sebabnya sejarah itu di Aceh disingkat sebagai MOU Helsinki, Nota Kesepahaman Helsinki.

Di Aceh, perayaaan sepuluh tahun itu dilaksanakan meriah. Beragam seminar, talkshow, pameran, iklan, dan pawai dilakukan. Pieter Feith, diplomat Belanda dan mantan ketua Aceh Monitoring Mission (lembaga pemantau pelaksanaan kesepakatan), hadir di Aceh. Presiden Jokowi bahkan akan hadir di Aceh pada November sebagai puncak perayaan.

Membonsai rekonsiliasi

Benar bahwa situasi Aceh lebih baik dibandingkan dengan era darurat militer 2003-2005, mengakibatkan 15.000 orang jadi korban. Namun, jika masuk lebih dalam, ada banyak tinta masalah yang bebercak di mana-mana. Salah satu yang paling kentara adalah belum berjalannya ”proyek” rekonsiliasi secara komprehensif dan mendasar.

Di dalam MOU Helsinki, poin pendirian Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menjadi yang paling terbengkalai. Di Aceh, macetnya program pengadilan HAM dan KKR tak lepas dari pertimbangan pemangku kepentingan politik lokal di Aceh. Ada ”ketakutan” bahwa hal-hal itu berisiko bagi keberlanjutan perdamaian.

Itu juga semakin terlihat ketika MOU Helsinki dimaknai di dalam undang-undang: terjadi pembonsaian nilai dan, anehnya, tidak digugat dalam waktu lama, termasuk dari elite GAM. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 pada Pasal 228 menyebutkan bahwa pengadilan HAM di Aceh hanya mengeksekusi kasus-kasus yang terjadi setelah UU disahkan, bertentangan dengan prinsip retroaktif pengungkapan kasus kejahatan HAM.

Demikian pula Pasal 229 Ayat (2) dan (3) menyebutkan pembentukan KKR di Aceh tidak dapat dipisahkan dari KKR nasional dan dilegitimasi melalui UU. Ayat (4) yang mengatur fungsi yang terbatas bahwa penyelesaian seharusnya dilakukan dengan pendekatan adat sesungguhnya bisa mencederai aspek terdalam keadilan, yaitu kebenaran.

Penyelesaian adat yang menang-menang itu cenderung menutup dan melupakan daripada membongkar dan memahami esensi kejahatan yang terjadi. Konsep hukum adat Aceh, masalah rayeuk ta peubeut, masalah ubuet ta peugadoh (masalah besar dikecilkan dan masalah kecil dihilangkan), tidak cukup sesuai menjadi prinsip moral rekonsiliasi untuk kejahatan-kejahatan besar.

Permasalahan akhirnya menjadi membelit ketika UU KKR (UU No 27/2004) dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada 7 Desember 2006. Bukan saja membuat peluang menghadirkan KKR sulit, melainkan juga keberadaan KKR Aceh tidak memiliki legitimasi.

Ketika DPR Aceh mengesahkan Qanun KKR pada akhir 2013 (Qanun No 13/2013), kehadirannya problematis karena Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat klarifikasi pada 1 April 2014 atas qanun itu yang dianggap ilegal jika mengacu pada putusan MK.

Meniti peluang

Meskipun demikian, desakan melakukan rekonsiliasi di Aceh harus bisa melampaui hambatan, termasuk tidak adanya dukungan politik dan UU. Kelompok masyarakat sipil Aceh yang menjadi auktor intelektual di balik pengesahan qanun KKR jangan cepat puas dengan hadirnya qanun sebagai mekanisme penyelesaian luka-luka masa lalu, tetapi mengawal agar menjadi kesadaran publik dan gerakan sosial.

Refleksi tentang pentingnya Qanun KKR Aceh didasarkan pada hasrat agar kekerasan tidak kembali berulang pasca damai dan bukan semata-mata untuk menghukum ”sang penjahat”.

Jika pada Pemilu (legislatif) 2009 sejumlah eks-GAM menjadi korban kekerasan dan pembunuhan, pada Pilkada 2012 serial kasus kekerasan dihubungkan dengan PA (partai transformasi eks-GAM) sebagai aktornya. Inilah motif moral perlunya program rekonsiliasi mendesak dilaksanakan. Kekerasan di dalam masa damai sungguh menyesakkan karena pelaku akhirnya seperti mendapat pembenaran karena hukum berkeadilan tidak ditegakkan secara normal.

Identifikasi atas PA pun sudah mulai bergeser. Awalnya PA dianggap representasi korban politik, kini malah dicitrakan sebagai pelaku pelanggaran HAM. Program-program restitusi dan rehabilitasi bagi korban konflik nonkombatan masih jauh dari panas panggang. Absurditas ini semakin sempurna ketika pada Pemilu 2014 PA malah bermitra dengan Partai Gerindra dan mendukung Prabowo sebagai capres pada pilpres lalu, yang dicitrakan sosok ultranasionalis dan pelaku kekerasan masa lalu.

Pemerintahan Aceh saat ini, di bawah komando Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf, hanya memiliki satu resep dalam penyelesaian masalah sisa konflik, yaitu melalui Badan Penguatan Perdamaian Aceh. Sayangnya, pendekatan lembaga ini masih sangat reduksionis, teknokratis, dan belum mampu mengangkat martabat korban konflik secara baik. Lembaga ini tidak kompeten dalam mengungkap kebenaran masa lalu, hanya melakukan rutinisasi bantuan sosial yang polanya cukup birokratis.

Dalam sebuah acara jamuan makan malam di pendopo gubernur ketika menyambut para tokoh di balik perdamaian MOU Helsinki, 11 Agustus, saya berbincang dengan seorang korban konflik, Kartiwi Daud.

Ia pernah ditangkap pada 2000, dituduh GAM, ditahan, dan disiksa selama enam bulan di Aceh Selatan tanpa pengadilan. Siksaan itu menyebabkan ia terganggu memori dan motorik hingga saat ini.

Kehidupannya di masa damai ini pun tidak semakin baik. Tidak ada tokoh eks-GAM yang peduli nasibnya dan tak ada bantuan modal yang memberikan harapan bagi kehidupannya. Tiba-tiba ia mengatakan di tengah pidato elite malam itu, ”Mereka tidak tahu apa-apa tentang nasib korban.”

Korban-korban konflik masih tersunyikan oleh retorika dan program elitis. Inilah dilema 10 tahun perdamaian Aceh saat ini: bahwa mempertahankan perdamaian tanpa keadilan dan kebenaran bukanlah perdamaian atau rekonsiliasi sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar