Kamis, 27 Agustus 2015

Menistakan Pidato

Menistakan Pidato

Agus Dermawan T  ;   Pengamat Budaya dan Seni
                                                 KORAN TEMPO, 27 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Akhirnya mengaku, saya adalah pengarang yang diam-diam gemar "dipaksa" menerima order menulis pidato, sejak 1980-an. Pesanan itu berasal dari pemilik pabrik kue, direktur waralaba es teler, bupati, direktur jenderal, menteri, istri menteri, anak presiden, wakil presiden, sampai ibu negara.

Pekerjaan ini, walau saya lakoni dengan sepintas lalu, senantiasa dilandasi kerja serius. Karena itu, sebelum menulis naskah, selain mendiskusikan tema yang diangkat, saya menanyakan kebiasaan tokoh tersebut dalam berpidato. Adakah ia biasa dalam gaya impromptu atau pidato spontan tanpa persiapan. Atau biasa tampil skriptif, yakni pidato dengan membaca naskah. Atau bergaya memoriter, pidato dengan cara menghafal naskah terlebih dulu. Atau gaya ekstemporan, dengan menyiapkan garis-garis besar di kertas kecil, untuk kemudian sebentar-sebentar diintip kala beraksi di atas mimbar.

Dari pekerjaan ini, saya lalu menyadari bahwa sebuah pidato sesungguhnya hasil kerja yang sungguh-sungguh. Pun, misalnya, pidato itu hanya diluncurkan tiga sampai lima menit. Itu sebabnya masuk akal apabila Susilo Bambang Yudhoyono, kala menjadi presiden, beberapa kali marah kepada pendengar yang mengobrol sendiri ketika ia berbicara.

Ihwal pendengar (audience) yang tak peduli dengan pidato, agaknya sudah menjadi pemandangan lumrah bagi masyarakat Indonesia. Dimaklumi, tentu ada pidato yang muter-muter dan tak layak didengar: "Sehingga terasa sebagai alat untuk menyembunyikan pikiran-pikiran rahasianya," bagai sejak dulu diduga negarawan Prancis abad ke-19, Charles Maurice de Talleyrand. Namun, bagaimanapun, pidato itu digubah lewat persiapan pikiran. Dan rasanya, hanya mereka yang "kurang pendidikan" yang tidak menghargai persiapan pikiran.

Ketidakhormatan publik Indonesia kepada pidato sudah sampai di semua lapisan. Suatu kali pada medio 2015, sebuah galeri menghelat pembukaan pameran. Tiga orang telah berpidato. Namun para tamu yang hampir semuanya kaya dan berpendidikan tinggi mengobrol semaunya, sehingga ruangan penuh bunyi bak sarang lebah. Lalu tiba giliran Heri Dono diminta berpidato. Perupa pencipta Trokomod untuk Venice Biennale ini tidak menyampaikan kalimat, namun berteriak panjang sekuat tenaga, "Hoooaaaaeeeekkkk!" Hadirin terhenyak, diam, lalu tertawa. Mereka tidak mengetahui bahwa Heri Dono marah kepada hadirin yang tunaetika.

Namun ihwal penistaan pidato ini bukan persoalan akhir-akhir ini saja. Sekitar 26 tahun silam, sosiolog-budayawan Umar Kayam sudah mengungkap kekonyolan sosial itu di koran Kedaulatan Rakyat, 23 Mei 1989. Kolom tersebut menceritakan bagaimana ia dengan semangat membacakan pidato pengukuhan dirinya sebagai guru besar di Universitas Gadjah Mada. Ia merasa pidatonya yang ilmiah namun ngepop itu didengarkan khusyuk oleh ratusan tamu. Ia sangat kecewa setelah sahabatnya yang orang Amerika melaporkan (sambil heran), bahwa yang mengikuti pidatonya hanya tiga deret kursi terdepan.

Padahal di negara-negara yang mengasuh bangsa bermartabat, pidato apa pun, apalagi dari guru besar, diapresiasi selayaknya ilmu yang tiba-tiba datang dari angkasa luar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar