Yang Tertinggal, Terdepan, dan Terluar
Imam Cahyono ; Peneliti Senior Maarif Institute for
Culture and Humanity
|
KOMPAS,
29 Agustus 2015
Apakah desa kami masih
menjadi bagian dari NKRI?” tanya seorang pemuda Pulau Wetar, Kecamatan Wetar,
Kabupaten Maluku Barat Daya. Setelah 70 tahun Indonesia merdeka, rezim
pemerintah silih berganti dengan segudang janji, tetapi kawasan itu tetap
tertinggal dari derap pembangunan.
Sebagai gugus pulau di
garis depan Nusantara, ia jadi teras NKRI. Namun, kondisinya kontras dengan
tetangga, Timor Leste. Panorama alamnya indah nan eksotis, tetapi nasibnya
tragis. Akses transportasi bisa dihitung dengan jari. Fasilitas dan layanan
publik minim. Listrik terbatas. Sinyal seluler hanya menjangkau ibu kota
kecamatan.
Lain lagi kisah warga
Tiong Ohang, Kecamatan Long Apari, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur.
Bersama sejumlah desa lain yang terpencil dan terisolasi di tapal batas
Serawak, mereka pernah mengancam akan mengibarkan bendera Malaysia.
Warga perbatasan
merasa seperti anak tiri. Kondisi mereka tak pernah berubah karena minimnya
perhatian pemerintah. Infrastruktur terbatas, menuju kawasan itu harus lewat
sungai berjeram atau helikopter. Pasokan kebutuhan bergantung pada pasang
surut Sungai Mahakam dengan harga melambung. Televisi dan radio hanya
menangkap siaran dari Malaysia.
Sejak Indonesia
berdaulat 17 Agustus 1945, warga baru merasa merdeka 69 tahun kemudian:
merdeka dari keterbatasan komunikasi yang membelenggu pada pertengahan
Desember 2014 setelah berdirinya pemancar sinyal seluler.
Ketidakadilan geografis
Derita ketimpangan
pembangunan timbul tenggelam seperti lagu lama yang diputar kembali. Takdir
geografi kemiskinan senantiasa jadi dalil klasik gagalnya pemerataan, ibu
kandung ketertinggalan dan keterbelakangan. Semangat membangun dari pinggiran
sebagai agenda prioritas Nawacita bak embusan angin segar di tengah kemarau
panjang. Sejauh mana komitmen dan praktik ”kehadiran negara”, masih harus
harus dibuktikan, tak sekadar pembangunan tol, bendungan, dan pembagian
kartu.
Hipotesis penjara
geografi bahwa penentu kemajuan atau keterbelakangan sebuah bangsa disebabkan
faktor geografi, iklim, penyakit, atau budaya sejatinya telah runtuh (Acemoglu dan Robinson, 2012). Sejarah
mencatat tidak ada korelasi langsung antara geografi dan sukses gagalnya
pembangunan. Pelajaran dari Jerman Timur vs Jerman Barat di masa silam; Korea
Utara vs Korea Selatan; Nogales, Arizona, AS vs Nogales, Sonora, Meksiko bisa
dijadikan teladan.
Penyebab kemiskinan
dan kemakmuran yang menentukan negara maju atau gagal bukan tanahnya atau
para pendirinya, melainkan pelembagaan ekonomi politik yang diciptakan.
Pelembagaan ekonomi dan politik inklusif menjadi tantangan bagaimana
interaksi kekuatan ekonomi, politik, dan pilihan kebijakan bersinergi membawa
perubahan dan inovasi progresif sesuai harapan.
Sebuah negara menjadi
miskin bukan lantaran kondisi geografi, melainkan para pemimpinnya tak tahu
kebijakan apa yang tepat untuk memberdayakan warga. Kemakmuran dan kemiskinan
ditentukan insentif kebijakan yang mendukung kemakmuran, menciptakan dampak
positif sekaligus mencegah dominasi elite dan sistem yang korup.
Pemerintah korup yang
dikuasai segelintir elite sering kali gagal dalam memberikan layanan publik
yang memadai karena tidak ada kesetaraan yang diikuti dengan ketimpangan.
Transformasi struktural sangat diperlukan karena semua orang dari berbagai
kalangan harus mendapat kesempatan yang sama untuk memperbaiki kehidupan
ekonomi, mendapat akses layanan publik, serta mendayagunakan kemampuan
inovatif.
Gagasan dan kebijakan
ekonomi yang baik sulit dicapai tanpa ada transformasi politik secara
fundamental. Lagi-lagi, masalahnya berakar pada kemauan politik. Dalam bahasa
gaulnya, ”Ini politik, Bung!” Atau
menyitir Dani Rodrik, ”It’s the
politics, stupid!”
Relasi kutub
pusat-pinggiran, maju-terbelakang, modern-tradisional, metropolis-satelit tak
lepas dari dominasi ideologi dan kepentingan politik. Dalam konteks
pembangunan, terjadi pertukaran yang tidak seimbang. Pinggiran tidak punya
kekuatan untuk memperjuangkan pemerataan manfaat pembangunan, sementara pusat
mendominasi sehingga berujung pada eksploitasi, pelestarian ketimpangan, dan
ketidakadilan.
Dengan kendali
politik, hegemoni pusat menindas bahkan dengan sengaja memiskinkan mereka
yang di pinggiran sekaligus mencaplok surplus ekonomi untuk melanggengkan
kepentingannya. Hiruk-pikuk globalisasi tak serta-merta meruntuhkan tembok
dikotomi pusat-pinggiran. Relasi pusat-pinggiran, rural-urban, desa-kota
lebih kental muatan politisnya terkait teritorial, sentralisasi kekuasaan
politik, dan pemusatan penduduk.
Mengejar kemakmuran
Ahmad Erani Yustika
dalam ”Desa dan Pulau Harapan” (Kompas, 11/8/2015) dengan bernas
menggarisbawahi pentingnya membangun dari pinggiran, meningkatkan
produktivitas ekonomi rakyat dan kemandirian ekonomi. UU Nomor 6 Tahun 2014
menempatkan desa sebagai horizon baru, harapan, dan arus utama pembangunan
yang menekankan keberdayaan, kemajuan, dan kemandirian warga. Desa yang dulu
hanya sebagai obyek kini menjadi subyek, aktor emansipatoris dan partisipatif
dalam arena pembangunan nasional.
Jika dicermati, spirit
UU tentang Desa sama dengan gagasan Mahatma Gandhi. Pada 1948, Bapak
Kemerdekaan India itu meramalkan, ”The future of India lies in its villages. India
begins and ends in the villages. If the villages perish, India will perish
too.” Dalam suratnya kepada Nehru, Gandhi menggambarkan desa sebagai
komunitas kebajikan yang harmonis, mandiri, sederhana, tanpa kekerasan, dan
memegang teguh nilai kebenaran.
Empat karakteristik
desa, menurut Gandhi, memiliki kemampuan sains dan teknik, layanan kesehatan
dan produksi pangan; menghormati manusia dan alam; institusi politik
demokratis; serta keterkaitan fisik dan elektronik kawasan pedesaan dengan
perkotaan. Desa harus menyediakan akses pendidikan, peluang ekonomi, dan
menciptakan pekerjaan yang mendorong perekonomian, bukan semata penumpukan
modal. India yang diimpikan adalah komunitas kecil dengan standar gaya hidup
dan layanan peradaban modern tanpa harus teralienasi dari industri
kapitalisme.
Visi Gandhi tentang
bangsa, spiritualitas, dan transformasi sosial dari desa tak pernah
diimplementasikan secara luas oleh pemerintah, dari Nehru hingga Modi.
Prospek desa kalah dengan gebyar kemilau India baru yang melaju dengan
kemajuan teknologi informasi, otomotif, menjamurnya start-up perangkat lunak,
bintang-bintang Bollywood, dan konsumen barang mewah.
Warga tak lagi
bermigrasi dari desa ke kota di India, tetapi dari Punjab ke Paris, dari
Bombay ke New York, atau dari Kalkuta ke London. Belakangan, Narendra Modi
sangat berambisi menciptakan kota masa depan, smart city, sebagai kombinasi
otak dan teknologi untuk memacu akselerasi pembangunan. Fakta bahwa manusia
sekarang telah menjadi spesies urban sulit dibantah. Pertama kali dalam
sejarah, separuh populasi dunia sekarang tinggal di kota. Pada 1900 hanya 10
persen, pada 2050 diprediksi mencapai 75 persen.
Zaman berubah. India
sekarang bukan India dulu. Pada era kemerdekaan, lebih dari 50 persen
perekonomian bergantung pada pertanian. Dengan stagnasi sektor pertanian,
petani sulit menggantungkan hidup di desa. Penyusutan lahan secara drastis
membuat produktivitas India tertinggal dibandingkan negara berkembang lain,
kontras dengan tren pertanian di Jepang dan Korea yang lahan pertaniannya
kecil, tetapi terus tumbuh.
Kunci kesejahteraan
ekonomi India ada pada akses sumber pendapatan selain pertanian, di mana tiga
per empat rumah tangga kaya di desa mendapatkan uang dari sektor jasa. Desa
yang terkoneksi dengan areal perkotaan memiliki potensi pendapatan yang makin
baik. Penduduk desa bekerja sebagai kuli bangunan di antara musim panen atau
membuka usaha kecil. Situasi ini nyaris persis dengan kehidupan di Indonesia.
Perkembangan zaman
dengan kecanggihan teknologi informasi tak seketika membinasakan desa.
Realitas dan tren perubahan sosial perlu diperhatikan agar agenda membangun
dari pinggiran dapat diwujudkan. Masa depan desa yang cerah bagi mereka yang
tertinggal, terdepan, dan terluar dalam mengejar kemakmuran (seperti Pulau
Wetar, Long Apari, dan ribuan desa di perbatasan) harus jadi prioritas agar
mereka merdeka dari keterbelakangan.
Jangan sampai
ketertinggalan hanya menjadi komoditas politik. Kita tak perlu malu belajar
dari India agar tak ketinggalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar