Dicari: Pendidikan Keagamaan Bervisi Kebangsaan
Hasibullah Satrawi ; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia
Islam;
Direktur Aliansi Indonesia Damai
(AIDA), Jakarta
|
JAWA
POS, 25 Agustus 2015
DI era media sosial seperti sekarang, ada satu
hal yang sejatinya menjadi perhatian dan keprihatinan kita bersama. Yaitu,
persoalan radikalisasi ruang publik yang tampak semakin liar, bahkan dianggap
sebagai hal yang wajar.
Secara wilayah sebaran, radikalisasi yang ada
semakin luas merambah setiap individu yang mempunyai peralatan komunikasi
yang memadai (bisa mengakses pelbagai macam media sosial), termasuk kalangan
anak-anak muda yang masih membutuhkan bimbingan intensif terkait hal-hal yang
diketahuinya. Khususnya hal-hal yang diketahui melalui media sosial.
Tidak lama ini, contohnya, istilah Islam
Nusantara yang dijadikan sebagai tema Muktamar Ke-33 NU dipersoalkan oleh
sebagian pihak. Khususnya kelompok-kelompok yang selama ini dikenal bersikap
anti-NKRI dan hendak mengubah NKRI menjadi negara agama.
Melalui kebebasan informasi yang ada
(khususnya melalui media sosial), kelompok-kelompok antiNKRI melakukan
simplifikasi, bahkan manipulasi terhadap terma Islam Nusantara. Hingga
sebagian pihak menyamakan Islam Nusantara dengan Islam Liberal, sebagian yang
lain menyamakannya dengan Syiah dan lain sebagainya.
Padahal, Islam dengan ciri khas yang
berkembang di Nusantara (disingkat menjadi Islam Nusantara) merupakan salah
satu elemen yang membuat Indonesia menjadi negeri majemuk dengan prinsip
kesetaraan dan kebebasan. Termasuk kebebasan yang digunakan kelompok antiNKRI
untuk menghujat bangsa ini dan Islam Nusantara.
Seandainya Islam yang berkembang di Nusantara
tidak dengan corak kelenturan, keterbukaan, dan kemajemukan, mungkin NKRI tak
pernah ada. Dan, kalaupun ada, sangat mungkin menjadi negeri yang dilanda
konflik bersenjata dan saling membunuh antara warga dan warga atau antara
rakyat dan pemerintah, seperti saat ini jamak terjadi di negara-negara Timur
Tengah.
Dalam hemat penulis, maraknya radikalisasi di
ruang publik mutakhir (sebagaimana di atas) menunjukkan adanya persoalan yang
sangat serius terkait dengan pendidikan keagamaan yang minus kebangsaan.
Pelbagai macam lembaga pendidikan yang ada,
mulai tingkatan paling bawah hingga paling atas, sangat minim menyajikan
pendidikan keagamaan yang bervisi kebangsaan.
Yang sangat banyak ditemukan adalah pendidikan
keagamaan semata-mata dan pendidikan umum semata-mata. Akibatnya adalah tak
sedikit orang yang tumbuh dengan berpedoman semata-mata pada hal-hal keagamaan
secara ketat. Sedangkan sebagian lainnya justru tidak peduli dengan hal-hal
yang bersifat keagamaan.
Sementara itu, di ruang-ruang publik yang
lebih luas di luar sekolah, kampanye radikalisasi yang sarat dengan kebencian
terus digalakkan banyak pihak, baik melalui media sosial maupun mimbar-mimbar
keagamaan. Bahkan, hal-hal yang dalam kurun waktu sebelumnya tidak
dipersoalkan belakangan sengaja dipermasalahkan oleh mereka. Misalnya,
perdebatan tentang Islam Nusantara (sebagaimana dijelaskan di atas) atau
penggunaan waktu imsak bagi yang berpuasa (sebagaimana sempat ramai di
sebagian pihak pada bulan puasa lalu).
Di negeri majemuk seperti Indonesia, keagamaan
dan kebangsaan tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus disatukan laiknya bapak
dan ibu. Hingga terlahir anakanak yang berbakti kepada ’’kedua orang
tuanya’’.
Oleh karena itu, semangat pendidikan keagamaan
bervisi kebangsaan sejatinya hadir dalam sistem pendidikan nasional, mulai
tingkatan paling dini hingga tingkatan paling tinggi.
Dalam konteks mata pelajaran, contohnya,
materi tentang keagamaan masih bersifat ’’sisipan’’ di lembaga-lembaga
pendidikan umum. Materi keagamaan yang disampaikan pun sebatas
’’ritualitas’’. Pun demikian sebaliknya. Materi tentang kebangsaan masih
bersifat ’’sisipan’’ di lembaga-lembaga pendidikan agama. Materi kebangsaan
yang disampaikan pun sebatas ’’formalitas’’.
Oleh karena itu, sangat dipahami bila sistem
pendidikan yang ada acap tidak berdaya menghadapi pelbagai macam gempuran
yang dilakukan pelbagai macam kelompok radikal yang menghendaki NKRI diganti
menjadi negara agama. Bahkan, menurut sejumlah ahli, tak sedikit di antara
anak-anak muda saat ini yang bergabung dengan kelompok radikal.
Setidak-tidaknya menjadi simpatisan mereka.
Di sinilah letak strategis kekuatan ekstrakurikuler.
Kegiatan ini harus dimanfaatkan secara optimal untuk menambal sulam
kekurangan-kekurangan yang ada dalam sistem pendidikan nasional. Sebab,
terlalu berharga waktu yang harus dibuang bila menunggu segala sesuatunya
’’menjadi sempurna’’.
Dalam beberapa tahun terakhir, penulis
dilibatkan Kementerian Agama (Kemenag) untuk menjadi juri dalam lomba debat
nasional untuk mata pelajaran agama Islam di tingkat sekolah menengah atas.
Kegiatan terakhir dilaksanakan pada pertengahan Agustus kemarin (11–14).
Sebagian peserta terlihat masih sangat gagap
untuk menyenyawakan antara kesadaran keagamaan dan visi kebangsaan. Sebagian
peserta yang lain tampak lebih piawai dalam menyatupadukan antara keduanya.
Menurut hemat penulis, kegiatan seperti ini
sangat efektif untuk memperkuat pendidikan keagamaan bervisi kebangsaan di
kalangan para siswa. Hingga mereka mempunyai kecakapan argumentatif dalam
menghadapi pelbagai macam ideologi anti-NKRI yang ada di sekitarnya.
Penguatan seperti ini sangatlah penting bagi
para pemuda ke depan, khususnya di tengah menguatnya tensi radikalisasi
dengan jangkauan yang lebih luas (sebagaimana telah disampaikan di atas).
Hingga para pemuda bisa tetap berkembang dalam semangat keagamaan yang
bervisi kebangsaan.
Hal yang harus dipahami bersama adalah bahwa
kelompok-kelompok anti-NKRI senantiasa menggunakan momentum dan peluang
sekecil apa pun untuk mewujudkan impiannya, termasuk kegiatan yang bersifat
ekstrakurikuler. Bila tidak ada pencegahan dini yang bersifat masif, bukan
tidak mungkin kelompok anti-NKRI akan terus menguasai anak bangsa ini satu
per satu. Nauzubillah, semoga ini tidak sampai dan tidak boleh terjadi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar