Membawa KPK pada Pengalaman Baru
Dedi Haryadi ;
Deputi Sekjen Transparansi Internasional
Indonesia
|
KOMPAS,
25 Agustus 2015
Komisi Pemberantasan
Korupsi sukses membawa bangsa ini pada pengalaman baru dalam mencegah dan
memberantas korupsi. Penanganan korupsi yudisial dan politik sudah menjadi
biasa.
Semua pihak pernah
ditindak (diselidik, disidik, dituntut) KPK: bupati/wali kota, gubernur,
anggota DPR/DPRD, jaksa, polisi, hakim, pengacara, pengusaha, politisi, ketua
umum parpol, ketua mahkamah konstitusi, dan menteri. Tinggal institusi
presiden dan militer yang belum. Sementara ini militer harus dikecualikan
karena punya sistem peradilan sendiri. Memuaskan.
Agar semakin baik, ke
depan KPK harus dibawa ke pengalaman baru. Apa dan bagaimana? Pertama, dalam
ranah pencegahan KPK harus menjadi pendorong utama dan mampu mengorkestrasi
gerakan sosial anti korupsi yang kuat dan efektif.
Kedua, dalam ranah
penindakan, selain menangani korupsi yudisial dan politik, KPK juga harus
mulai menangani kejahatan korporasi. Dua hal ini akan membawa KPK pada
pengalaman dan maqom (tingkatan) baru. Implikasinya cukup serius.
Orkestrasi gerakan sosial
Tantangan bagi KPK ke
depan dalam mencegah korupsi adalah bagaimana menjadikan sikap anti
korupsisebagai cara hidup, bagi individu dan institusi. Sikap anti korupsi
itu, sederhananya, berani menolak terlibat, menghalangi kemungkinan
terjadinya, serta mengungkap dan melaporkan (kepada penegak hukum) kalau ada
peristiwa korupsi. Sayang, upaya melembagakan sikap anti korupsi belum
terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Terstruktur berkaitan
dengan peran KPK dalam upaya pencegahan secara keseluruhan. Sejauh ini peran
koordinatif dan orkestratif belum muncul. Sistematis berkaitan dengan koneksi
dan interkoneksi satu inisiatif pencegahan dengan inisiatif pencegahan yang
lain. Yang terpenting dalam bingkai sistematis ini adalah bagaimana
interkoneksi upaya pencegahan dengan isu yang sama sekaliberbeda. Misalnya,
bagaimana mengaitkan upaya mendorong perbaikan tata kelola pemerintah daerah
dengan menggunakan kebijakan fiskal. Perspektif dan keterampilan ini yang
masih terasa kurang.
Istilah masif
berkaitan dengan kedalaman dan keleluasaan keterlibatan aktor dan mobilisasi
sumber daya lain di luar KPK. Upaya pencegahan korupsi selama ini kurang
melibatkan organisasi warga, asosiasi profesi, serikat buruh, serikat tani,
asosiasi bisnis, termasuk perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Serikat
pekerja PLN, misalnya, yang beranggotakan berbagai keahlian, bisa didorong
terlibat mencegah korupsi di sektor pengelolaan energi.
Agar upaya pencegahan
korupsi terstruktur, sistematik, dan masif, KPK harus: 1) mendorong dan
mengorkestrasi gerakan sosial anti korupsi yang kuat dan efektif baik secara
sektoral (bisnis/urusan) atau spasial/kewilayahan, 2) mengaitkan upaya
memperbaiki tata kelola pemerintah daerah (kota/kabupaten/ provinsi) dengan
insentif fiskal, 3) mendorong inovasi sosial/kelembagaan dan teknologi yang berkontribusi
pada pencegahan korupsi, 4) mendorong budaya korporasi berintegritas dengan
cara mengembangkan etika dan program pengendalian risiko korupsi di berbagai
perusahaan, khususnya BUMN, 5) mendorong integritas pengelolaan keuangan
partai politik, 6) ikut ambil bagian penting dalam memperkuat kerja-kerja jurnalisme
investigatif, serta 7) dominan dan hegemoni dalam wacana anti korupsi.
Iniakan memudahkan KPK dalam proses dekonstruksi dan rekonstruksi nilai anti
korupsi, dan 8) mengembangkan zona integritas dan zona bebas korupsi di
institusi yang risiko korupsinya tinggi.
Kejahatan korporasi
KPK ke depan harus
tetap menangani korupsi yudisial. Tak mungkin memberantas korupsi dengan baik
dan tuntas kalau aparat penegak hukumnya terlibat dalam kejahatan korupsi.
Dengan demikian, kasus korupsi yang terjadi dalam institusi peradilan yang
melibatkan jaksa, hakim, polisi, pengacara perlu mendapat prioritas utama.
Menindak jaksa, hakim
(bahkan ketua mahkamah konstitusi), pengacara kelihatannya relatif gampang.
Demikian juga menindak wali kota/bupati, gubernur, anggota DPR/DPRD,
politisi, pebisnis, menteri, hampir tanpa perlawanan dan kegaduhan berarti.
Namun, menindak petinggi polisi agak lain. Inilah salah satu tantangan KPK ke
depan: bagaimana menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat
tinggi Polri.
Perseteruan cicak
versus buaya jilid I yang melibatkan Susno Duadji, jilid II yang melibatkan
Djoko Susilo, dan jilid III yang melibatkan Budi Gunawan berakar pada masalah
ini. Polisi punya uang, senjata, pasukan (anak buah) dengan semangat korps
dan jejaring politik yang kuat, dan yang paling penting memiliki kewenangan
sama dengan KPK, menyelidik dan menyidik.
Kriminalisasi dan
pelemahan KPK merupakan konsekuensi, ekses, dari cara KPK menindak dugaan
kasus korupsi yang melibatkan petinggi Polri. Apakah ini berarti KPK ke depan
harus menghindar menindak petinggi polisi yang diduga terlibat korupsi? Tidak
juga. Dalam budaya Sunda ada ungkapan ”herang caina, benang laukna”.
Maksudnya, bagaimana menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah. Ke
depan KPK bisa menerapkan prinsip ini dalam menindak tersangka korupsi yang
sangat berpengaruh.
Presiden mediasi
Mediasi yang dimainkan
mantan Presiden SBY dalam perseteruan cicak versus buaya jilid I dan II
memberikan pelajaran yang berharga. Pertama, posisi dan pengaruh presiden
sangat penting dan perlu didayagunakan untuk menindak tersangka orang yang
sangat berpengaruh.
Kedua, mediasi itu
sukses memilah dan meyakinkan kepolisian bahwa persoalan Susno dan Djoko
Susilo adalah persoalan pribadi, bukan institusi.
Ketiga, membangun
relasi dan komunikasi dengan presiden dan aktor lain yang juga berpengaruh
sangat penting, tanpa harus khawatir akan kehilangan otonomi dan kebebasan.
Ketiga pelajaran
berharga ini bisa dikemas KPK saat menyusun strategi menindak petinggi Polri
yang disangka tersangkut kasus korupsi. Pentingnya membangun relasi dan
komunikasi dengan Presiden juga berguna kalau KPK maumengoptimalkan fungsi
koordinasi dan supervisi. Fungsi ini memungkinkan KPK mengambil alih kasus
korupsi yang mangkrak di institusi penegak hukum yang lain.
Selain korupsi
yudisial, KPK juga harus memberikan perhatian yang memadai pada persoalan
korupsi politik. Perhatian lebih bisa diberikan pada korupsi yang mungkin
terjadi pada proses legislasi dan proses kebijakan. Berdasarkan pengalaman,
risiko korupsi pada kedua proses ini cukup tinggi. Secara sektoral perhatian
lebih bisa diberikan pada proses legislasi dan proses kebijakan untuk sektor
strategis, seperti industri energi, ekstraktif, pangan, dan infrastruktur.
Kejahatan korporasi
Meskipun KUHP dan
KUHAP belum mengatur pidana kejahatan korporasi, keputusan Mahkamah Agung
yangmendenda PT Asian Agri Group sebesar dua kali pajak terutang (Rp 2,5
triliun) bisa jadi yurisprudensi untuk mengadili kejahatan korporasi. Memasuki
ranah ini akan memperkuat kepeloporan KPK memakai UU anti pencucian uang.
Peran baru KPK yang
harus mengorkestrasi gerakan sosial anti korupsi danpenindakan kejahatan
korporasi akan membawa KPK pada pengalaman baru. Ini akan menimbulkan
beberapa implikasi penting pada tata kelola internal, sumber daya manusia, dan
mobilisasi sumber daya di tubuh KPK.
Supaya dapat memainkan
peran pencegahan dan penindakan dengan baik seperti tersebut di atas, KPK
harus mempunyai tata kelola internal yang baik. Dengan diperbolehkannya gugatan
praperadilan, prosedur operasi standar (SOP) dalam penyelidikan, penyidikan,
penuntutan menjadi faktor yang akan menentukan keberhasilan penindakan.
Oleh karena itu,
meninjau ulang SOP, kalau perlu merevisi, dan meningkatkan kepatuhan pada SOP
menjadi penting. Bukan hanya itu. Dalam tata kelola internal KPK setidaknya
akan ada empat jenis SOP: 1) SOP penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, 2)
SOP program pencegahan, 3) SOP manajemen keuangan, dan 4) SOP
ketenagakerjaan, dan satu protokol komunikasi (internal dan eksternal). Perlu
dikembangkan satu unit kepatuhan untuk menjamin dan memastikan semua SOP dan
protokol komunikasi dijalankan dan dipatuhi.
Peran baru KPKdalam
mencegah dan menindak korupsi membutuhkan keahlian yang lebih beragam. KPK
membutuhkan keahlian dalam bidang merancang dan mengelola gerakan sosial,
memperbaiki tata kelola pemerintahan, manajemen pengetahuan, kejahatan
korporasi, dan lain-lain. Makin beragamnya keahlian yang dibutuhkan
berimplikasi penting pada komposisi komisioner.
Sebaiknya keahlian dan
kompetensi komisioner KPK lebih heterogen, kombinasi berbagai keahlian untuk mencegah
dan menindak. Lima komisioner tidak mungkin menampung semua keahlian dan
kompetensi yang dibutuhkan dan oleh karena itu KPK harus terampil
memobilisasi sumber daya (keahlian, kompetensi, keuangan, dan lain-lain) di
luar KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar